Haiti, Demokratis
Lebih dari 5.600 orang tewas dan ribuan lainnya terluka atau diculik sepanjang 2024 karena meningkatnya tingkat kekerasan geng di Haiti. Impunitas atas pelanggaran dan penyalahgunaan hak asasi manusia, serta korupsi kian merajalela di negara itu.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Selasa (7/1/2025), Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengutuk kekejaman sangat mengerikan yang dihadapi penduduk negara Karibia tersebut dan mencatat pelanggaran hukum serta tingkat korupsi yang tinggi.
Geng bersenjata menguasai sebagian besar ibu kota Port-au-Prince setelah pecahnya kekerasan tahun lalu. Pada saat yang sama, polisi juga dituduh melakukan kekerasan terhadap tersangka geng. Konflik yang sedang berlangsung memperburuk ketidakstabilan politik yang telah melanda negara kepulauan itu selama beberapa dekade.
“Angka-angka ini saja tidak dapat menggambarkan kengerian yang terjadi di Haiti, tetapi menunjukkan kekerasan yang tak henti-hentinya yang dialami rakyat,” kata Volker. Pernyataan PBB mencatat bahwa sedikitnya 207 orang tewas pada awal Desember dalam pembantaian yang diatur pemimpin geng Wharf Jeremie di wilayah Cite Soleil.
Selain itu, Kantor Hak Asasi Manusia PBB juga mendokumentasikan setidaknya 315 hukuman gantung massal terhadap anggota geng dan orang-orang yang diduga terkait dengan geng. Dalam beberapa kesempatan bahkan dilaporkan difasilitasi petugas polisi Haiti, dan 281 kasus dugaan eksekusi cepat yang melibatkan unit polisi khusus pada tahun 2024. “Sudah lama jelas bahwa impunitas atas pelanggaran dan penyalahgunaan hak asasi manusia, serta korupsi, masih lazim di Haiti,” kata Turk.
November lalu, PBB memerintahkan evakuasi stafnya dari ibu kota Haiti karena bentrokan antara geng bersenjata, polisi dan warga sipil yang bersenjatakan parang. Namun, PBB menekankan bahwa mereka tidak meninggalkan Haiti tetapi hanya menyesuaikan operasinya dengan memindahkan stafnya ke wilayah yang lebih aman di negara tersebut dan staf lainnya bekerja dari jarak jauh.
Turk meminta kepolisian nasional untuk meminta pertanggungjawaban para petugas yang dilaporkan terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dengan bantuan internasional. “Memulihkan supremasi hukum harus menjadi prioritas,” kata Turk, sambil meminta misi PBB dipimpin Kenya yang bertugas meredakan kekerasan untuk diberikan dukungan logistik dan finansial untuk melaksanakan mandatnya dengan sukses.
Misi keamanan beranggotakan 430 orang didukung PBB, sebagian besar terdiri dari polisi Kenya, dikirim Juni lalu untuk mendukung departemen kepolisian Haiti yang kekurangan staf. Namun, kekerasan terus meningkat.
Turk mengatakan penerapan penuh sanksi yang diamanatkan Dewan Keamanan PBB dan embargo senjata harus digunakan. “Senjata yang mengalir ke Haiti sering kali berakhir di tangan geng kriminal, dengan akibat yang tragis: ribuan orang terbunuh, ratusan ribu orang mengungsi, infrastruktur dan layanan penting, seperti sekolah dan rumah sakit, terganggu dan hancur,” katanya.
Pemerintah Haiti, yang didukung AS dan negara-negara Karibia lainnya, juga telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengizinkan operasi penjaga perdamaian skala penuh. Namun Rusia dan China, anggota tetap Dewan Keamanan, menentang langkah tersebut, dan bersikeras bahwa upaya untuk menghentikan kekerasan geng seharusnya difokuskan pada penguatan kepolisian Haiti. (IB)