Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jika KPK Berumah di Atas Angin: Goodbye KPK-Bubar Saja KPK-Goodbye KPK

Di negeri para koruptor, orang-orang berhamburan dengan nurani yang terbelah. membawa lilin dan kayu bakar. berjejal-jejal bersenggama dengan mimpi-mimpi keabadian. kefanaan yang menggemerlap. mengapung dan tenggelam dalam akuarium kehidupan. sementara lautan kehidupan terus menggemuruh dan gelombang berbuncah-buncah sepanjang musim.

Di negeri para koruptor, keringat para petani berkarung-karung digelindingkan masuk ke gudang bulog yang penuh dengan tikus, kecoa dan kutu busuk. orang-orang miskin mengantre dan terinjak-injak dan mati kena raskin, di tengah gemuruh hiruk pikuk kendaraan politik memekakkan telinga. menulikan pendengaran, dan mereka meneriakkan yel-yel, meniupkan terompet di tengah dahaga matahari yang membakar. sementara berjuta-juta anak menatap langit yang semakin kelam di tengah onggokan sampah masa depan. sedangkan senja pun tak beringsut dari hari-hari yang lelah dan meletihkan usia.

Di negeri para koruptor, cicak dan buaya dan para cukong dan para makelar tak kenal waktu mentransaksikan kasus. tawar menawar bagaikan di pasar kelontong. siapa yang cerdik akan bisa ngitik, sehingga jaksa dan hakim jadi sembelit, dan akhirnya minta selilit karena perutnya melilit.

Di negeri para koruptor, bunglon-bunglon melompat-lompat dari pohon kehidupan ke pohon kehidupan. di sekitarnya, gagak-gagak hitam terbang merendah. cakarnya yang tajam mencengkeram dan paruhnya yang kuat mencabik-cabik. tak memberi kesempatan ketakberdayaan. lalat-lalat mendengung di darah babi, dan anjing-anjing menggonggong di kesenyapan meminta tulang belulang. pelacur, miras, ekstasi, sabu-sabu, putaw, ganja dan narkoba menggenangi jalan-jalan yang rusak. kota-kota melayarkan kegelisahaan dan desa-desa tanpa peta. suara-suara bersliweran tak berjejak, diterbangkan angin puting beliung.

Di negeri para koruptor, perbukitan telah menjadi koteg dan vila-vila yang menggunung, lapangan golf dan kolam renang, menggusur sayur mayur dan lapangan pekerjaan. kancil-kancil tak lagi nyolong mentimun, dan pak tani tak lagi manggul cangkul. jagung-jagung tak lagi ditanam dengan cangkul di kebun. hari-hari terlelap dan mendengkur, menunggu kubur.

Di negeri para koruptor, kebenaran tak lagi menjadi kompas kehidupan. bayang-bayang dan ketakutan telah menjadi ideologi yang melumpuhkan, sehingga suhu tak tercatat pada termometer, dingin membeku tak terbaca pada termostat, angin berlepasan, dan gempa tak terukur pada skala richter. hari-hari tak berkalender berlalu. kepedihan menggemerincingkan kematian. kengerian meruncingkan ketakberdayaan. akankah kita menunggu ajal menjemputnya? kubentangkan layar menuju dermaga, menyeka usia yang letih dan menyingkirkan pecahan-pecahan kaca yang berserak sepanjang jalan yang menggenangkan darah, sambil menggenggam kepingan cahaya dari reruntuhan, menujumu! (O’ushj.dialambaqa, Sajak/Puisi: Negeri Para Koruptor, Singaraja, Desember 2009)

“the EndGame KPK” (Komisi Pemberantasan Korupsi): 1.54.53 menjadi riuh diperbincangkan publik, bahkan dibanyak komunitas di berbagai daerah dijadikan acara Nobar (nonton bareng). the EndGame membuat kita tahu lebih banyak tentang sepak terjang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) baik karena faktor eksternalisasi maupun internalisasi itu sendiri.

Bahkan, kita juga akhirnya sedikit banyak tahu tentang apa yang terjadi dengan institusi awalnya, di mana mereka kemudian KPK menjadi pilihannya, terutama melihat sedikit potret buram institusi kepolisian sebagai salah satu institusi penegakkan hukum di negeri ini.

the EndGame menyiratkan dan sekaligus menyuratkan kepada kita bayangan buram akan eksistensi KPK, sirnanya asa dalam menaruh harapan besar untuk menyelamatkan negeri ini dari jurang kehancuran, karena dikepung dan atau tersandera para koruptor yang telah mempu membangun kekuasaan oligarki dan oligarki kekuasaan yang bermula dari oligarki politik dan politik oligarki.

