Jumat, September 20, 2024

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan-Tolol dan Pengecut)

Bagian 1 dari 5 Tulisan

Negeri negeri yang binasa dan yang dibinasakan deru angin dan gelombang samodra adalah negeri negeri bajingan tolol dan pengecut. oleh sebab politik telah menjadi panglima dan kekuasaan telah menjadi tuhannya. sedangkan air mata menggenang di mana mana dan menenggelamkan nestapa.

Iqro iqro iqro atas negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. tidakkah itu sebagai pelajaran dan penuntun bagi kita. bukankah langit begitu terang memberi kabar dan berita. awan berarak hitam pekat dan daun-daun berguguran sebelum musim tiba.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kita hanya diajari pertengakaran perut bukan pertengkaran pemikiran. kita tidak pernah diajari berdebat menyoal argumementasi kecuali hanya diajarkan bagaimana memainkan kekuasaan. kita hanya diajari menjadi pemuja dan penghamba kekuasaan dan bagaimana merepresi bukan menjadi kompas kehidupan. sungai sungai tak lagi bisa untuk berkaca. airnya coklat penuh sampah.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kecoa kecoa, tikus tikus dan lalat alat berkerumum di darah babi. para pedebah membarikade kefir’aunan. kritik adalah ancaman, hinaan dan kebencian baginya. sumbu sumbu kekuasaan setiap saat bisa memproduksi, memobilisasi dan merekayasa kebohongan, ujaran kebencian, keonaran dan kegaduhan untuk membungkam mulut mulut kegelisahan. membelenggu kalbu kalbu yang berteriak demi masa di ‘arasmu.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. sebab umar bin khottob tak ada di sana sehingga matahari tak lagi menyala. cahaya tenggelam dan tertimbun bayangan runtuhnya singgasana. langit makin gelap. cahaya menepi dalam senyap. sejarah dan waktu yang akan bicara dan kebenaran  akan memilih jalannya sendiri. tegak lurus pada matahari  dan sunyi senyap akan memancarkan cahaya dalam kebisingan yang menulikan pendengaran dan penglihatan yang gerhana.

Singaraja, 8.8.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Puisi: Negeri Negeri Bajingan Tolol Dan Pengecut)

 

Sebagai Studi Kasus

Dalam studi kasus ini kita hanya memperbincangkan, memperdebatkan dan mendudukkan kata-kata yang harus diletakan pada nilai kata itu sendiri berdasarkan pertanyaan apakah benar kata-kata itu adalah (menjadi) tidak beradab, di luar adab, tidak Ketimuran, ketidakadaban dan ketidakberadaban dengan landasan KBBI. Bahkan, apakah benar kata-kata tersebut tidak sesuai dengan Pancasila, dan apakah kata-kata tersebut juga menjadi tidak bermoral-agama?

Patut dicatat, dalam studi kasus ini kita mengikuti tafsir dan penilaian yang berangkat dan berpijak dari nalar mereka {Benny Rhamdani (BR), Relawan Indonesia Bersatu/Relawan Jkwi (RIB/RJ) dan Tim Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPP PDIP, Ali Mochtar Ngabalin (AMN), Moeldoko (ML), advokat David Tobing (DT) dan Yohanes Joko (YJ) dkk}. Semua hal tersebut sudah berada di ruang publik, dan sudah menjadi konsumsi publik.

Rocky Gerung (RG) mengucapkan kata-kata: bajingan-tolol-pengecut. Teks dan konteksnya adalah kritik atas kebijakan Presiden. Sekali lagi, soal IKN (Ibu Kota Negara/Nusantara), Omnibus Law-Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Minerba, KKN di sumbu kekuasaan, cawe-cawe Pilpres 2024, dan masih banyak kebijakan lainnya yang dalam analisinya berpotensi akan menjadi bencana dan atau merugikan kepentingan bangsa dan negara, dan kental dengan kepentingan oligarki.

