Genderang Pilkada serentak keempat tahun 2020 telah dimulai di tengah mencekamnya wabah Covid-19 yang semakin melonjak dan belum dapat diatasi. Ada 270 daerah yang bakal menggelar Pilkada serentak dengan biaya sekitar Rp 15 triliun, yang dihitung berdasarkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) berjumlah 105.396.460 orang dengan rincian untuk masing-masing pemilih dikeluarkan pembiayaan senilai Rp 140.000-an/orang. Pilkada serentak yang akan berlangsung 9 Desember 2020 diikuti oleh 9 provinsi yang akan menggelar pemilihan langsung pasangan gubernur/wakil gubernur; 224 kabupaten yang akan menggelar pemilihan langsung pasangan bupati/wakil bupati dan 37 kota yang akan menggelar pemilihan langsung walikota/wakil walikota.
Sementara itu, wabah corona masih melonjak begitu PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) dilonggarkan sehingga perlu berpacu lebih kencang lagi melawannya. Banyak orang yang abai, dan tidak mentaati protokol kesehatan, justru di beberapa tempat ada perlawanan dari sekelompok masyarakat dengan dalih bahwa sakit dan mati itu takdir. Inilah kekonyolan yang mereka lakukan di ruang publik, yang sebenarnya mereka sedang membunuh orang lain, karena mereka sendiri tidak tahu apakah dirinya sudah terinfeksi Covid-19 yang mematikan itu. Kondisi ini, tidak bisa dibiarkan dan harus ditegakkan disiplin yang tinggi terhadap protokol kesehatan, terlebih kini penyebaran Covid-19 dapat menular melalui udara, partikel kecil virus corona dapat bertahan hingga tiga jam di udara (update WHO).
Politik Dinasti
Para petinggi dan elit parpol pun telah mengumumkan para bakal calon yang akan maju dalam Pilkada provinsi maupun kabupaten/kota. Demokrasi ala Indonesia ini tidak pernah sepi dari hiruk pikuk, tarik-ulur kepentingan bahkan mungkin saling jebak dan jegal untuk memuluskan diri, dinasti dan kroni-kroninya mengesampingkan etika politik, azas kepatutan, sopan santun dan humanistis. Centeng perentang dan suhu politik pun mulai memanas, ibarat pacuan kuda sudah siap lepas kendali. Mereka mencari pembenaran diri untuk dapat menang dengan cara apapun akan mereka lakukan, terlebih yang berada di tampuk kekuasaan, mereka merasa yang seolah-olah menjadi miliknya dan merasa benar sendiri. Ini tumbuh dengan peribahasa Jawa ”anak polah bapa kepradah” yang artinya seorang anak mempunyai kehendak maka orangtuanya mempertaruhkan semua apa yang dimilikinya untuk kesuksesan anaknya. Jika dikaitkan dengan hak mungkin benar adanya, namun etika lebih tinggi daripada aturan-aturan hukum yang dibuat. Ada teladan sangat baik dan idealisme yang patut kita contoh ketika mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso tidak menyetujui puteranya (Aditya) masuk AKABRI matra kepolisian, karena menjaga idealisme untuk tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Perlu juga diwaspadai, di balik itu semua, pasti ada pergerakan pemegang modal dan finansial yang sangat besar yang rela mengeluarkan kocek sangat besar demi kemenangan para calon di sekitar dinasti yang berkuasa. Mereka para pemilik modal tidak serta merta memberikan dukungan begitu saja tanpa kalkulasi ekonomi dan keuntungan bagi mereka, dinasti dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, rakyat harus cerdas dan berani menolak dan tidak memilih politik dinasti maupun kroni-kroninya yang secara etika politik sungguh memprihatinkan. Perilaku politik dinasti ini sangat tricky seolah tidak ada legal formal yang diterabas/dilanggar, padahal norma etika itu lebih tinggi daripada sekedar aturan hukum (Socrates, filsuf Yunani). Tuntutan untuk berkomitmen dengan etika merupakan tututan publik semua orang, terlebih bagi pejabat negara, tokoh masyarakat maupun publik figur yang seharusnya sudah paripurna dengan dirinya sendiri maupun keluarganya. Mestinya mereka hidup dalam idealisme karena jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan saja kepada rakyat; namun secara hakiki kepada Allah-Tuhan Yang Maha Kuasa. Akan sangat baik, jika pencalonan anak, menantu maupun keluarganya dilakukan nanti saat orangtuanya tidak menjabat lagi; sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan carut marut. Kemudian, ada contoh kasus sangat ironis bahwa ada seorang walikota dengan ketua DPRD-nya anaknya sendiri, walaupun dipilih secara demokrasi dalam proses politik Pileg maupun Pilkada. Bagaimana dia dapat melakukan fungsi kontrol kepada orangtuanya sendiri. Saat ini ada sekitar 170 kepala daerah/wakilnya, 150-an anggota DPR RI yang berasal dari politik dinasti ini; belum lagi jabatan-jabatan lain yang tidak terendus oleh publik maupun media. Juga perlu mendapat perhatian sangat serius agar tidak terjadi lagi ada petugas KPPS yang meninggal mendadak (saat Pemilu serentak 2019) ada sekitar 527 orang dan dirawat sekitar 11.300–an orang dan hingga kini kasusnya menguap begitu saja.