 

Apa itu TWK?

Kita memahami dan memaknai TWK sebagai test wawasan kebangsaan. Normatif akronimnya memang seperti itu. Ternyata tafsir denotatif TWK itu sebagai alat uji atau alat ukur terhadap seseorang menganai hal ikhwal kebangsaan, yang spesifik adalah sebuah nasionalisme ke-Indonesia-an dan atau ke-Pancasila-isan yang harus terus membara dalam jiwa raga sebagai ruh sense of crisis dan sense of belonging terhadap keberadaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), ternyata menjadi absurd.

Pada sisi lain, pemaknaan denotatif atas pertanyaan dalam TWK untuk mengukur atau menakar integritas seseorang dan atau secara khusus untuk menyisir integritas pegawai KPK dalam hal pemberantasan korupsi juga menjadi patah secara metodologis jika itu sebagai tesis atau premis yang harus dipertahankan, karena yang sesungguhnya itu adalah test wawasan kekuasaan; yang tidak sejalan dengan (cara pandangan) kekuasaan harus disingkirkan.

Jika kita membedah pertanyaan yang harus dijawab oleh para pegawai KPK untuk bisa lolos statusnya menjadi ASN (APARAT SIPIL NEGARA), TWK tidak bisa ditafsirkan dan dimaknai sebagai denotatif formalistik. Pembacaannya harus dilakukan secara konotatif, karena jika dimaknai denotatif, hal tersebut menjadi gugur.

TWK bukan lagi sebagai akronim dari test wawasan kebangsaan, melainkan karena yang tak terbantahkan adalah harus dimaknai sebagai alat untuk mengukur atau menilai sejauhmana loyalitas terhadap hirarkis kekuasaan dalam menjalankan birokrasi sentralistik yang dijalankan oleh pejabat pemegang otoritas kekuasaan, sehingga TWK harus dibaca, difahami dan dimaknai sebagai test wawasan kekuasaan.

Untuk membuktikan itu semua, mari kita menyisir pertanyaan-pertanyaan dalam TWK dengan logika dan akal waras, apakah kita mau masuk dalam perdebatan teologis, kekuasaan politik atau soal kebangsaan (nasionalisme) itu sendiri, atau soal integritas untuk melakukan pemberantasan korupsi itu sendiri.

Untuk memudahkan pembedahan, maka kita coba membagi ke dalam tiga kategorisasi {materi berbagai pertanyaan kita himpun dari berbagai sumber media massa; koran, media online, televisi dsb, medsos (Twitter: @febridiansyah, Selasa (1/6/2021), kanal-kanal youtube: Haris Azhar, Mata Najwa, FNN Hersubeno Point dan Rocky Gerung, Bang Arief, Refly Harun, Bravos, Rahma Sarita dan yang lainnya, dan the EndGame itu sendiri.

Pertama adalah pertanyaan: Pilih Pancasila atau Quran. Kalau sholat subuh baca Qunut apa tidak? Kalau acara Natalan ikutan atau tidak? Bersedia nggak lepas jilbab. (dijawab nggak bersedia, dibilang berarti lebih mementingkan pribadi daripada bangsa negara. Pegawai KPK, Jumat, 7/5/2021).  Agama adalah hasil pemikiran manusia. Alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Kalau pimpinan berbohong mau ikut berbohong tidak?

Kedua adalah pertanyaan: Organisasi Islam yang diikuti; Islamnya apa? Keluarga Anda apa? Apakah anda mau mendonorkan darah ke yang berbeda agama atau menerima? Apakah Anda mengucapkan selamat hari raya ke yang beda agama? Ikut pengajian apa? Ustadz idola/favoritnya siapa? Mengucapkan Natal.

Ketiga adalah (sangat tidak etik dan menusuk HAM, dan persoalan privat), yaitu, Kalau pacaran ngapain saja? Mengapa bercerai? Mengapa belum menikah? Kenapa tak kunjung menikah. Kok umur segini belum menikah. Masih punya hasrat kan? Mau enggak jadi istri kedua saya? (sumber ini menceritakan ulang kejadian yang dialami rekannya pada Kamis, 6/5/2021). Kenapa belum punya anak? Apakah sudah punya pacar atau belum, berapa kali pacaran, dan apakah akan menikah dalam waktu dekat. Kenapa cerai. Soal free sex (saat ada yang menjawab tidak masalah kalau bukan anak-anak, konsensual dan di ruang privat). Kalau threesome bagaimana? Kalau orgy bagaimana? Kenapa belum menikah? Kemudian ada yang diceramahi, Nikah itu enak, saat capek pulang kerja ada istri yang melayani buat ngasih minum, nyiapin, dll’, atau ‘Jangan banyak pilih buat pasangan nikah, ini saya ngasih saran lo.
Keempat adalah: Semua China itu sama. Jepang itu kejam. OPM, DI/TII, PKI, HTI, FPI, Rizieq Shihab, Narkoba, Kebijakan Pemerintah, dan LGBT.

Keempat  kategori yang kita kelompokkan tersebut dalam TWK menjadi lucu dan menggelikan, bahkan yang mengajukan pertanyaan dan pewawancara boleh dikatakan seperti tidak mengerti dengan pertanyaan tersebut, karena tersebut adalah pertanyaan sampah yang bukan pada tempatnya dilontarkan. Misalnya, soal semua China itu sama dan Jepang itu kejam. Pertanyaan rasis itu akan direspon untuk konsumsi anak esteem yang distigmatisasi suka tawuran, menggenerasilir siswa STM, dan itupun belum tentu. Sungguh absurd dan nihilis untuk menakar seseorang apakah berintegritas atau tidak, dan apakah bisa menjawab untuk pertanyaan, apakah seorang nasionalis atau tidak? Tentu sangat nihilis.

Pada kategori pertama, antara lain adalah menyoal Qunut atau tidak Qunut dalam sholat subuh menunjkkan penanya tidak sangat paham dan tidak amat sangat mengerti untuk bisa menjawab premisnya, apakah dengan tidak ber-Qunut, sholat subuhnya menjadi gugur atau membatalkan sholat subuh?

Pertanyaan pilih Pancasila atau Quran, bukanlah level penanya, karena itu sudah masuk dalam wilayah perdebatan para teolog atau filsuf sekelas Aris Toteles, Plato, Socrates, Descrates, Ibnu Sina, Al Farabi, Jalaludin Rumi, Al Ghazali, Abu Bakr ar-Rrazi, Ibnu Hatim, Ibn ar-Rawandi, Abu Al-Qasim, Ibn Hatim, Al-Biruni, Al-Maturidi, Al-Mu’ayyad dan lainnya. Apalagi dikatakan bahwa agama itu hasil pemikiran manusia.

Begitu juga soal jilbab dan mengucapkan Natal atau ikutan Natal, Islam apa, tak lebih sesungguhnya merupakan penyinyiran terhadap agama. Jika mau masuk dalam perdebatan teologis, kenapa tidak mengajukan tesis: bahwa Allah menciptakan alam pada saat yang paling pantas untuk penciptaannya, atau dalam perdebatan teologis seperti, sungguh sia-sia jika Tuhan sudah menciptakan surga dan neraka sebelum kiamat, atau apakah benar ada surga dan neraka padahal Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Perdebatan teologis itu telah berlangsung berabad-abad silam. Artinya, jauh lebih berkaulitas dari yang disoal dalam TWK.

Atau seperti yang dikatakan Federich Nietzche bahwa Tuhan Sudah Mati (God is Dead). Atau mengapa Tuhan tak mati, sehingga dalam wilayah teologis alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Agama adalah hasil pemikiran manusia. Jika penanya mengatakan alam semesta adalah ciptaan Tuhan. Agama adalah hasil pemikiran manusia, bagaimana Tuhan menjelaskan alam semesta atau proses penciptaan-Nya jika agama adalah hasil pemikiran manusia.

Tentu, mengenai alam semseta atau proses penciptaan alam semesta, penjelasannya adalah ada dalam agama, Tuhan menjelaskan lewat ayat-ayat-Nya dalam agama apun juga, sehingga bagi orang-orang yang mau berfikir kemudian melahirkan fakultas pengetahuan, seperti menghitung waktu yang berbasis pada peredaran matahari, dan seterusnya.

Islam dengan Qurannya, Kristiani dengan Biblenya, Budha dengan Tripitakanya dan Hindu dengan Wedanya. Masing-masing agama punya kebenarannya sendiri-sendiri, tidak bisa menakar agama dengan kebenaran agama lainnya, harus dengan agama itu sendiri.

