Rabu, Oktober 30, 2024

Ketidakadilan Berimplikasi Banyak

Isu ingin membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bercampur dengan Islamofobia belakangan ini merupakan sikap prasangka berbaur kebencian terhadap umat Islam. Hal ini masalah besar dan serius serta berimplikasi banyak. Mengapa itu terus terjadi? Hal itu amat terasa masa dua puluh tahun belakangan ini.

Letak soal awal adalah penangkapan beberapa tokoh MUI yang diduga terlibat kegiatan teroris. Penangkapan itu dikaitkan bahwa MUI menjadi tempat berlindung kaum radikal, karena itu harus dibubarkan. Namun karena MUI adalah representasi umat Islam Indonesia maka tuntutan itu tidak sederhana. Akibatnya bisa berimplikasi banyak. Benarkah itu?

Ya benar. Mulai dari timbulnya tingkah menjauhi, membenci serta beprasangka negatif, ketakutan serta mendiskreditkan, memusuhi umat Islam secara tidak adil. Sebab apa jadinya jika umat Islam dimusuhi?

Dengan masalah esensi Islamofobia adalah masalah ketidakadilan, membuat kerisauan. Umat Islam mayoritas kok dilakukan tidak adil. Sehingga dikaitkan kerisauan terhadap Islamofobia dari seorang mubalig kondang Alfian Tanjung yang mengatakan bahwa umat Islam selalu saja dalam posisi disalahkan dan dikalahkan.

Bayangkan, kata dia, jika umat Islam protes karena mubalig di Bekasi digebuk ketika sedang ceramah di masjid di Bekasi. Dikatakan bahwa orang itu adalah orang sakit jiwa, tanpa keterangan penjelasan lebih lanjut. Umat Islam yang protes pada pihak keamanan dikatakan radikal (Refly Harun Channel, 5 November 2021). Pernyataan Alfian Tanjung itu agaknya benar.

Untuk sekadar info ada kesesuaian dengan penelitian De Chelerq 1994 (Grasindo, Jakarta 1994) memang menemukan hal itu. Ia menghubungkan dengan ide komisi khusus hubungan antar agama di Inggris 1995 yang mempelajari masalah Islamofobia yang dipandang berbahaya sama seperti faham Komunis dan Nazi (Runnymede Trust, 1997).

Alangkah buruknya prasangka dan kebencian itu ditimpakan. Padahal umat Islam adalah umat yang ramah, baik budi dan damai. Namun perilakunya demikian itu masih saja dipandang radikal, intoleransi.

Ya itulah. Islamofobia demikian selalu di mana-mana diidentikkan dengan prasangka radikalisme, intoleransi dan teroris. Yang tidak lain adalah lebel untuk umat Islam. Sebenarnya tidak tepat. Apa lagi kalau Islam radikal, intoleransi, teroris disandarkan dengan pengertian kekerasan penganut agama Islam. Penganut agama lain tidak.

Nampaknya defenisi Islam radikal itu adalah suka-suka. Artinya sangat subjektif dan menjadi monopoli penguasa. Kata Graham E Fuler mantan intelijen Amerika dalam bukunya World without Islam (Dunia tanpa Islam), menjelaskan bahwa defenisi Islam radikal bersifat politis (JawaPos.com, 17 Januari 2017). Hal itu berbentuk suka-suka siapa penguasa waktu itu. Ia menyebut dalam hubungan kebijakan Presiden Amerika. Radikalisme dalam policy Presiden Barack Obama berbeda dengan radikalisme Presiden G Bush. Begitu juga pandangan Donald Trump.

Bagi Graham E Fuller yang lama bertugas sebagai pejabat Central Intelligence Amerika (CIA) di Kabul kini menjadi analis politik Amerika punya pandangan tentang radikalisme Islam tersebut.

Ia memaknai radikalisme itu dua kategori. Pertama, pelakunya yang melawan hukum dan kedua, dari pelaku tindak kekerasan berasal dari penganut agama yang tidak taat penguasa. Dengan kategori demikian unsur utamanya adalah masalah kekerasan, baik melawan hukum (unlaw) atau melawan kemauan penguasa (politis).

Lantas dari sudut pandang fenomena kemaun rezim penguasalah yang dominan kini. Yaitu mereka dituduh radikal karena tidak mau manut atau mengekor kemauan politis penguasa. Dari patuh pada hukum menjelma menjadi pendukung patuh taat pada oknum siapa yang berkuasa.

Dalam kaitan Islamofobia dengan politik inilah yang menjadi lebel Islamofobia untuk liar ke mana-mana. Penganut agama yang baik dan taat pada agamanya dilabelkan radikal lantaran penguasa tidak berkenan kepadanya. Sebaliknya mereka yang penguasa memusuhi, mengkriminalisasi umat Islam diklaim tidak radikal bahkan mereka dipuji umat yang toleransi.

Inilah kemudian orang taat dibenturkan pada kepentingan politik suka-suka penguasa. Kaum yang disukai bila menjilat pada kepentingan rezim. Bukan lagi penguasa (raja) alim raja disembah penguasa (raja) zalim raja disanggah. Tapi sebaliknya rezim yang zalim disembah sementara pejuang yang adil bersih tidak ditaati.

Ajaran Islam menggariskan satu kriteria yang jelas dalam sikap hidup. Yaitu simbol sikap hidup yang menyatakan:

Isy kariman au mut syahidan (hiduplah mulia atau mati syahid).

Hidup mulia adalah hidup dengan nilai taat kepada Allah dalam arti menegakkan prinsip kebenaran yang diajarkan Islam. Inilah simbolik para mujahid Islam warisan masa lampau. Seperti jujur, amanah berbuat baik pada sesama. Bila tidak lakukanlah perjuangan dengan kesungguhan biarpun harus mati syahid menegakkan kebenaran tersebut.

Akhirnya keberadaan umat Islam harus berhadapan dengan prinsip lain. Yaitu pembenturan ketaatan pada agama yang benar dengan Islamofobia. Satu destruksi atau perusakan tujuan dengan tuduhan yang subjektif alias suka-suka.

Marilah kita hadapi isu ketidakadilan serta pembubaran MUI dengan sabar dan tawakal. Bahwa kebenaran pasti tegak dan kebatilan. Fitnah, akan kalah. Umat Islam harus optimis. Tiada putus asa, karena putus asa adalah dosa. Semoga Allah melindungi kita sekalian. Amiin.

Jakarta, 30 November 2021

*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles