Oleh S Tarigan
Pada tanggal 17 Agustus tahun 2024 adalah Hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-79 tahun berlalu. Seperti pada tahun-tahun yang berlalu, setiap pada yang konon keramat itu, selalu dirayakan oleh seluruh warga negara dengan hikmat, meriah plus dengan pemasangan berbagai bentuk lawon berwarna merah putih, bahkan ada yang disisipi lambang burung garuda.
Begitu antusiasnya rakyat kususnya anak-anak menanti giliran ikut lomba balap karung, panjat pinang, atau menyanyi lagu Indonesia Raya dan hari kemerdekaan. Begitulah eforianya perilaku buah dari perjuangan revolusi para pahlawan, akibat dijajah Kolonialis Portugis Belanda dan Jepang yang sangat merugikan kehidupan, namun pada masa perjuangan waktu itu, perjalanannya tak semulus yang terlihat di mata akan tetapi tak luput dari prilaku paling hebat, pintar, benar dan ambisius berkuasa.
Sehingga dampak dari sifat tersebut di atas, perjalanan kemerdekaan negeri ini selalu terganggu dengan berbagai rongrongan oleh bangsa sendiri, dengan di kanan penguasa makin liar melakukan ke kuasaannya, sementara yang kiri, tetep berjuang dengan kapasitasnya berupa pemberontakan yang sebagian bernama PPRI dan atau Permesta. Begitulah sebagian perjalanan perjuangan bangsa ini untuk merdeka, dari cengkraman kolonialis yang tidak berprikemanusian yang adil dan beradab.
Memang masih terasa jauh panggang dari api hakikat kemerdekaan itu. Bahkan pada perjalan kemerdekaan di setiap rezim yang berkuasa, terasa jalan di tempat, atau maju mundur, bahkan jika diulas dari sisi mata uang alias rupiah, selalu mundur nilainya dengan mata uang negara lain, dengan berbagai masalah dan problemnya. Dari ulasan nilai rupiah itu, kemerdekaan ini terkesan auto pilot.
Kemerdekaan yang diperingati tahun 2024 ini, adalah hari kemerdekaan yang ke-79 tahun. Tahun ini diwarnai dengan berbagai kekuatiran rakyat. Di antaranya perilaku politik yang tidak menghormati konstirusi, perilaku ambisi feodalisme dengan mengutak atik demokrasi dan mendegradasi makna republic dengan mewujudnya kolusi dan nepotisme. Bangsa ini sangat sabar dengan kebohongan penataan ekonomi yang tidak mensejahterakan kepentingan rakyat. Rakyat dipacu dengan berbagai pungutan pajak, dengan embel-embel orang bijak, di sisi lain sumber daya alam yang konon dikuasai negara untuk kepentingan kemakmuran bersama, menjadi bias tak jelas neracanya, bahkan untuk sarana jalan yang berkualitas baik harus bertarif, karena pembangunannya dijual ke swasta aseng, sehingga jalan pun jadi profit oriented.
Tata kelola keungan lainnya adalah soal hutang negara, dari versi menteri selalu menyebut masih dalam ambang batas aman, dengan rasio masih kisaran 60 persen dari APBN. Artinya belum besar pasak dari tiang yakni sebesar 8000 triliun rupiah dengan asumsi APBN sebesar 20 ribu triliun rupiah. Namun keeajiban bayar negara kepada berbagai pihak lain, seperti bayar pensiun, hutang ke swasta aseng atau pos wajib bayar ke BUMN dan lainnya, dari akumulasi itu semua mewujud angka 12.000 triliun rupiah. Sehingga 8000 triliun rupiah versi kementerian, ternyata dari data LKPP dan auditor BPK dan swasta, terkesan ada ketidak jujuran.
Akhirnya, bila tata kelola di lakukan dengan ketidak jujuran atau amanah, maka siapa yang akan bertanggung jawab hukumnya, sosial atau moral, lalu masihkah ini tujuan merdeka itu? Kuatirnya publik dari fakta ini semua, di era kekuasan presiden baru, mampuka rakyat makan dengan menu 4 sehat 5 sempurna. Mampukah rakyat mendapat layanan kesehatan dan obat yang berkualitas. Mampukah duit rakyat meraih pendidikan yang sesuai cita-cita dan bermutu. Bisakah rakyat memiliki atau mendapat tanah dan air walau sekedar cukup, seperti syair pada lagu Indonesia Raya. Dekatkanlah ini semua panggang dari api wahai kaum elite, karena kemerdekaan ini dari kita dan untuk kita bersama, walau tidak 100 persen.
Seperti kisah di suatu malam pada satu pertemuan yang dihadiri Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan K.H. Agus Salim. Tan Malaka yang datang tanpa diundang tiba-tiba berkata lantang, “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan? Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh seglintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar: hari ini akan datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku… Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen…!” ***