Bangunan darurat pasar Kalijati-Subang yang terbakar pada September 2019 lalu. Foto: Demokratis/Abh
Subang, Demokratis
Kepala Desa Kalijati Timur dan Camat Kalijati dinilai abai terhadap keluhan para pedagang eks Pasar Kalijati Timur yang terbakar pada September 2019 lalu, efeknya para pedagang nasibnya terombang ambing tidak menentu.
Keluhan itu sudah berlangsung lama terkait mahalnya harga kios/toko yang ditetapkan berdasarkan surat perjanjian (MoU) antara pihak developer (pengembang) PT SRM dengan ASPPAK, beberapa waktu itu.
Padahal MoU-nya sendiri sudah dicabut oleh para pengurus Asosiasi Pedagang Pasar Kalijati (ASPPAK) sekaligus pernyataan pembubaran ASPPAK sebagaimana surat pernyataan yang dibuat di atas kertas bermaterai pada 26 November 2020.
Berangkat dari kondisi ini, para pedagang pasar yang tergabung dalam wadah Solidaritas Perjuangan Pedagang Pasar Kalijati (SP3K) sebagai pengganti ASPPAK ingin menggelar kembali (pertemuan susulan-Red) antara para pedagang (SP3K) dengan developer untuk mencari mufakat.
Diharapkan dalam pertemuan kelak bisa difasilitasi oleh instansi yang bersikap netral seperti SKPD terkait di tingkat kabupaten, Pemcam Kalijati atau Komisi II DPRD/anggota DPRD Dapil Kalijati.
Hal itu disampaikan Ketua SP3K Yudi Kudrat Permana didampingi Sekeratis Imron Rohim dan Bendahara Susanti saat dihubungi awak media (3/2) di sebuah tempat di Desa Kaliangsana.
Menurut Yudi, pihak pengembang dalam menentukan harga kios/toko merujuk pada MoU yang dibuat antara pengembang dengan ASPPAK waktu itu dinilai prematur dan cacat hukum, karena selain sudah dibatalkan (dicabut-Red) prosesnya hanya melibatkan para pengurus box saja, sehingga dianggap tidak mewakili para pedagang secara keseluruhan. Mestinya ASPPAK saat itu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada para pedagang yang kapasitasnya selaku anggota.
“Seharusnya terlebih dahulu mendapat persetujuan dari para pedagang baik besaran harga kios maupun site plan, bukan klaim sepihak yang pada akhirnya memberatkan para pedagang,” ujar Yudi.
Seperti diberitakan media ini pada edisi lalu disebutkan, Yudi yang akrab disapa Otoy beranalisa, sudah diketahui akar masalahnya cukup simpel, bagaimana bisa mewujudkan pertemuan yang fair guna membahas keinginan masing-masing pihak untuk mencapai kata mufakat.
Di antaranya hal yang subtansial ihwal harga kios/los pasar. Keinginan pengembang/developer harga kios bawah Rp 18.000.000/m2, kios atas Rp 15.000.000/m2, lemprakan (lapak basah) Rp 11.000.000/m2, lemprakan (lapak kering) Rp 9.600.000/m2. Sementara penawaran pedagang harga kios bawah Rp 13.000.000/m2, kios atas Rp 10.500.000/m2, lemprakan (lapak bawah) Rp 700.000/m2, lemprakan (lapak kering) Rp 6.700.000/m2.
Dalam prosesnya saat berlangsung pertemuan nanti bisa dibahas hal-hal teknis secara transparan (terbuka) semisal tawar menawar harga. “Ada pepatah bata turun keusik naek (Sunda : bata turun pasir naik) sehingga dimungkinkan cepat diperoleh titik temu, setidaknya merujuk harga kios/toko di Pasar Purwadadi,” ujar Yudi.
Tidak seperti yang dikehendaki pihak pengembang, pedagang bila ingin menawar harga agar datang saja ke pihak manajemen secara perorangan. Hal ini menurut Otoy bisa ditafsirkan tidak transparan, dikhawatirkan memicu kecemburuan sosial di antara para pedagang itu sendiri. Lantaran bisa saja pengembang memperlakukan berbeda-beda terhadap pedagang.
“Ada yang diberi harga mahal dan sebaliknya, tergantung kebijakan pihak manajemen, jadi tidak seragam,” tandasnya. Hal ini pula yang membingungkan calon konsumen, sehingga tak sedikit pedagang yang sudah membayar uang tanda jadi (UTJ) diambil kembali.