Penyelenggaraan Pemilu yang sering dan banyak menelan biaya yang sangat-sangat banyak ini (termasuk korban jiwa dan konflik horizontal) harus terus dikawal secara obyektif, rakyat harus cerdas, penegak hukum dan media harus kritis dan tidak memihak. Agar pesta demokrasi ini sangat panjang ini seperti halnya Pilkada serentak digelar dalam tujuh gelombang yaitu 2015, 2017, 2018, 2020, 2022, 2023 dan 2027 setelah itu akan ada Pilkada serentak secara nasional. Berikut ini beberapa tahapan Pilkada serentak keempat tahun 2020: a) pendaftaran & verifikasi pasangan calon (Paslon) : 28 Agustus – 22 September; b) masa kampanye (26 September – 5 Desember 2020); c) pemungutan dan perhitungan suara (9 – 20 Desember 2020); d) penetapan paslon terpilih (setelah penenetapan dari MK). Dan para petahana yang ikut maju dalam kontenstansi Pilkada harus mundur dari jabatannya agar menjamin keadilan serta memutus mata rantai supaya tidak menggunakan fasilitas negara jika hanya cuti. Ini juga sangat penting, supaya gentleman (women) dalam “pertarungan” politik karena “maruk” khawatir kehilangan jabatannya.
Untuk pelaksanaan kampanye yang melibatkan publik harus mentaati protokol kesehatan dan akan lebih safe manakala peserta yang hadir telah menjalani rapid/swab test agar dapat mengurangi resiko penyebaran Covid-19. Inilah saat-saat kampanye : a) pertemuan terbatas, tatap muka, dan dialog, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye (APK), dan kegiatan lainnya (26 September – 5 Desember 2020); b) debat antar kandidat/terbuka antar pasangan calon (26 September – 5 Desember 2020); dan c) kampanye melalui media massa, cetak, dan elektronik (22 November – 5 Desember 2020).
Luber, Jurdil dan One Person = Proporsional Vote
Jargon Luber dan Jurdil sungguh tidak mudah masih menjadi misteri karena di sana-sini masih terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan demi kemenangan calon tertentu. Bawaslu, penegak hukum berkolaborasi dengan media dan rakyat harus menjadi garda terdepan dalam mengawal jalannya demokrasi; bukan sebaliknya menjadi corong dan agen kemenangan calon tertentu. Kedepan, perlu didukung dengan penerapan teknologi informasi dan telekomunikasi seperti CCTV, E-voting maupun i-voting seperti dilakukan di negara-negara lain, seperti : 1) Amerika Serikat yang menggunakan mesin DS-200 buatan perusahaan elektronik ES&S. Mesin ini nantinya akan menerima surat suara yang sudah ditandai oleh pemilih, kemudian setelah Pemilu selesai mesin akan mengeluarkan tabulasi jumlah pemilih dalam bentuk selembar kertas; 2) Estonia menggunakan i-voting dengan login menggunakan kartu identitas penduduk (semacam KTP); 3) India menggunakan Electronic Voting Machine (EVM) yang memiliki unit kontrol dan unit pemungutan suara dalam momen Pemilunya; 4) Brazil menggunakan direct-recording electronic (DRE) voting machine yang merupakan kolaborasi pemerintah dengan perusahaan Omnitech, Microbase, dan Unisys; dan 5) Venezuela menggunakan mesin semacam DRE yang dilengkapi dengan touch screen. Lantas, kapan Indonesia dapat menerapkan e-voting? Semua berpulang pada kemauan penyelenggara negara dan elite Parpol untuk dapat mewujudkannya; walaupun kita tahu bahwa masih ada sebagian daerah yang menggunakan “sistem noken” dalam pesta demokrasi ini.
Terkait suara, diarasakan adanya ketidakadilan dari sistem one man = one vote, karena menyamaratakan seseorang pemilih, semua sama dihitung satu suara bagi orang yang bodoh maupun pintar. Kedepan, mestinya digunakan sistem proporsional untuk menghitung suara dari para pemilih yang berbeda-beda latar belakang. Misalnya menggunakan latar belakang pendidikan yang dirasa lebih berkeadilan sejalan dengan jargon SDM Unggul Indonesia Maju. One person = proporsional vote berbasis pendidikan akan mengkategorikan pemilih berdasarkan latar belakang pendidikan yang dimilikinya, misalnya pemilih dengan pendidikan SD ke bawah dihitung 1 suara, SMP/sederajat : 2 suara, SMA/sederajat : 3 suara, D1 : 4 suara, D2 : 5 suara, D3 : 6 suara; D4/S1 : 7 suara, S2 : 8 suara dan S3 : 9 suara. Terkait hal ini pasti ada pro dan kontra, namun jika dikaji secara obyektif maka sistem proporsional ini lebih humanistis dan berkeadilan.
Politik Uang, Dinasti dan Korupsi
Korupsi hingga kini masih merajalela, kasus terbaru ada seorang Bupati di wilayah Kalimantan Timur yang tertangkap tangan melakukan korupsi. Sejak Pilkada digelar pada 2005 silam hingga sekarang ada sekitar 300 kepala daerah/wakilnya yang terjerat kasus korupsi yang motifnya beragam namun pada umumnya berkutat sekitar politik balas jasa, kedinastian maupun bagi-bagi jatah untuk para kroni-kroninya. Ada yang mislink antara tuntutan reformasi 1998 dengan realita saat ini. Setidaknya ada enam tuntutan Reformasi 1998 yaitu 1) Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; 2) penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); 3) penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); 4) desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah; 5) mewujudkan kebebasan pers; dan 6) mewujudkan kehidupan demokrasi. Padahal Reformasi 1998 sudah berlangsung 22 tahun, namun masih banyak menyisakan persoalan yang belum ada solusinya. Misalnya korupsi masih merajalela, ekonomi semakin terpuruk, demokrasi berbiaya sangat-sangat mahal.
Dampak Ekonomi Pilkada
Anggaran Pilkada serentak mencapai Rp 15 triliun akan dibelanjakan untuk keperluan peralatan Pilkada sekitar 40%, selebihnya 60% untuk insentif para penyelengara Pilkada. Perputaran uang ke daerah dapat menjadi stimulus ekonomi di tengah wabah Covid-19 yang belum mereda. Dampak ekonominya dapat memberikan stimulus bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) termasuk ultra mikro. Pilkada akan menggerakkan perekonomian di daerah. Belum lagi, dana yang dikeluarkan para bakal calon (balon) maupun calon peserta kontestansi mulai dari lobby-lobby (atau semacam mahar politik) untuk pencalonannya, kampanye, perhelatan hari H pemungutan suara, gugatan di Mahkamah Konstitusi hingga pelantikannya. Terkait, peraga kampanye secara fisik diperkirakan akan turun karena di tengah wabah Covid-19 media online akan menjadi sarana kampanye yang ampuh, disamping kampanye lainnya. Juga sangat perlu diwaspadai, maraknya money politic (politik uang) yang bakal menggelontor bagi rakyat berpenghasilan rendah, korban PHK dan lain-lain, yang dinilai rentan terhadap jual beli suara ini. Bawaslu hendaknya bekerjasama dengan KPK untuk lebih pro-aktif dan tidak memihak pada kepentingan tertentu.