Jika mau teologis-teologisan (terutama dalam kategorisasi kedua, terkait yang pertama), seharusnya pertanyaan yang diajukan (dalam perdebatan teologis pada tahun 484tan H)  menunjukkan kelas penanyanya, paling tidak, kualitas pertanyaan adalah “Kalau  kami menetapkan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun kecuali diri-Nya, tentu hal itu sangat tidak bisa diterima. Itu karena yang lain mengetahui dirinya sendiri serta Tuhan dan hal-hal selain dirinya. Jika demikian, hal-hal yang lain lebih terhormat daripada Tuhan. Tetapi bagaimana mungkin akibat (hal-hal lain) lebih mulia daripada sebab (Tuhan)?” Totalitas itu terbentuk dari satuan-satuan. Ia dapat dibagi ke dalam seperenam dan sepersepuluh, seperti di atas. Lalu jika tidak bisa diberi kategori genap atau ganjil, jelas itu tidak bisa diterima secara pasti. Bagaimana anda akan memberikan uraian dalam hal ini?

Oleh karenanya, tidak ada relevansi dan korelasinya dengan ruh KPK sebagai sebuah institusi yang lahir dari sejarah reformasi untuk melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini, begitu juga untuk menakar soal nasionalisme dan atau Pancasilaisme seseorang. Pertanyaan yang diajukan itu sendiri, sesungguhnya bukan cerminan dari prilaku Pancasilais bagi diri penanya itu sendiri, karena itu menyingkirkan sila kedua atas Pancasila itu sendiri mengenai keberadaban dalam hal kemanusiaan bagi seseorang yang bermartabat dalam akar peradaban itu sendiri.

Kalau pimpinan berbohong mau ikut berbohong tidak, hanya punya relasi pararel atau linear dengan loyalitas dalam sistem dan mentalitas birokrasi yang sentralistik. Yang pada zaman rezim Soekarno disebut birokrasi terpimpin dan zaman rezim Soeharto disebut sentralistik. Kemudian disempurnakan menjadi sistem dan mentalitas birokrasi sentralistik yang terpusat atau memusat.

Patut dicatat juga, bahwa produk peraturan perundang-undangan sekarang kembali ke sentralistik bahkan menjadi sentralistik terpusat atau sentralistik memusat, bukan untuk penguatan otonomi daerah. Hal tersebut bisa kita baca sebagai fakta konkret UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, UU Omni Bus Law,  Permendagri Nomor 90 Tahun 2020 tentang Klasifikasi, Kodifikasi dan Nomenklatur Perencanaan dan Keuangan Daerah.

Jika itu dimaksudkan untuk mengamankan kebijakan pimpinan, sehingga harus berbohong, itu semua bukan watak Pancasila, di mana negara harus melindungi segenap tumpah darah. Seorang Pancasilais harus linear dengan sila pertama, karena Tuhan tidak pernah berbohong atau tidak pernah berdusta sekalipun untuk kepentingannya sendiri. Padahal, semuanya tiada terhalang bagi-Nya untuk berkehendak apa saja, karena Dia Maha Kuasa atas segala robb yang ada di muka bumi.

Pada kategorisasi ketiga, sungguh melukai perasaan orang lain, karena hal-hal yang sifatnya sangat pribadi (privacy) dipertanyakan dan disoal. Tidak saja melanggar HAM, karena ada orang lain memaksakan kehendak soal privacy harus didetailkan. Padahal bukan sahabat karibnya, orang lain yang tak dikenal dan tidak tahu identitas penanya yang mempertanyakannya. Agama pun tidak membenarkan mendetailkan dan penyoal hal-hal yang sangat pribadi seperti soal keyakinan.

Jika orang beragama, tentu paham dan mengerti betul bahwa setiap perempuan menikah atau berkeluarga, pastilah impian yang selalu diimpikannya adalah punya momongan (anak), tetapi itu semua juga adalah robb Tuhan, sekalipun keduanya tidak mandul, tetapi kadang Tuhan belum memberikan kepercayaan atau Tuhan menghendaki yang terbaik untuknya. Perempuan dan laki-laki ada juga yang mandul, sehingga tidak bisa ditimpakan semuanya kepada perempuan jika tidak punya anak setelah menikah.

Jika pertanyaan itu dilontarkan harus dijawab, itu sungguh melukai perasaannya, dan sangat tidak Pancasilais, karena persoalan keberadaban yang dilecehkan, apalagi kemudian, mau enggak jadi istri kedua saya? Itu penghinaan betul, karena haikikinya perempuan tidak mau dipoligami. Penanya, yang pasti akan mendalilkan QS. An-Nisa:3, sebagai legitimasi berpoligami, padahal hanya bisa memaknai ayat tidak secara utuh, hanya ¼ ayat saja yang diambil atau sengaja dipenggal begitu saja, ditafsirkan ansich, berdiri sendiri.