Benny Rhamdani (BR) mengucapkan kata-kata: komprador-antek-antek asing-agen asing-pecundang. Pernyataan publik tersebut bisa disimak di berbagai acara televisi dan media seperti TVOne, Metro TV, Kompas TV, CNN Indonesia dan lainnya; di podcast) dan yang dilansir beberapa  media  nasional lainnya.

Ali Mochtar Ngabalin (AMN) mengatakan: otak udang. RG intelektual songong yang berkualitas otak udang. Bisa disimak pada twitternya, yang dikutip salah media dan tersebar di medsos dengan berbagai respon nitizen.

Moeldoko (ML) lebih dahsyat, mengucapkan kata-kata: pasang badan. Menyatakan dengan tegas, jangan coba-coba mengganggu presiden, ini sudah menyerang presiden, ini sudah tidak bisa ditoleran. Tugas yang melekat di Kepala Staf Presiden adalah menjaga kehormatan presiden. Jangan main-main itu. sekali lagi jangan main-main itu (ML dalam konfrensi pers).

Kalau sudah bersinggungan dengan itu, saya berdiri paling depan. Saya sebagai prajurit biasa mempertaruhkan nyawa di medan perang tanpa kalkulasi apalagi menghadapi situasi seperti ini, sudah biasa. Saya membayangkan orang pintar tidak punya hati itu ya robot. Robot itu biasanya ada yang mengendalikan, ada yang meremot, cari sendiri siapa yang meremotnya (Ibid).

Advokat David Tobing (DT)-sekaligus sebagai akademisi mengucapkan kata-kata: Presiden itu simbol negara. Penghinaan atas simbol negara, dan tengah melakukan gugatan perdata di PN Jaksel atas RG. Gugatannya: RG Dilarang Berbicara Seumur Hidup.

 

Argumentasi Pemuja Kekuasaan

Ciri umum dan atau ciri utama para pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan adalah kekuasaan itu menjadi absolut penguasa, tidak boleh disentuh, dan rezim penguasa pastilah selalu benar. Kebijakannya adalah demi (untuk) kepentingan rakyat-bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi dan atau krooni-kroninya.

Ciri umum dan atau ciri utama berikutnya adalah kebijakan rezim kekuasaan (penguasa) menjadi harga mati, tidak boleh disalahkan, tidak boleh dikritik, bibir merahnya mengatakan, di alam demokrasi boleh-boleh saja mengkrtik, tapi yang santun-jangan menghina Kebijakan penguasa absolut benar; tidak ada yang salah atau keliru dan atau tidak akan merugikan bangsa dan negara.

Para pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan merupakan mata rantai dari kartel politik dan atau kartel kekuasaan dan atau kartel oligarki, baik langsung maupun tidak langsung, baik karena jejak digital masa silamnya atupun perubahan cara pandangnya yang terkini, yang arus utamanya adalah problem mentalitas.

Ciri umum dan atau ciri utama lainnya adalah, bagi para pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan selalu berselimut dan atau berjubah pada pasal pencemaran nama baik, penghinaan, ujaran kebencian, menyerang harkat dan martabat-kehormatan personal, menyerbarkan permusuhan, menyebarkan berita hoaks, membuat keonaran dan kegaduhan.

Tetapi, semua itu adalah atas dasar tafsir dan pemaknaan kepentingannya sendiri dalam arena relasi kuasa, bukan atas dasar logika dan akal waras intelektual publik akademik yang dituntun metodologi-(ilmu) pengetahuan.

Ciri umum dan atau ciri utama yang terakhir adalah, yang seharusnya menjadi akademisi yang metodologis yang dituntun (ilmu) pengetahuan, kemudian menjadi akademisi kaleng; selalu glombrangan. Yang seharusnya menjadi profesor, kemudian menjadi kompresor.

Pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan menganggap bahwa kekuasaan (rezim penguasa) itu kemaksumannya terjaga. Pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan dan atau rezim penguasa lupa-melupakan atau mengabaikan bahwa manusia diciptakan dimuka bumi sebagai khalifatullah fil ardh, yang konsekuensinya atas kekhalifahan tersebut adanya ‘kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyathi’.

Yang seharusnya menjadi intelektual akademik yang dituntun oleh logika dan akal waras (akal budi), kemudian menjadi intelektual vampire, yang oleh Pierre Bourdieu disebuat sebagai pengkhianatan intelektual (Pierre Bourdieu: Intelectual Colective).

Yang seharusnya orang sekolah menjadi sekolahan, bukan kemudian menjadi tidak sekolahan. Lagi-lagi, oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai pengkhianatan intelektual, karena intelektualitasnya dipakai untuk menyamarkan kebenaran, yang oleh kita yang awam akan dianggap pernyataannnya benar adanya, karena dianggap sebagai kaum intelektual yang makan bangku sekolahan (Ibid).

Ternyata, orasi RG, Sabtu (29/7/2023) dalam Konsolidasi Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh di Bekasi, berujung dipolisikan oleh Barikade 98 yang dikomandani Benny Rhamndani (BR), Relawan Indonesia Bersatu/Relawan Joko Widodo (RIB/RJ) yang dikomadani Lisman Hasibuan (LHS) dan Tim Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPP PDIP yang dikomadoai Johannes Oberlin Lumban Tobing (OLT).

Alasan BBHAR DPP PDIP. menganggap sebagai  ujuran kebencian dan hoaks terhadap Presiden Jokowi. Barikade 98 atas dasar telah menyerang martabat dan kehormatan pribadi Presiden Jokowi, karena Presiden merupakan simbol dan atau lambang negara, sedangkan RIB/RI dengan alasan telah membuat kegaduhan dan keonaran.

Gayung bersambut reaktif, mereka didorong dan didukung sepenuhnya oleh pejabat negara lainnya, antara lain, AMN dan Jendral (purn) ML. Patut dicatat, BR adalah Kepala BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia). AMN adalah Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) dan sebagai Komisaris Independen PT. Terminal Petikemas Indonesia yang merupakan sub holding PT. Pelabuhan Indoneia (Persero) atau Pelindo, dan ML adalah Kepala KSP.

Kritik RG tersebut ditafsiri dan dimaknai sebagai penghinaan, telah menyerang martabat dan kehormatan Simbol-Lembaga Negara dan pribadi Jokowi sebagai Presiden. Mereka berargumentasi dengan dasar pijak lima landasan pokok, yakni: Adab-Etika Ketimuran, Moral dan Agama, Demokrasi, dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Untuk itu, kita coba ikuti nalar mereka berdasarkan lima argumentasi pokok tersebut. Anggaplah mereka itu yang benar dan atau mereka yang benar nalarnya. Untuk menganggap benar, metodologi mengajarkan pada kita, bahwa anggapan tersebut kita katakana benar, harus ada prasyarat untuk dikatakan benar argumentasinya atas dasar logika dan akal waras, karena kita sebagai intelektual publik akademik yang dituntun metodologi ilmiah-akademik.

Maka, untuk bisa dikatakan benar, harus ada pembandingnya, dan harus pula ada standar dan atau peralatan apa yang mau dipakai sebagai alat ukur kebenarannya. Barulah setelah itu, apa kesimpulannya.

 

Kritik RG Atas Kebijakan Presiden

Kritik-pil pahit getir RG dialamatkan langsung kepada Presiden, sebagai pengambil kebijakan strategis yang menentukan nasib bangsa dan negara; soal IKN (Ibu Kota Nusantara), Omnibus Law-Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Minerba, KKN di sumbu kekuasaan Istana, cawe-cawe untuk Pilpres 2024, dan masih banyak kebijakan lainnya yang dalam analisinya berpotensi akan menjadi bencana dan atau merugikan kepentingan bangsa dan negara di masa datang, dan kental dengan kepentingan oligarki, dengan perkataan lain, tertawan oleh kartel politik, kartel kekuasaan dan kartel oligarki.