Perputaran uang di Pilkada 2020 diperkirakan mencapai sekitar Rp 25 triliun yang mengalir ke daerah, dengan rician Rp 15 triliun dari anggaran pemerintah dan sekita Rp 10 triliun dari kantong para calon yang maju dalam kontestasi Pilkada untuk kepentingan kampanye, bahkan mungkin untuk mendulang suara dengan motif macam-macam seperti bagi-bagi sembako, sarung, uang, termasuk APD (Alat Pelindung Diri) protokol kesehatan dalam mencegah penyebaran Covid-19 seperti masker (bergambar paslon dalam Pilkada), dan lain-lain. Jumlah tersebut sepadan dengan perputaran uang selama Pilkada serentak 2018 yang lalu. Belum lagi, para calon dan tim sukses akan bergerilya untuk kemenangannya dengan cara apa pun termasuk, money politic yang kini sangat rentan karena pendapatan dan daya beli sangat menurun akibat terdampak Covid-19.
Ini paralel, pemerintah sedang pacu ekonomini eksponensial agar dapat menahan anjloknya perekonomian nasional. Perlu mealkuan re-setting dan menyusun skenario-skenario baru termasuk menyiapkan anggaran sebesar Rp 87,55 triliun untuk kesehatan, untuk jaminan sosial mencapai Rp 203,9 triliun akibat dari berhentinya aktivitas penyerapan tenaga kerja sehingga banyak korban PHK. Untuk pemulihan ekonomi disiapkan sebesar Rp 226,72 triliun untuk memacu kinerja industri dan pertumbuhan ekonomi. Dan Rp 177,03 triliun untuk menjaga volatilitas sektor keuangan dan pembiayaan UMKM dan Koperasi. Di sisi lain, semua sektor terkontrasi semakin dalam dan mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi bahkan sampai – 3,1% menyentuh bottom rack, sehingga perlu re-setting dan transformasi perekonomian di tengah era abnormal. Pemulihan ekonomi nasional (PEN) sangat ditentukan oleh kebijakan sektor kesehatan agar menjaga kapasitas pemerintah pusat hingga daerah, penegak hukum dan sektor usaha dalam mengawal kebijakan transisi PSBB supaya tidak menimbulkan lonjakan kasus baru Covid-19 (second wave) sehingga kegiatan ekonomi dapat berlangsung.
Pacu ekonomi di tengah wabah Covid-19 di era abnormal (bukan new normal) sangat mutlak diperlukan disiplin tinggi dari setiap orang yang berada di ruang publik, tempat pusat-pusat bisnis, pasar-pasar, perkantoran maupun tempat-tempat keramaian lainnya. Pun, kita menyaksikan begitu PSBB dilonggarkan terjadi lonjakan kasus terinfeksi positif Covid-19 dalam jumlah besar. Kini kita harus membiasakan menjadi manusia bermasker, bertopeng plastik maupun APD lainnya jika berada di ruang publik, mentaati protokol kesehatan demi kemashlahatan bersama. Jangan sok jagoan merasa benar sendiri dan tahan terhadap virus corona! Dampak multi-dimensional semakin parah dan tekanannya sangat dalam, sehingga berdampak juga dalam penyelengaraan Pilkada serentak tahun ini. Rakyat harus cerdas memilih jangan memperjualbelikan suara untuk calon yang tidak memiliki kapabilitas dan integritas. Harus berani tolak politik uang, tolak politik dinasti sehingga negeri ini tidak dikuasai oleh segelintir orang saja; namun benar-benar kekuasaan oleh rakyat sebagai inti dari demokrasi yang kita dambakan; sembari berdoa semoga Allah Yang Maha Kuasa segera mengangkat segala macam wabah penyakit, termasuk Covid-19.
Penulis adalah Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, Alumni PPRA LIX Lemhannas RI, dan Tim Trainer Hubungan Industrial Tingkat Nasional Kemnaker