Pandangan patriarki juga dipaksakan disuntikan, dengan mengajukan pandangan kelelakian yang sangat idiologis perbudakan, yaitu: “Kenapa belum menikah? Kemudian menceramahi. Nikah itu enak, saat capek pulang kerja ada istri yang melayani buat ngasih minum, nyiapin, dll’, atau ‘Jangan banyak milih buat pasangan nikah, ini saya ngasih saran aja lo. Mengganggap istri adalah pelayan atau sebagai budak bagi laki-laki, melayani apa saja yang laki-laki inginkan.

Agama tidak memposisikan perempuan atau istri seperti pandangan laki-laki seperti itu. Begitu juga dalam persoalan gender. Sungguh banyak pertanyaan yang sesungguhnya merusak keakraban antarsesama, antarwarga negara untuk merajut tali Persatuan Indonesia seperti yang dimaksud dengan sila ke-3 Pancasila itu sendiri.

Yang amat gamblang bahwa TWK itu menjadi test wawasan kekuasaan adalah seperti pada kategorisasi keempat yang tidak tersamar jika kita mengurainya dengan teori motif dan tindakan dari motif itu sendiri baik yang tersamar maupun yang tidak tersamar. Contohnya, soal kebijakan pemerintah yang ditanyakan. Jika dijawab tidak setuju atau belum tentu setuju, tergantung kebijakannya apa? Pastilah tidak akan lolos. Padahal, ketidaksetujuan tersebut harus dilihat argumentasinya, bisa dipertanggunjawabkan tidak secara akademik, bukan atas kekuasaan. Arah sasaran tembaknya begitu terlihat gamblang, begitu soal demo atas revisi UU KPK, karena soal demo penolakan terhadap revisi tersebut juga dilontarkan dalam pertanyaan TWK.

Kebijakan pemerintah tidak selamanya benar atau pemerintah tidak akan pernah salah. Padahal, yang memegang kekuasaan adalah manusia biasa, bukan Nabi atau Tuhan, seharusnya konsekuensi kita memilih republik dan demokrasi menyediakan ruang untuk dikritik atau dikoreksi jika ada hal kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat. Tetapi, karena menganut politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik menjadi panglima, ini problema utanya.

Pertanyaan-pertanyaan TWK yang kita kelompokkan di muka, pada akhirnya memberi konklusi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk menilai sejauhmana loyalitas terhadap pimpinan dan atau terhadap kekuasaan, dimana birokrasi itu adalah kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat pemegang otoritas kekuasaan. Ini bencananya bagi kita, bangsa dan negara.

 

Jika untuk mengukur integritas dalam pemberantasan korupsi atau nasionalisme atau apakah Pancasilais atau bukan, maka pertanyaannya adalah jika dalam kasus korupsi itu melibatkan orang yang paling dicintai atau ada hubungan sedarah atau ada sahabat dekat yang begitu sangat baik bagaikan saudara sendiri terlibat di dalamnya jika kasus korupsinya tidak berhenti pada jalan setapak, bagiamana sikap dan menyikapinya, dan jika terpaksa harus berlanjut, bagaimana sikap dan tindakannya dalam melakukan penuntutan atas ancaman hukuman yang akan diberikan?

Mengapa bangsa ini terbelit korupsi? Mengapa terjadi korupsi dan bagaimana korupsi itu bisa terjadi? Bagaimana kita bisa mengungkap kasus korupsi jika alat bukti permulaanya tidak cukup bahkan tidak bisa dibuktikan secara hitam putih (alat bukti formilnya tidak ada), padahal korupsinya nyata-nyata ada dan terjadi? Tingkat kesulitan yang paling rumit dalam mengungkap kasus korupsi seperti apa dan bagaimana model-model perkorupsian sekarang ini terjadi. Korupsi itu seperti dalam film kartun Tom and Jerrry, bagaimana anda bisa melacak dan membongkarnya?

Sebagai konklusi berikutnya, kita dapat melakukan pembacaan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut sesungguhnya hanyalah sekedar untuk menyingkirkan pegawai KPK atas dasar dan atau harus mencurigai adanya pegawai KPK yang menganut paham radikalisme atau jika Islam adalah Islam Khilafah. Celakanya dipakai untuk sentimen terhadap pegawai KPK yang mungkin tidak bisa diajak kompromistis terhadap penangangan kasus korupsi dan tidak mau ikut berbohong demi mengamankan kebijakan pimpinan.

