Tapteng, Demokratis
Seribuan karyawan PT SGSR kebun Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) resah. Rencana perusahaan yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat produksi menurun dampak ternak yang berkeliaran, membuat karyawan tidak nyenyak tidur. Ketakutan kehilangan mata pencaharian menjadi momok yang menakutkan.
Ditenggarai, jika manajemen PT SGSR melakukan kebijakan PHK ini, seribuan orang bakal menjadi pengangguran di Tapanuli Tengah. Pasalnya, hampir 80 persen karyawan PT SGSR adalah tenaga kerja lokal. Menghindari hal tersebut, karyawan meminta pemerintah turun tangan membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi.
“Hingga saat ini memang belum ada terjadi PHK. Tapi gangguan operasional perusahaan akibat menurunnya produksi TBS dan rusaknya sarana prasarana dampak ternak warga yang berkeliaran, tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi,” ujar Delpin Tinambunan, salah seorang karyawan PT SGSR kebun Manduamas, Kamis (3/6/2021).
Menurutnya, Pemerintah bisa turun tangan menyelesaikan permasalahan dengan memberikan pemahaman kepada pemilik ternak, untuk tidak menggembalakannya di areal kebun perusahaan. Pemerintah juga bisa mengedukasi warga agar kegiatan peternakannya tidak sampai merugikan pihak lain.
“Kami bermohon kiranya Pemkab Tapteng dapat memfasilitasi penyelesaian gangguan ternak terhadap kebun sawit milik PT SGSR, agar rencana PHK yang menyebabkan ribuan karyawan akan menjadi pengangguran tidak terjadi,” harap Delpin yang didampingi Andeas Draha.
Terpisah, Menager Umum PT SGSR, Bokkare Tua Sihotang menyebutkan, rencana PHK yang akan diberlakukan pihaknya diakibatkan produksi panen perusahaan yang menurun setiap tahunnya, dampak gangguan ribuan ternak kerbau dan sapi yang digembalakan secara liar di areal kebun sawit PT SGSR.
Disebutkannya, ternak dan sapi yang memasuki kebun membuat lahan dan pohon sawit rusak. Produksi berkurang, pohon sawit banyak yang mati. Keberadaan ternak yang dibiarkan berkeliaran di malam hari tanpa dihalau kembali ke kandang, juga merusak sarana dan prasarana milik perusahaan. Kubangan yang timbul juga berpotensi menghadirkan berbagai macam penyakit bagi keberlangsungan budi daya pohon sawit.
“Telah berulang kali kita ingatkan agar warga menertibkan ternak masing-masing, namun sepertinya dibaikan. Bahkan pagar kawat yang kita pasang juga dirusak. Dibuat keras salah, baik-baik tidak digubris,” terang Bokkare.
Terkait harapan karyawan agar Pemerintah turun tangan menyelesaikan permasalahan yang terjadi, Bokkare sangat sependapat. Menurutnya, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah bisa melakukan pendekatan secara persuasif, dengan memberikan pemahaman dan edukasi. Pemerintah juga bisa bertindak tegas jika pemilik ternak mengabaikannya.
“Bukannya kita tidak mau bertindak tegas. Tapi alangkah eloknya jika Pemerintah dapat memediasi sekaligus memberikan pemahaman dampak yang ditimbulkan ternak-ternak liar itu terhadap mata pencaharian orang lain,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan, jika telah diimbau dan diingatkan, namun pemilik ternak masih membandel, Pemerintah bisa mengambil tindakan tegas dengan merampas ternak tersebut untuk negara. Aturan itu tercantum dalam pasal 279 revisi KUHP.
“Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II. Ternak sebagaimana dimaksud dapat dirampas untuk negara,” papar Bokkare.
Untuk mendapatkan solusi terbaik, Bokkare berharap Pemerintah berkenan memfasilitasi permasalahan yang terjadi, demi untuk keberlangsungan hayat hidup karyawan PT SGSR.
“Bagaimanalah nanti nasib para karyawan yang terkena PHK. Semoga Pemerintah berkenan turun menyelesaikan masalah ini,” pungkasnya. (MH)