Mandailing Natal, Demokratis
Masa-masa sulit seperti ini, apalagi harga sembako naik melambung harganya, sangat terasa sekali bagi keluarga Kamal (53), bersama istrinya Syarifah (43) dan tiga orang anaknya yang tinggal di bekas gubuk glundung (pencuci emas) di Jalan Sibadoar, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut.
Anisah (6), Zuhra (4) dan Ahmad Riski (2) telah tinggal di gubuk bekas glundung sudah sekitar 6 tahun lamanya bersama kedua orang tuanya.
“Jangankan ngontrak rumah yang layak, pak, bisa makan setiap hari saja sudah sangat bersyukur. Kalau di sini kan tidak bayar kontrakan. Tempat ini kan sebelumnya lokasi glundungan, karena sudah tidak beroperasi, kami minta ijin untuk tinggal di sini. Kami berkeinginan punya tempat tinggal yang layak, apalagi anak kami masih kecil, tapi kami tak mampu mengontrak,” ucap Kamal dan istrinya kepada awak media, Rabu (27/9/2023).
Bukan hanya masalah tempat tinggal, perihal ekonomi dan biaya hidup pun turut menjadi persoalan pelik yang tengah dialaminya. Pasalnya, Kamal yang hanya kerja serabutan kerap kali kesulitan untuk memenuhi isi perut keluarganya sehari-hari. Bahkan dia dan istrinya mengaku sudah terlilit hutang kepada tetangga maupun warung sembako sekitar rumahnya.
“Saya kerja serabutan, pak, kalau ada yang ajak kerja bangunan saya ikut, kadang ada yang nyuruh membersihkan pekarangan dan sebagainya. Selagi halal demi keluarga saya bisa makan,” sebut pria kelahiran pulau Jawa ini.
Sementara Syarifah sendiri juga mengaku tidak punya pekerjaan tetap dan kadang bekerja sebagai tukang cuci pakaian untuk membayar hutang kepada si pemberi pinjaman. “Kami ingin hidup lebih layak, pak. Kami sedih melihat anak-anak kami,” keluhnya.
Tidak hanya itu, permintaan sang buah hati, Anisah yang sudah berusia tahun tahun untuk masuk ke Taman Kanak-kanak (TK) bersama teman sebayanya juga menjadi beban pikiran untuk Kamal dan Syarifah.
“Harga beras juga sangat mahal. Hutang beras kami sudah banyak di warung-warung, kadang saya malu ditegur soal hutang, tapi mau bagaimana lagi, kami tidak punya uang. Kami harus muka tembok ke warung atau tetangga demi anak kami bisa makan,” tutur Syarifah dengan mata berkaca-kaca.
“Belum lagi anak kami sering minta masuk TK seperti teman-temannya. Jangankan biaya masuk TK, makan saja susah pak,” ucapnya lesu.
Menurut pengakuan Syarifah, keluarganya juga tercatat sebagai penerima bantuan dari pemerintah melalui Pemerintahan setempat yang diterimanya sekali dalam beberapa bulan. Namun Syarifah mengaku tidak mengetahui jenis bantuan tersebut. Kendati demikian, bantuan tersebut dirasa masih kurang karena tingginya biaya hidup. (Uba Nauli H)