Adanya Taliban di dalam KPK yang diisukan oleh para buzzer dan para penghamba kekuasaan, fakta konkretnya telah terbantahkan dengan sendirinya. Pegawai yang di(ter)singkirkan tersebut dari 51 pegawai yang semula 75 (24 pegawai konon masih bisa dibina sebelum bisa dibinasakan), ternyata ada pemeluk Kristiani-Katolik, Budha dan Hindu. Bagaimana mungkin logika dan akal waras kita bisa mengatakan secara rasionalitas, bahwa yang Kristiani, Budha dan Hidup betah dan atau mau bertahan dalam hidup dan lingkungan kerja komunitas Taliban. Begitu juga tidak akan bisa bertahan jika dalam KPK secara intitusional adalah Polisi India (mohon maaf yang tak terhingga, kita tidak bermaksud mengatakan itu, tapi itu yang pernah digaungkan, terpaksa kita pinjam stigmatisasi tersebut untuk membaca kejernihan) seperti yang terlihat dalam film-film India saja.

TWK dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut di muka, kita dapat melakukan pembacaan untuk konklusi akhir sebagai ending-nya. Bahwa TWK adalah sekedar alat kekuasaan untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berbeda pandangan terhadap kebijakan pemerintah (kekuasaan), yang celakanya dengan mendalilkan pilih Pancasila atau Quran. Semua China itu sama, dan Jepang itu kejam. Mau tidak melepaskan jilbab. Islam apa dan Qunut apa tidak dalam sholat Subuh. Mengapa bercertai, kalau berpacaran ngapain saja dan hal-hal yang konteksnya pelecehan (moralitas).

Bagaimana kita tidak memberikan kesimpulan, bahwa TWK itu adalah test wawasan kekuasaan, karena Pancasila dipertentangkan dengan sangat ekstrim dengan Al Quran. Padahal, Pancasila tidak mengatur hukum haram dan halal soal makanan, minuman, pernikahan, dan tidak bicara bagaimana hukum peribadatan, sholat, zakat, puasa dan lainnya, tidak terkecuali soal substansi hablum minannas dan hablum minallah, termasuk persoalan haqqul adam (hak adami), itu hanya ada pada agama. Begitu juga dengan persoalan yang hak dengan yang bathil, itu penjelasan dan kejelasannya ada pada agama.

 

Mentalitas Birokrasi Sentralistik

Pegawai KPK kini harus alih status menjadi ASN (aparatur sipil negara) yang zaman Orba dikenal dengan sebutan PNS (pegawai negeri sipil). Alih status menjadi ASN tentu akan membawa resiko dari sebuah sistem yang sebelumnya disebut bahwa KPK adalah lembaga independen, termasuk para pegawainya.

Resiko yang terbesar yang dihadapi KPK dengan status pegawainya adalah ASN, bakal menjadi jaminan bahwa dengan status ASN tersebut, ruh KPK akan bergerser pada sistem birokrasi dengan mentalitas ASN yang sentralistik atau hanya akan melahirkan mentalitas penyemir (penjilat; Brutus-Brutus dan Sangkuni)  demi mengamankan jabatan atau kedudukannya. ASN yang ada di KPK, mau tidak mau, harus berlutut pada sistem birokrasi kita yang sejak zaman Orla, Orba dan hingga kini adalah sistem (prilaku) berokrasi dengan mentalitas birokrasinya yang sentralistik.

Suatu hal yang amat nihilistik jika kemudian ada ASN yang bisa hidup dengan alam pikiran demokratis dan kritis yang berintegritas jika berada dalam wadah sistem birokrasi sentralistik. Resiko sebagai konsekuensinya adalah kariernya terhenti dan atau tidak akan menempati posisi strategis, kecuali hanya sebagai pelengkap penderita saja sebagai ASN di KPK.

Sistem birokrasi sentralistik dengan sendirinya akan membangun kontruksi dan piranti alam berpikir ASN atau yang kita sebut dengan mentalitas yang harus sentralistik, penyemir atau penjilat atau mencari muka. Karena, semua sangat bergantung pada otoritas kekuasaan yang di atasnya atau yang tertinggi secara hirarkis dalam susunan atau tatanan sistem birokrasi itu sendiri; bergantung pada pucuk pimpinan sebagai pemegang otoritas kebijakan (kekuasaan).

Jangan bermimpi adanya partisipatoris berpikir untuk merumuskan dan memperdebatkan masalah dan atau persoalan dalam dialektika intelektual, tidak akan mendapat ruang dan tempat pada sistem birokrasi sentralistik yang telah sempurna menjadi sistem dan mentalitas birokrasi sentralistik terpusat atau memusat pada kekuasaan politik dan politik kekuasaan.

