Minggu, Agustus 3, 2025

Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi Dianggap Tidak Berpihak bagi Pesantren

Bandung, Demokratis

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi melayangkan protes terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah kepada seluruh siswa secara sukarela, tanpa syarat.

Aksi protes disampaikan dalam forum audiensi di Gedung DPRD Jawa Barat, Rabu (21/5/2025), yang dihadiri oleh pengurus PCNU, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta perwakilan pesantren. Mereka diterima oleh pimpinan DPRD Jabar Acep Jamaludin dan anggota Fraksi PKB Rohadi.

“Kami sangat menyayangkan kebijakan ini karena tidak berpihak pada kalangan pesantren. Ini kebijakan yang zalim dan menyedihkan,” ujar Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, KH Atok Romli Mustofa.

Ia menilai kebijakan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pesantren karena dibuat tanpa kajian komprehensif dan partisipatif, melainkan bersifat spontan, intimidatif, dan intuitif semata dari gubernur. Bahkan, pesantren yang menolak menyerahkan ijazah terancam tidak mendapat dana Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dan pencabutan izin operasional.

 

Pesantren Terancam Kolaps

KH Atok menekankan bahwa pesantren menyelenggarakan pendidikan selama 24 jam, tidak seperti sekolah formal. Maka beban pembiayaan yang ditanggung jauh lebih besar dan dilakukan secara mandiri tanpa sokongan penuh dari pemerintah.

Pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, KH Kholid, menambahkan bahwa kebijakan ini dapat mengganggu proses pendidikan karena pesantren kehilangan kontrol administratif terhadap santri yang belum menyelesaikan kewajiban, baik akademik maupun finansial.

“Banyak alumni datang ke pesantren menuntut ijazah karena arahan gubernur. Padahal, mereka belum memenuhi kewajibannya. Ini merugikan pesantren secara finansial,” ujarnya.

Ia memperkirakan banyak pesantren terancam tutup karena harus menanggung beban piutang yang belum terbayar dari para alumni. “Satu pesantren saja bisa menanggung Rp1 hingga Rp1,7 miliar piutang yang belum lunas,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menilai kebijakan ini juga berdampak pada degradasi akhlak santri. “Tumbuh kesan bahwa pemerintah mengadu domba antara santri dan pesantren. Tidak ada lagi takdzim kepada guru. Ini berbahaya bagi masa depan bangsa,” tegasnya.

 

Desak Revisi Kebijakan

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, H. M. Syauqi, menilai kebijakan ini dibuat tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan berpotensi merusak tatanan pendidikan nasional.

“Memang pendidikan gratis adalah hak rakyat. Tapi apakah pemerintah sudah mampu memenuhinya tanpa peran swasta, terutama pesantren?” katanya.

Ia mencatat, sekolah negeri hanya mampu menampung sekitar 25–35 persen populasi siswa di Indonesia. Sisanya ditopang oleh lembaga swasta dan pesantren yang telah berperan jauh sebelum republik ini berdiri.

Lewat audiensi ini, PCNU dan sejumlah organisasi pendidikan mendesak DPRD Jawa Barat untuk mendorong Gubernur Dedi Mulyadi merevisi kebijakan atau memberikan pengecualian bagi pesantren.

“Solusi konkret atas dampak kebijakan ini sangat dibutuhkan agar pesantren tetap bisa bertahan dan berkontribusi dalam pendidikan bangsa,” tegas Syauqi. (IS)

Related Articles

Latest Articles