Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat
BANJIR bandang yang menutup tahun 2025 di sejumlah wilayah Sumatera bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah kode keras bahwa hukum yang lalai dan korupsi yang dibiarkan telah menagih bayaran tunai dalam bentuk nyawa manusia, rumah yang hanyut, dan masa depan yang runtuh. Ratusan warga meninggal, ribuan lainnya mengungsi. Di balik deras air dan gelondongan kayu yang menghantam permukiman, tersingkap kembali kejahatan lama berupa pencurian aset negara melalui korupsi hutan.
Selama bertahun-tahun, korupsi kerap dipahami sebatas penggelapan anggaran atau suap proyek. Namun tragedi di Sumatera menunjukkan wajah lain korupsi yang jauh lebih brutal, yakni korupsi sumber daya alam. Ketika izin hutan diperjualbelikan, pembalakan liar dibiarkan, dan kawasan lindung dilubangi kepentingan ekonomi, dampaknya tidak menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan. Dampaknya hadir seketika, mematikan, dan menyasar rakyat yang paling rentan.
Berbagai kajian menunjukkan keterkaitan kuat antara deforestasi dan meningkatnya risiko banjir. Data Global Forest Watch mencatat Indonesia kehilangan jutaan hektare tutupan hutan alam dalam dua dekade terakhir. Di Sumatera, laju deforestasi masih tergolong tinggi akibat ekspansi perkebunan, tambang, dan pembalakan ilegal. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai penyangga ekologi kehilangan kemampuannya menyerap air, sehingga hujan ekstrem – yang makin sering akibat krisis iklim – berubah menjadi bencana.
Pemerintah merespons dengan langkah-langkah normatif. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memanggil sejumlah perusahaan untuk audit lingkungan. Moratorium izin hutan alam primer dan lahan gambut kembali ditegaskan. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melanjutkan program rehabilitasi ekosistem. Pemerintah juga menjanjikan kompensasi bagi korban serta pembangunan hunian tetap bagi warga terdampak.
Namun, catatan akhir tahun menuntut kejujuran bahwa kebijakan belum sepenuhnya berbanding lurus dengan penegakan hukum. Korupsi hutan bukan kejahatan yang berdiri sendiri. Ia hampir selalu melibatkan jejaring panjang meliputi pemberi izin, pengusaha, aparat penegak hukum, bahkan aktor di dalam sistem peradilan. Tidak jarang, perkara berhenti di tengah jalan atau berakhir dengan hukuman ringan yang gagal menimbulkan efek jera.
Indonesia sesungguhnya memiliki rekam jejak panjang korupsi sumber daya alam. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sektor sumber daya alam secara konsisten menyumbang kerugian negara triliunan rupiah setiap tahun. Pada 2019 saja, ICW mencatat potensi kerugian negara dari kasus korupsi sumber daya alam mencapai lebih dari Rp 6 triliun. Angka itu belum termasuk kerusakan ekologis yang nilainya nyaris mustahil dihitung dengan rupiah.
Hutan hanyalah satu bab. Korupsi juga merambah migas, pertambangan, perikanan, hingga sumber daya air. Kasus-kasus besar di sektor energi dan tambang, praktik illegal fishing, hingga sengkarut pengelolaan air menunjukkan pola serupa: lemahnya tata kelola, minim transparansi, dan penegakan hukum yang inkonsisten. Kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung sepanjang 2025 pun diyakini baru menyentuh puncak gunung es.
Inilah sebabnya korupsi layak disebut masalah sistemik. Ia tidak semata soal individu serakah, melainkan tentang sistem yang memberi ruang, bahkan insentif, bagi penyimpangan. Ketika transparansi rendah, pengawasan lemah, dan sanksi tak menakutkan, korupsi tumbuh subur dan menjelma budaya. Kepercayaan publik pun tergerus, sementara hukum kehilangan wibawanya.
Catatan akhir 2025 juga menyisakan pesimisme yang wajar. Aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan, tak jarang justru terseret kasus korupsi. Tahun ini KPK meng-OTT kejaksaan, hingga berulang kali. Di sisi lain, masyarakat pun belum sepenuhnya steril dari praktik suap dan kompromi. Lingkaran setan ini membuat pemberantasan korupsi terasa berjalan di tempat.
Namun, pesimisme tak boleh berujung pada keputusasaan. Sejumlah prasyarat mendesak perlu dipenuhi jika 2026 ingin dijadikan titik balik. Pertama, penegakan hukum harus tegas dan konsisten, terutama terhadap korupsi sumber daya alam yang berdampak langsung pada keselamatan publik. Penguatan KPK, kepolisian, dan kejaksaan bukan slogan, melainkan kebutuhan nyata, baik dari sisi kewenangan, integritas, maupun keberanian politik.
Kedua, transparansi pengelolaan sumber daya alam mesti diperluas melalui sistem informasi terbuka dan pemanfaatan teknologi digital. Perizinan, konsesi, dan aliran penerimaan negara harus mudah diakses dan diawasi publik. Ketiga, partisipasi masyarakat lokal perlu ditempatkan sebagai pilar utama konservasi. Banyak program gagal karena menyingkirkan warga yang justru hidup paling dekat dengan hutan.
Keempat, pencegahan harus menjadi investasi jangka panjang. Pendidikan antikorupsi sejak dini – dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi – perlu dirancang serius, bukan sekadar sisipan kurikulum. Membuang generasi yang telanjur korup tidak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah menyiapkan generasi pengganti yang berintegritas, diberi ruang memimpin, dilindungi dari sistem yang kotor, dan bebas dari warisan turun temurun.
Banjir bandang di pengujung 2025 adalah pengingat pahit bahwa korupsi bukan isu abstrak. Ia nyata, mematikan, dan merampas hak hidup warga. Ketika hutan dirampok dan hukum berkompromi, alam akan mengambil alih peran hakimnya sendiri. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Indonesia mampu memberantas korupsi, melainkan seberapa besar harga yang masih harus dibayar jika pembiaran terus berlanjut. ***