Pada sistem kekuasaan birokrasi dalam pemerintahan kita hingga kini, sangatlah tepat seperti apa yang dikatakan Vincent de Gournay (1712-59) pada abad 18 yang dijelaskan Martin Albrow  dalam “Bureaucracy” bahwa birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, yang dalam hal ini, di negeri ini adalah kekuasaan.

Atas nama TWK yang baru saja usai dilakukan atas orotitas Ketua KPK Firli Bahuri menghasilkan assessment  awalnya 75 pegawai KPK harus disingkirkan, yang kemudian menjadi 51 pegawai benar-benar disingkiran dan 24 pegawai dalam kategori masih bisa dilakukan pembinaan dari jumlah pegawai yang ada, yaitu 1.349 orang. TWK KPK bisa dijadikan studi kasus dan realita yang tak terbantahkan seperti yang dikatakan de Gournay, jika kita membedah sungguh-sungguh atas materi pertanyaan yang harus dijawab oleh para pegawai KPK untuk menjadi ASN KPK, terutama dengan menggunakan pendekatan teoritik motif dan tindakan motif, dan dengan pembacaan sosiologi politik kekuasaan di negeri ini. Sejarah berulang kali telah mengajarkan itu semua dan telah memberi petunjuk bacaan akan hal itu semua.

Fakta dan realitas yang menga-ada, kita bisa melihat dengan mata bugil dalam prilaku birokrasi di berbagai tingkatan pemerintahan. ASN kariernya ditentukan oleh Kepala Daerah ASN faktanya harus selalu patuh dan tunduk pada apa maunya Kepala Daerah (adalah jabatan politik; jika partainya merah ya harus ikut merah, kuning ya harus ikut kuning, biru ya harus ikut biru, dan jika hitam ya harus ikutan hitam) dengan segala otoritasnya yang menjadi absolut. Pada pemerintahan pusat, otoritasnya ada pada Menteri (Kementerian), dan para Menteri (Kabinet) nasibnya bergantung pada otoritas absolut Presiden dengan mendalilkan hak prerogatif dan lainnya yang bisa terus diapologikan oleh pemegang otoritas kekuasaan.

Sama halnya untuk jajaran Direksi dan Komisaris BUMN, kursi panasnya menjadi absolut para Menteri yang membawahinya. BUMD pun sama, otoritas ansolutnya ada pada Kepala Daerah dalam jajaran jabatan Direksi. Bahkan urusan internal manajemen pun bisa diobrak-abrik oleh pemegang otoritas absolut. Lagi-lagi, apologi bisa dimainkan untuk diapologikan untuk melakukan bantahan rasionalitas publik untuk logika dan akal warasnya atas mentalitas birokrasi sentralistik terpusat atau memusat tersebut yang menjadi realita atas tradisi dan budaya yang senantiasa dipelihara oleh sistem kekuasaan pejabat.

 

Goodbye KPK-Bubar Saja KPK- Goodbye KPK

Seperti yang telah kita urai di muka, bahwa sistem birokrasi sentralistik dengan sendirinya mentalitas ASN pun menjadi sentralistik; apa kata pimpinan saja, keharusan menjadi loyalis terhadap pimpinan jika tidak ingin kariernya terhambat dan atau untuk mengamankan jabatannya. Bahkan dalam sistem dan mentalitas birokrasi sentralistik terpusat atau memusat, ASN secara hirarkis harus bisa dan atau mau berbohong demi mengamankan kebijakan pimpinan yang oleh de Gournay dikatakan birokrasi kekuasaan yang dijalankan pejabat pemegang otoritas, dalam hal ini puncak pimpinan dan atau pimpinan di semua tingkatan birokratif.

Menjadi nihilis jika KPK bisa menjadi independen, di mana pegawai KPK kini menjadi ASN, mau tidak mau, pastilah secara institusional tidak akan lagi bisa independen, karena pegawai KPK sudah di-ASN-kan dan KPK secara konsitusi adalah rumpun eksekutif dengan diterbitkannya PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), setidak-tidaknya ada tiga pasal yang bisa dijadikan argumentasi akademik bahwa sistem dan mentalitas birokrasi ASN itu sentralistik yang mengharuskan ASN tidak bisa lagi independen baik secara individu maupun institusional, seperti yang secara gamblang dikatakan dalam pasal Pejabat Pembina Kepegawaian; Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada: a). menteri di kementerian; b). pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian; c). sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga non struktural; d). gubernur di provinsi; dan e). bupati/walikota di kabupaten/kota (Pasal 53) .

Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah {Pasal 9(1)}. Pegawai ASN bertugas: a). melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 11). Pegawai ASN wajib: melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian (Pasal 23.c, d, e).

Pasal 53 tersebut melahirkan mentalitas ASN yang dengan sendirinya sistem birokrasi yang harus dijakankan atau berjalan adalah berdasarkan pengabdian dalam pengertian loyalitas buta dalam praktiknya. Yang kemudian pasal tersebut menjadi senjata pamungkas yang ampuh untuk membuang dan atau menyingkirkan ASN yang dianggap tidak loyal pada pimpinan. Integritas sebagai assesment yang semestinya menjadi dasar pijak hanya sekedar kata tanpa ruh, tak berwujud apalagi maujudnya.

KPK setelah adanya revisi UU yang mengahasilkan UU Nomor 19 Tahun 2019 hanya mencerminkan bagaimana birokrasi dijalankan oleh kekuasaan pejabat pemegang otoritas. Studi kasusnya, sebagai fakta dan realitas 51 orang pegawai KPK yang disingkirkan dan 24 pegawai yang konon masih bisa dilakukan pembinaan. UU KPK hasil revisi tersebut juga tidak bisa membantah dan atau realitas  empirik sebagai fakta tidak bisa terbantahkan, bahwa independensi dalam KPK hanyalah sebuah nihilism saja nantinya.

Kinerja KPK tidak akan lagi bisa optimal dalam melakukan tindakan pemberantasan korupsi. Dalam sistem dan mentalitas birokrasi yang sentralistik, KPK akan menjadi sebuah lembaga yang akan bekerja sesuai minimal target dalam kinerjanya, hanya akan memenuhi setoran target kasus yang ditanganinya, dan itu semua merupakan ciri atau karakteristik dari sistem dan mentalitas birokrasi sentralistik.

Persoalan lainnya, adalah public distrust dan atau publik tidak lagi guyup atau menggebu-gebu terhadap keberadaan KPK. Publik akan bersikap apatis dan bahkan skeptis apalagi KPK kini terus menerus beropologi dan terus menerus melakukan bantahan dari sebuah fakta yang nyata yang sesungguhnya tak bisa terbantahkan lagi. Publik semula menaruh harapan besar kepada KPK untuk bisa menjaga negeri ini untuk tidak dirampok oleh para koruptor yang bersekongkol dengan oligarki kekuasaan dan kekuasaan oligarki di negeri ini.

Bukan hal yang nihilis pada akhirnya KPK hanya berumah di atas angin. Saking menaruh harapan yang besar itulah kemudian kita kehilangan asa, menjadi pupus harapan, patah arang dan menelan kekecewaan yang besar dengan adanya KPK sebagai rumpun eksekutif dan pegawai KPK menjadi  ASN dalam sistem birokrasi sentralistik terpusat atau memusat, dan TWK sebagai alat untuk menyingkirkan integritas dan indepensi.

Untuk itu, buat apa masih ada KPK yang hanya menelan uang rakyat, menghambur-hamburkan uang negara. Bukankah jauh lebih baik, jika KPK kini dibubarkan saja, kemudian pemerintah dengan APBN-nya memperkuat institusi Kepolisian dan Kejaksaan, karena keberadaan KPK telah gagal dan atau tidak mampu mengemban amanat reformasi 1998 yang berdarah-darah. Toh di KPK juga isinya banyak dari Kepolisian dan Kejaksaan. KPK sifatnya ad hoc. Jadi sudahi saja KPK, dan perkorupsian menjadi tanggungjawab sepenuhnya kedua institusi tersebut. Kepolisian dan Kejaksaan konon telah mampu menangani pemberantasan korupsi. KPK memang meng-ada dengan nawaitu yang tersamar, studi bandingnya jelas, ke Hong Kong.

Tak ada yang bisa harus kita katakan, kecuali, Jika KPK Berumah Di atas Angin, Googbye KPK-Bubar saja KPK-Goodbye KPK. Buat apa kita Menunggu Godot, jika hanya melahirkan Sangkuni dalam siluet. Kita bermimpi dan menaruh harapan yang berlebihan pada KPK, sehingga hanya membuahkan kekecewaan yang dahsyat melihat realitas KPK. Kita tak lagi menaruh harapan padamu, yang dulu kita elu-elukan bersama. Goodbye KPK. ***

 

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles