Depok, Demokratis
Pekerjaan proyek pembongkaran menara air PDAM Tirta Asasta berkapasitas 4 juta liter air bersih, kurang lebih senilai Rp15 miliar yang dikerjakan pihak PT Tirta Sari Mandiri menjadi sorotan publik, karena telah memakan korban jiwa serta kerugian materil warga setempat.
Proyek menara air ini dikerjakan berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), hasil dari lelang, dengan masa kerjanya selama 300 hari kalender, dimulai dari tanggal 15 Februari dan berakhir pada tanggal 11 Desember 2021. Sampai dengan tanggal 15 Oktober 2021 ini, proses pekerjaan pembongkaran tower masih berlangsung.
Kecelakaan alat berat crane yang rubuh sehingga menimpa beberapa rumah warga, telah menelan korban luka–luka, dinilai ada unsur kelalaian terhadap keselamatan kerja.
Seharusnya, crane untuk pengerjaan menara air tersebut sudah safety (aman) dengan menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), artinya sebelum dimulai pekerjaan, disurvei dahulu dan steril, lokasinya proyek jauh dari rumah warga, agar terjaga keselamatan kerja.
Murthada Sinuraya selaku Pengamat Kebijakan Publik, dan mantan anggota DPRD Kota Depok, periode 2004-2009, yang juga sebagai dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta, meminta pihak-pihak terkait, untuk mengusut tuntas atas kejadian ambruknya alat berat crane tersebut, pada saat pengerjaan proyek menara air PDAM Tirta Asasta yang telah memakan korban luka-luka dan menghancurkan beberapa rumah warga tersebut.
Murthada melanjutkan bahwa pihak pemborong diduga telah menggunakan crane yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, atau mungkin juga tidak memenuhi persyaratan.
“Kejadian kecerobohan itu, jangan hanya operator crane-nya saja yang menjadi tersangka, tetapi pihak pemberi kuasa (PPK) pekerjaan juga harus diperiksa, karena masalah ini patut diusut tuntas, kasihan sopirnya yang dikorbankan,” katanya.
Sebagai Pengamat Kebijakan, ia menjelaskan bahwa di dalam Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi, menyebutkan, dalam Pasal 96, bahwa setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa, yang tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 1, dikenai sanksi administratif.
“Regulasi tersebut harus bisa diterapkan dalam rangka memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang telah mengabaikan K3, dalam pembangunan infrastruktur,” tegasnya.
Lanjut Murthada, dalam pekerjaan pembangunan infrastruktur, tidak dijadikan target yang mengakibatkan kontraktor menjadi terburu-buru, sehingga terkesan mengabaikan K3 dan SOP.
Saat dikonfirmasi soal status PDAM Tirta Asasta Kota Depok, yang sudah menjadi Perusahan Daerah Air Minum (Perumda ), atau Perseroda, sepengetahuan Murthada, PDAM Tirta Asasta ini dibentuk berdasarkan Perda Kota Depok, namun apakah sudah menjadi Perumda atau Perseroda, dia menganjurkan silahkan menanyakan kepada pihak bersangkutan.
Di tempat terpisah, Teguh Poedji Prasetyo, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Anti Korupsi Indonesia (LSM-KAKI) Wilayah Jawa Barat, juga menyikapi soal PDAM Tirta Asasta yang telah memberikan proyek tersebut kepada PT Tirta Sari Mandiri, untuk pengerjaan menara air PDAM, yang dinilainya ceroboh, hingga terjadi kecelakaan ambruknya crane, pada saat melaksanakan pekerjaan.
Dia juga mempertanyakan soal perusahaan yang melaksanakan pekerjaan, apakah berkompeten dan profesional dalam melaksanakan proyek, sehingga terjadi kecelakaan.
“Kenapa bisa menimpa rumah warga, dan ada Korban luka–luka?” tegasnya.
Selain itu, Teguh juga mempertanyakan, siapa yang membawa perusahaan PT Tirta Sari Mandiri dari Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut.
Masih ungkap Teguh, setiap Perusahaan memiliki riwayat pekerjaannya, serta track record-nya. Apakah perusahan tersebut sudah pernah mengerjakan pembongkaran menara, atau tidak ada yang lebih bagus, padahal di DKI Jakarta banyak perusahaan yang sudah punya pengalaman dalam mengerjakan proyek menara.
Selain itu, Teguh juga mempertanyakan PDAM Tirta Asasta yang konon statusnya masih belum menjadi Perseroda (Perusahan Perorangan Daerah).
Ia juga mempertanyakan, kenapa Wali Kota dan DPRD Kota Depok, belum merubah statusnya semenjak tahun 2018, padahal sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) 54 Tahun 2017 tentang BUMD, dan Permendagri 37 Tahun 2018, sehingga status PDAM Tirta Asasta Kota Depok, patut dipertanyakan, kenapa belum jadi Perumda (Perusahaan Umum Daerah), ataupun Perseroda (Perusahan Perorangan Daerah), padahal sudah ada kepengurusan yang akan dikukuhkan, perlu dirubah menjadi Perusahaan Daerah, atau Perseroan Terbatas (PT) ,yang telah diatur oleh Undang-undang perusahaan. Hal ini menjadi sorotan LSM-KAKI Wilayah Jabar, kenapa PDAM Tirta Asasta belum berubah status.
“Padahal sejak tahun 2017 lalu, PP – nya, sudah keluar juga Permendagri tahun 2018, kalau mau merubah status kenapa baru sekarang,” katanya.
Teguh mempertimbangkan PDAM di daerah lainnya yang telah berhasil sukses, kenapa status PDAM di Kota Depok belum menjadi Perumda atau Perseroda.
Teguh juga menerangkan bahwa PDAM itu ternyata masih Perusahaan Daerah dan Pemegang Sahamnya masih Kepala Daerah, atau disebut Kuasa Pemegang Modal (KPM), sekaligus penanggung jawab keseluruhan, termasuk keuangan, karena dia adalah penanaman saham 100 persen dan itu semua disetujui oleh pihak DPRD Kota Depok.
“Kalaupun ada gugatan kecerobohan crane yang rubuh, sehingga menimpa rumah warga, dan mengakibatkan kecelakaan hingga jatuh korban luka–luka, yang bertanggung jawab tentu semua yang bersangkutan dengan PDAM Tirta Asasta bisa bakal kena pidana,” jelasnya.
“Yang utama bertanggung jawab terhadap proyek–proyek adalah Direktur Utama PDAM Tirta Asasta Kota Depok, yang saat ini sebagai PPK (Pejabat Prmbuat Komitmen/Pimpro), jangan hanya menyalahkan Operator Crane menjadi tersangka oleh Pihak Kepolisian, melainkan pihak yang bertanggung-jawab yakni Dirut PDAM Tirta Asasta juga bisa dijadikan tersangka,” katanya.
Sebab, di Kontrak Kerja itu, ada PPTK ada juga PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai Pimpinan Proyek (Pimpro). yang terlibat langsung itu adalah PPK proyek PDAM Tirta Asasta yaitu, Direktur Utama PDAM Tirta Asasta.
Pada peraturan LKPP, seharusnya Dirut PDAM tidak dibenarkan terlibat urusan proyek, karena Dirut PDAM adalah sebagai Pengguna Anggaran (PA).
Teguh menduga kuat, Dirut PDAM Tirta Asasta sudah melanggar aturan, karena merangkap jabatan sebagai Pimpro proyek, meskipun yang mengatur lelang adalah Pokja dari luar PDAM Tirta Asasta.
Untuk itu, Direktur Utama harus bertanggung jawab, karena dia sebagai PPK atau Pimpronya, bukan sebagai Pengguna Anggaran, juga ada keterlibatan PPTK-nya untuk memenangkan lelang tender proyek.
Maka dari itu tandas Teguh, Pihak Perusahan tersebut apakah berkompeten melaksanakan pekerjaan apa tidak,.. kalau PT Tirta Sari profesional tentunya sudah mengantisipasi bahaya sebelum mengerjakan proyek dan sudah menganalisa atau dikaji sekitar lokasi proyek, radius sekian meter harus jauh dari pemukiman rumah warga agar terhindar sekaligus menjaga Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), juga harus sudah safety kerja sesuai SOP, sehingga tidak terjadi kecelakaan yang mengakibatkan jatuh Korban.
Soal status PDAM Tirta Asasta, padahal sebentar lagi di penghujung tahun 2021 akan ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), namun dengan kinerjanya seperti ini, apakah DIrut saat ini, masih dipertahankan dan diangkat lagi.
“Kejadian Crane rubuh timpa rumah warga dan mencederai ada yang jadi korban, ini sebagai alat bukti yang konkrit, terlepas dari alasan lain, karena ini adalah bukti kecerobohan dan kinerja yang “buruk” harus ada sanksi nya dengan mengganti 3 Direksi PDAM Tirta Asasta Kota Depok dan Walikota Depok sebagai Pemegang Saham harus mengganti Direktur Utama PDAM Tirta Asasta yang lebih berkompeten, serta tidak bertindak sebagai PPK.
Status PDAM Tirta Asasta kota Depok ini adalah merupakan koorporasi finansial yang bakal menjadi status quo, karena ada dugaan pencucian uang negara yang berkedok perusahan daerah namun status PDAM Tirta Asasta dinilainya dibentuk masih remang – remang. Apalagi anggaran pengeluaran PDAM Tirta Asasta kota Depok sudah capai ratusan milyar terkuras hanya untuk mengesankan eksistensi kinerja 3 Direksi tambah Teguh.
“Berkaitan dengan hal penggunaan anggaran regulasi PDAM Tirta Asasta sudah kami laporkan ke KPK atas dugaan penyimpangan anggaran APBD tersebut, tinggal menunggu surat cinta saja,” tutupnya. (RY)