Merujuk penawaran harga pada nominal itu, tambah Yudi, dipandang rasional, pertimbangannya didasarkan dari pendapatan perorangan. Jika dikalkulasi rata-rata pendapatan Rp 3 juta/bulan dipotong biaya hidup, makan, listrik, iuran retribusi desa, keamanan, kebersihan ditotal Rp 2 juta/bulan, sehingga sisanya tidak akan mencukupi untuk membayar cicilan kios/toko yang ditawarkan pengembang.
Masih menurut Otoy, permasalahan ini sudah disampaikan melalui Pemerintahan Desa Kalijati melalui surat No 001/SPPPK/XI/2020, tanggal 23 November 2020 dan memang Pemerintah Desa telah mempertemukan pengembang dengan para pedagang namun ending-nya tidak diperoleh kesepakatan.
“Tidak diperolehnya kesepakatan menurut penilaian SP3K pihak pemerintah desa diduga tidak bersikap netral bahkan terkesan cenderung memihak kepada pengembang. Ada apa dengan Pemerintah Desa Kalijati Timur?” tanya Yudi heran.
Tak hanya sampai di situ, untuk mencari solusi permasalahan ini, juga telah digelar audensi yang diprakarsai Komisi II DPRD Subang pada 25 November 2020, namun lagi-lagi hasilnya belum sesuai keinginan para pedagang, bahkan SP3K sudah mengirim surat susulan ke Komisi II DPRD Subang, perihal permohonan audensi kedua, namun hingga kini kendati suratnya sudah sebulan dilayangkan sejak 17 Januari 2021 belum kunjung ditanggapi.
Camat Kalijati Ahmad Hidayat SE ketika dikonfirmasi via seluler (7/1) terkait adanya keluhan dan keresahan para pedagang pasar, mengaku belum mengetahui secara detail, lantaran pihak Pemerintah Desa Kalijati Timur sejak awal perencanaan pembangunan pasar cenderung tidak melibatkan unsur Muspika secara intens.
“Peran kami dalam membina penyelenggaran pemerintahan desa lebih bersifat memfasilitasi. Jadi, untuk mendapatkan informasi secara utuh dipersilahkan menghubungi pihak desa,” tutur Camat mengarahkan.
Kades Kalijati Timur Ahadiyat Awaludin saat dikonfirmasi via WhatsApp (9/1) pihaknya menyangkal atas tudingan miring yang dialamatkan kepada institusinya bila sikapnya tidak pro pedagang.
“Faktanya kami sudah memfasilitasi pertemuan antara pedagang dan pengembang, tapi diakui memang saat itu deadlock tidak ada titik temu. Namun pihak pengembang memberi keleluasaan bila pedagang ingin menawar tinggal menghubungi pihak manajemen pemasaran dengan catatan datangnya secara perorangan, tetapi lebih jelasnya silahkan saudara menghubungi pihak manajemen di kantornya,” ujarnya mengarahkan.
Ketua LSM el-BARA Kabupaten Subang Yadi Supriadi SThi saat dimintai tanggapan di kantornya (11/2) terkait keluhan pedagang Pasar Kalijati, menyesalkan atas adanya sikap Kades Kalijati Timur dan Camat Kalijati terkesan membiarkan para pedagang yang terombang ambing nasibnya.
“Mestinya mereka pro aktif memfasilitasi dan memperjuangkan aspirasi para pedagang agar tidak resah, karena tugas dan kewajiban mereka seperti kita ketahui sama bagaimana memelihara situasi ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat menjadi kondusif,” tandasnya.
Menurut Yadi, ketika pemerintahan dijalankan dan dikuasai di bawah tekanan dari suatu kelompok atau golongan tertentu, maka konsekuensinya adalah keterpurukan dan hilangnya kewibawaan pemerintah.
“Kemudian ketika kewibawaan Pemerintah Daerah Subang tereduksi oleh kepentingan para pemodal atau kepentingan kelompok elit tertentu, maka yang hadir adalah kesewenang-wenangan, keserakahan, melebarnya garis ketimpangan dan ketidakadilan,” pungkasnya.
Sementara pihak manajemen PT SRM hingga berita ini tayang belum berhasil dimintai keterangannya. (Abh)