Indramayu, Demokratis
Sejumlah wali murid mempertanyakan atau mengeluh atas berbagai “pungutan” pada sistem atau kebijakan proses belajar mengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri Satu (SMAN 1) Indramayu Jawa Barat. Yang diduga syarat dengan biaya “siluman”, berkedok hasil rapat antara wali murid, sekolah dan komite.
Sejak lama pertanyaan dan atau keluhan para wali murid yang putra-putrinya sekolah di SMAN 1 tersebut, namun saat pertanyaan dan keluhan tersebut disampaikan tidak mendapat respons atau digubris.
Seperti keluhan dari seorang wali murid sekian bulan lalu yang disampaikan melalui media Demokratis pada Rabu (8/8/2023), bahwa di sekolah tersebut saat mengadakan acara wisata atau study tour ke Bali berbiaya Rp2,5 juta per siswa, tapi ketika biaya tersebut mohon diringankan untuk siswa yang berstatus anak yatim, namun faktanya tetap diabaikan, sehingga nuansa kapitalisasi pendidikan dan dugaan konsep masif akan potensi memiskinkan wali murid saat menyekolahkan anaknya akan terus berjalan.
Dikeluhkan pula bahwa di tahun ajaran baru ini sekolah kembali memungut biaya pembelian buku paket senilai lebih dari 2 jutaan rupiah. Ajaibnya wujud buku tersebut belum ada untuk panduan belajar para siswa, diarahkan untuk mengakses via aplikasi yang dibuat pihak SMAN 1. Itulah silumannya, sebab jika mampu melakukan E-Book via aplikasi mengapa siswa dikenakan biaya membeli buku pula. Jika begitu lengkaplah derita ekonomi wali siswa, karena sudah bayar buku, terbebani biaya kuota pula, luar biasa.
“Karena saya janda hanya penjaja kue sarapan pagi, maka biaya buku semahal itu baru mampu saya cicil senilai Rp800 ribuan rupiah. Namun saya heran sudah mencicil, kok putri saya belum mendapat buku yang dibutuhkannya. Ajaibnya lagi untuk panduan belajarnya sebelum mendapatkan buku, anak saya dianjurkan pihak sekolah agar untuk belajar pekerjaan di rumah (PR) mengakses via aplikasi sekolah,” ujar seorang ibu mengeluhkan deritanya pada media ini.
Itulah dinamika biaya ekstra pada lembaga pendidikan di negara yang berpancasila ini. Sehingga perintah konstitusi soal cerdaskan bangsa, sehatkan bangsa dan entaskan kemiskinan, prakteknya selama 77 tahun masih sebatas retorika atau bahkan diduga telah terjadi “penghianatan” pesan konstitusi. Yang mengerikan, sekolah tidak lagi mencerdaskan homo sapien, namun mereka “mendidik” homo sapien menjadi homo homini lupus. Hal itu melalui konsep kapitalisme dengan wujud yang lembut, namun menjadikan si miskin sulit mengakses pendidikan yang bermutu atau sekolah “favorit”.
Selain “bermain” biaya buku, study tour, ada juga dugaan bermain di moment Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui kedok Kuota Zonasi, Prestasi, SKTM dan titipan para “preman” dan atau pada saat jatuh tempo waktu penutupan PPDB masih menerima siswa dan biaya lain terkait pembangunan sarana dan prasarana sekolah, yang bukan lagi rahasia umum terjadi di sekolah negeri. Sehingga dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari APBN yang konon sebesar 20 persen itu menguap tak jelas entah untuk apa.
Waktu problem ini diklarifikasikan ke pihak SMAN 1 Indramayu atau SAYU, Demokratis diterima oleh Agus, yang mengaku sebagai Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Bidang Sarana Prasarana. Jawabannya terkesan berbelit sembari cengar-cengir pada Jumat (10/8/2023). “Mungkin ini keputusan guru, sebab saya belum tahu soal ini, dan karena besok insya Allah saya akan berangkat umroh selama 10 hari, maka jawaban dari saya nanti Demokratis akan saya kontak,” jelas Wakasek yang akrab disapa Agus Domba itu.
Sejak lama, mengetahui fenomena tersebut Drs. H. Eno Suwarno, M.Ag., selaku begawan Pendidikan dan Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kabupaten Indramayu gemar teriak terkait fakta dan sistem pendidikan yang dinilai tidak lagi humanis, bahkan saling “bunuh” antara sekolah negeri dengan swasta.
“Inilah akibat para praktisi pendidikan yang lagi manggung saat ini tidak paham sejarah, bagaimana dahulu pada saat negara belum ada dan mampu, maka swastalah yang membangun dan memplopori pendidikan di negeri ini. Namun saat negara “dianggap” telah mampu, sekolah negeri merasa paling berjasa dan merajalela dengan berbagai ulahnya. Sehingga hidup sekolah swasta bagai krakap tumbuh di batu, hidup segan matipun tak hendak. Lalu jika ulah ini dibiarkan seperti hukum pasar, masihkan pola hidup kita sebagai bangsa, masih selaras dengan Sumpah Pemuda, Pancasila dan pesan Konstitusi termasuk jargon Tutwuri Handayani dan itu jargon milik siapa?” demikian selalu ocehan kejengkelan dari sesepuh pendidikan Indramayu, saat ini dia berusia 80 tahunan. (S Tarigan)