Jika menjelang tutup tahun disamakan dengan tutup buku bisnis akhir tahun maka lazim ada evaluasi. Esensinya adalah menemukan apa titik lemah bisnis tahun berjalan yang merisaukan. Kemudian mengatasi kelemahan yang terjadi.
Judul tulisan ini mengangkat kerisauan Buya Anwar Abbas yang tidak lain hal jadi kepikiran yang terkandung dari besaran problem umat kini. Kita mengenal Buya Anwar Abbas Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang malang melintang di lembaga tesebut selama lebih sepuluh tahun.
Anwar Abbas’s Anxiety agaknya dapat juga dipakai menterjemahkan “kepikiran” yang melanda Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut. Ini menyisihkan kata comportable (kesesuain), concern (prihatin) dan restlessness (gangguan).
Serupa halnya masa Presiden BJ Habibie juga mengidap kegelisahan teknologi yaitu menyadari bangsa Indonesia yang kaya bahan baku yang belum diolah. Sehingga harganya murah. Sekilo besi mentah yang belum diolah harganya akan murah, namun bila diolah jadi pesawat terbang harganya akan menjadi mahal.
Singkat kata ada kegelisahan ekonomi. Ada kegelisahan teknologi. Yang jadi kepikiran.
Ya, samalah. Saat Buya Anwar Abbas mengangkat kerisauannya terkait dengan kesenjangan terjal ekonomi umat. Dengan menyertai rasio gini lewat akurasi data di hadapan Kongres Ekonomi Umat Islam yang diadakan MUI kita tersentak. Terkejut terhadap gambaran fenomena menyedihkan hati itu.
Bukan tanpa alasan Buya Anwar Abbas membeberkan kerisauannya. Doktor Ekonomi alumni Universitas Islam Negeri Ciputat Jakarta beberapa kali pada tempat dan waktu berbeda menyampaikan pikiran yang serupa berwawasan keumatan tersebut. Ia menunjukkan pembelaanya.
Sepanjang catatan kita, ada tiga kerisauan, yakni:
Pertama, kerisauan soal kesenjangan ekonomi yang terjal. Di mana penduduk yang kaya menguasai lahan sumber ekonomi ketimbang orang miskin yang jumlahnya besar.
Kedua, kerisauan soal terorisme dengan mengangkat penyitaan kotak amal sebagai sumber pendanaan terorisme, dibandingkan terorisme KKB di Papua.
Ketiga, kerisauan soal radilkalisme aparatur negara ketimbang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Semua unsur di atas yaitu ketimpanagan ekonomi, kerisauan penanganan terorisme dan soal radikalisme aparatur sipil dan KKN, temuan yang membuat risaunya Anwar Abbas amat logis. Kita salut.
Kerisauan dan logika ketimpangan, radikalisme proporsional dan KKN dari Wakil Ketua Umum MUI mestilah kita dukung. Mengabaikan atau membiarkan adalah keteledoran besar. Karena cukup beralasan dengan kebenaran yang logis.
Rasa-rasanya kita sampai kepada simpulan umat harus dibela dengan berdasarkan kebenaran yang logis. Bukannya memanipulasi dengan alasan yang mengada-ada. Tetapi dalam resah intelektual jadi kepikiran serius. Semoga!
Jakarta, 17 Desember 2021
*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com