Menimbang isu radikal dan konsep Islam nusantara yang mengemuka dalam kaitan Indonesia yang berkemajuan semakin membuat diskursus tidak produktif saja. Isu radikal dengan abstraksinya Islam keras dan Islam nusantara dengan dominasi budaya lokal sama sekali tidak transformatif pada ruang Indonesia maju. Ya sekali lagi tidak transformatif dan tidak ada gunanya bahkan menimbulkan kekeliruan dan kesalahpahaman belaka serta mengacaukan pada gilirannya merusak tujuan Islam itu sendiri. Sangat disayangkan.
Padahal umat Islam itu memerlukan pemahaman yang utuh dan kontinyu dengan linked ke konsep fundamentalnya. Harapannya agar mampu nengatasi persoalan dan tantangan dengan tawaran solusi yang tepat. Dalam kata lain satu pemahaman Islam yang hikmah dan rahmatan lil alamin.
Pertanyaannya adakah radikal dan Islam nusantara mengandung nilai hikmah dan rahmatan lil alamin?
Tapi bagaimanapun prinsip kebenaran Islam itu universal di mana dan kapanpun. Sebab pada dasarnya Islam yang utuh dan rahmatan lil alamin itu adalah Islam yang hikmah.
Jawabannya kita awali asal radikal adalah dari asal kata radic, berarti akar, hakiki, mendasar. Atau dipadankan dengan fundamental. Jadi radikal sesuatu yang mendasar. Lalu Islam nusantara Islam dengan pemahaman kultural lokal. Islam Jawa, Kalimantan, Ambon dsbnya.
Maka jawabnya apakah ada hikmahnya mungkin tidak. Kata hikmah dalam Islam adalah bersifat universal. Pada radikal dengan kekerasan diidentikkan dengan teroris dan Islam nusantara identik kandungan dominasi nilai lokal. Jadi tidak memenuhi paham Islam yang seungguhnya. Termasuk dengan rahmatan lil alamin yang orisinilnya bagian konsep utuh tauhid yang digeser pengertiannya oleh Islam nusantara. Jadinya Islam nusantara bukan konsep hikmah dan di luar rahmatan lil alamin itu.
Meminjam istilah yang dikemukakan Thamsary bahwa terjadi kekacauan sejarah dalam The Destruction of Destiny (merusak tujuan). Ia mengatakan terjadinya kekeliruan, dan kesimpangsiuran pemahaman tentang Islam.
Memang Thamsary mengkaitkan perjalanan sejarah bangsa Arab pada era awal penjajahan bangsa Barat abad 19 yang membawa wacana Islam yang tidak murni dan bercampur dengan nilai lain. Bukan Islam di Indonesia.
Tapi bagaimanapun prinsip kebenaran Islam itu universal di mana dan kapanpun. Sebab pada dasarnya Islam yang utuh dan rahmatan lil alamin itu adalah Islam yang hikmah dengan memiliki indikator sebagai berikut:
Pertama yang mengandung nilai yang baik (mauizatul hasanah).
Kedua, nilai dialog yang bermutu (billati hiya ahsan).
Ketiga, memegang prinsip yang benar (wajadilhum billati hiya ahsan).
Ketiga unsur adalah jalan keluar atau solusi yang bahasa sekarang ini adalah transformatif, kecerdasan tinggi.
Di atas semua itu, saya berpendapat inilah posisi tokoh atau ninik mamak seharusnya dalam masyarakat. Kecerdikan tinggi yang menyelesaikan kekeliruan yang merusak tujuan.
Kemudian saya mendukung pendapat Thamsary dalam bukunya The Destruction of Destiny (menghancurkan tujuan). Yaitu ada gejala yang keliru. Hal itu merusak. Nauzubillah min zalik.
Jakarta, 2 Agustus 2020
*) Masud HMN adalah Doktor Pengajar di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta