Bandung, Demokratis
Sebanyak 900 SMK pada tahun 2021 ditunjuk untuk menjadi SMK Pusat Keunggulan, 490 di antaranya adalah SMK yang telah menerima bantuan pendanaan program Center of Excellence (CoE) pada 2020 lalu. Bantuan yang dikucurkan untuk SMK Pusat Keunggulan berkisar antara Rp2 miliar sampai Rp5 miliar untuk masing-masing SMK. Salah satu SMK penerima bantuan tersebut adalah SMKN 5 Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Bantuan APBN 2021 yang dikucurkan melalui Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek ke SMKN 5 Pangalengan, digunakan untuk belanja barang alat peraktek siswa senilai Rp1,049 miliar dan untuk pembangunan Ruan Praktek Siswa (RPS) senilai Rp1,4 miliar. Hal ini dikatakan Asep Samsudin Bagian TU dan Asep Setiawan Bagian Sapras di sekolah tersebut kepada Demokratis, Senin (14/2/2022). RPS yang dibangun berupa empat ruang kelas dibangun menjadi tiga bangunan.
Menurut Asep, Kepala SMKN 5 Pangalengan saat ini dipegang oleh Cucu Kurniati, sedangkan kepala sekolah yang lama, yang ikut Bintek yaitu Agus Wiyatmono Nugraha pada pertengahan Desember lalu telah pindah ke sekolah lain.
Menyangkut gedung RPS yang dibangun dengan biaya Rp1,4 miliar berupa tiga bangunan yang ada, apakah hanya seperti itu? Tentunya ini tidak terlepas dari tanggung jawab konsultan perencana dan pengawas, yakni Fajar Taufik Hidayat, Udin Samsudin dan Safra Hanafi. Bagaimanapun jalannya pembangunan RPS tersebut berdasarkan saran dan petunjuk dari konsultan perencana dan pengawas. Keberadaan para konsultan ini pada pembangunan RPS pun dibayar dengan nilai cukup tinngi meski ada yang bersetatus guru PNS di SMK 6 Bandung. Di SMKN 11 Bandung saja, sekolah ini harus mengeluarkan anggaran Rp53 juta untuk tim pengawas. Bagaimana di SMKN 5 Pangalengan dan di sekolah-sekolah lainnya?
Menurut Ino Soprano, Kepala SMKN 11 Bandung (dalam jawaban konfirmasi tertulis Demokratis), anggaran untuk pembangunan gedung Ruang Praktek Siswa (RPS) senilai Rp1.277.527.000 dan membeli barang bahan praktek siswa senilai Rp832.000.000. Pembangunan gedung RPS dilakukan dengan swakelola dan pembelian barang alat praktek siswa dilakukan dengan Siplah.
Untuk pembangunan gedung RPS di SMKN 11 bukanlah membangun gedung baru, tapi hanya rehab total, dengan luas bangunan 270 m2 (termasuk salasar dan sanitasi). Biaya pembangunan gedung tersebut apakah masih wajar atau ada rekayasa. Menurut Hery pemerhati bangunan dan upah di Bandung, luas bangunan 270 m2 dengan anggaran Rp1.277.527.000, itu sudah tinggi. Walaupun di sana ada pajak Rp12% (Rp153.303.240) dan pembelian prabot Rp150.000.000.
“Anggaran Rp974.223.760 untuk membiayai pembangun gedung seluas 270 m2, itu sangat berlebihan,” katanya.
Berdasarkan dari pernyataan Kepala Sekolah dan Murtendi bisa dilihat bahwa pembangunan gedung RPS di SMKN 11 Bandung tersebut bermasalah dan patut diduga ada korupsi di pembangunan gedung RPS tersebut. Sehingga pihak penegak hukum wajar jika melakukan penyelidikan.
Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek juga perlu meninjau kembali program bantuannya, jangan sampai disalahgunakan oleh pihak panitia pembangunan di sekolah penerima.
Pihak Direktorat harus transparan dan mengintruksikan kepada sekolah yang menerima bantuan agar transparan dan bersedia dikontrol oleh masyarakat, karena uang yang mereka gunakan tersebut adalah uang rakyat, seperti di SMKN 2 Bandung. Pihak sekolah ini juga tidak memberikan jawaban konfirmasi tertulis wartawan Demokratis.
Adanya kecurigaan terhadap anggaran yang tidak sesuai dengan bangunan yang dihasilkan harus dibuktikan dengan spesifikasi bangunan, dijelaskan dengan detail agar tidak terjadi kecurigaan adanya konspirasi antara konsultan dengan pihak pelaksana dan pihak sekolah. Di sinilah peran penegak hukum. Hanya penegak hukum yang mampu membongkar jika ada kongkalikong antara pihak konsultan, pihak pelaksana maupun pihak sekolah.
Aparat penegak hukum harusnya memulai pemeriksaan pada Konsultan Pengawas karena pihak sekolahpun untuk pembangunan RPS berpedoman dan berdasarkan progres yang dinilai oleh Konsultan Pengawas. Begitu juga kemudian spesifikasi proyek ini yang harus dilihat oleh penegak hukum. Wajar atau tidaknya setiap proyek yang dilakukan, tergantung arahan dari tim konsultan pengawas. Pihak sekolah harus transparan tentang keberadaan konsultan perencana dan pengawas, yakni Fajar Taufik Hidayat, Udin Samsudin dan Safra Hanafi, apakah benar-benar dikontrak karena dibutuhkan atau hanya sekedar titipan dari pihak Direktorat. (IS)