Kritik dan analisis yang sama dan sebangun dengan RG juga sesungguhnya telah banyak dilontarkan para Guru Besar, Akademisi, Ahli Tata Negara, Ahli Pidana, dan para pakar kebijakan publik lainnya dari berbagai disiplin keilmuan. Begitu juga hal yang spesifik dari analisis para ekonom di berbagai acara dialog televisi, podcast, seminar-diskusi publik yang terbuka maupun yang terbatas.

Bahasa yang santun tak bisa lagi dikatakan, karena secara psikologi massa sudah sampai pada level kemuakkan dan atau kejijikan, dimana rezim penguasa sudah menulikan pendengarannya dan telah menggerhanakan matanya. Sudah bebal. Silakan demo, kuat-kuatan. Sungguh luar biasa kekuasaan.

Buat apa kesantunan kata dan atau bertutur kata yang amat sangat santun, jika kebijakannya  berpihak kepada kepentingan kartel politik, kartel kekuasaan dan kartel oligarki. Kesantuan kata hanya untuk permainan retorrika dan kehipokritan semata. Padahal, kata-kata yang sarkastik atau sinistik terlahir dari psikologi adikodrati (kausalitas) kata yang sudah sampai pada tingkat kemuakkan dan atau menjijikkan dalam kebebalan. Kesantunan bertutur kata seharusnya paralel-tidak berbanding terbalik dengan realitas kebijakannya.

Lantaran, kata-kata atau frasa itu dipotong atau harus dipisahkan dari teks dan konteksnya agar bisa memenjarakan RG, seseorang dan atau pikiran-pikiran, maka diupayakan bagaimana bisa memperkarakan, mempidanakan dengan menyetempel menjadi delik pidana umum atas nama penghinaa, membuat keonaran dan kegaduhan.

Alasan yang diakal-akali, memutar-balikan fakta yang nyata adalah karena dianggap telah membuat keonaran, kegaduhan, menyebarkan berita bohong, permusuhan-ujaran kebencian dan seterusnya. Lantas, hal tersebut hanya ditandai dengan munculnya reaksi dibeberap daerah yang berdemo. Dengan spanduk ‘TANGKAP ROCKY GERUNG’ ‘SEGERA TANGKAP ROCKY GERUNG.’

Akan tetapi, hal itu sesungguhnya tidak ansich, variable, indicator dan variannya cukup banyak untuk mengatakan mengapa itu kemudian menjadi gaduh ataukah digaduhkan? Mengapa menjadi keonaran ataukah memang dionarkan?  Mengapa dikatakan pemberitaan bohong (hoaks) ataukah memang di-hoaks-kan pemberitaannya? Semua itu supaya memenuhi unsur delik pemidanaan.

Demokrasi, hukum dan kebenaran tengah dipertaruhkan di negeri yang mengklaim demokrasi dan negara hukum. Akankah apparatus (alat) negara akan menjadi alat kekusaan? Lantas, bagaimana hukum dan demokrasi bicara atas kebenaran formil maupun material? Akankah negeri ini akan memilih kebenaran formil semata, dan akan menguburkan kebenaran materialnya? Apakah itu semua akan menjadi paket kejar tayang seperti halnya dengan sinetron kita? sejarah dan waktu yang akan bicara.

Arena relasi kuasa memberikan realitas empirik sebagai sebuah fakta sepanjang sejarah negeri ini, bahwa keonaran, kegaduhan, ujaran kebencian, ke-hoaks-kan dan seterusnya bisa diproduksi, bisa dimobilisasi dan bisa direkayasa setiap saat jika diperlukan untuk kepentingan relasi kuasa jika aparatus (alat) negara telah menjadi aparatus kekuasaan-rezim penguasa.

Yang akan dilihat secara formil adalah fakta yang mengemuka-fakta dipermukaan, yaitu benar adanya terjadinya hal-hal tersebut yang dimaksud dalam unsur delik dan atau yang meng-ada itu diformilkan sebagai alat bukti untuk memenuhi unsur delik-pemidanaan. Yang diperkuat dengan pendapat para saksi ahli atas keterpenuhan unsur deliknya. Jika yang terjadi seperti itu, lagi-lagi Pierre Boudieu mengatakannya sebagai pengkhianatan intelektual dan atau pinjam kata-katanya  filsuf Al-Ghazali dikatakan sebagai ketololan.

Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah pengonaran untuk bisa dikatakan (ke)onar(an), penggaduhan untuk bisa dikatakan kegaduhan, pengujaran kebencian untuk bisa dikatakan permusuhan atas ujaran kebencian, dan seterusnya di balik teks dan konteks kata tersebut yang berlepasan sebagai kalimat panjang yang  menjelaskan substansi permasalahannya.

Menurut RG, para akademisi dan intelektual publik akademik, kebijakan soal IKN yang ditawarkan ke China tersebut adalah “A hingg Z”, bahkan  dengan konsesi yang amat sangat luar biasa, yang tidak bisa diterima logika dan akal waras.

Sebagai payungnya diterbitkan  PP No. 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, untuk HGU: 95 tahun – 190 tahun dan HGB: 80 tahun – 160 tahun (HGB/HGB = +/- 3 generasi); dari mulai konsep, penataan, desain dan lainnya diserahkan sepenuhnya ke Xi Jinping-China Komunis.

Bahkan proposal IKN ke China tersebut diberikan keleluasaan otonom dalam  tata kelola wilayah seluas +/- 34.000 Ha. Yang oleh logika dan akal waras intelektual publik akademik, (berpotensi) bisa membuat negara dalam negara. Sangat berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan negara. Meski, semua itu dibantah oleh Istana.

Pada sisi lain, sejarah dan waktu yang bicara,  pada Agustusan 2021 geger soal Benderra Merah Putih dilarang dikibarkan-dipasang di jembatan kawasan PIK (Pantai Indah Kapuk). Muncul bantahan aparat, dilarang karena menghindari kerumunan massa, yang waktu itu pandemi Covid-19. Alasan tersebut sangat logis, yang  sekaligus menjadi tidak logis.pada akhirnya.

Tidak sedikit fakta yang kemudian tak bisa terbantahkan, bahwa dalam PIK, negara nyaris tidak bisa memantau aktivitas sosial WNA-China yang bisa dikatakan dalam kehidupan negara dalam negara. Rezim penguasa, tak mau tahu,  tidak mau belajar dari sejarah, dan bahkan melupakan sejarah untuk hal-hal negara dalam negara.

Mustinya, WNA-China dalam PIK tersebut sebagai pelajaran sejarah yang berharga harus kita petik. Bisa saja, tidak menutup kemungkinan, kejahatan trans nasional menyelinap atau sembunyi dalam kehidupan PIK. Bahkan yang paling dicemaskan, adanya potensi kejahatan trans nasional lantas negara abai.

Hubungan dagang, neraca perdangan dengan China, tentu tidak bisa kita tolak atau kita bantah, termasuk hubungan dagang dengan negara lainnya atau -negara manapun, dan itu akan menjadi keniscayaan dalam mekanisme pasar bebas yang tak bisa ditolak. Saling membutuhkan dengan negara lain adalah hukum alamiah, adi-kodrati, tapi bukan menjadi ketergantungan.

Faktanya, tidak ada satu negara pun yang bisa hidup mandiri, mengisolasi diri, apalagi para pemimpin kita tidak pernah mengajari bagaimana kita bisa menciptakan, membuat dan atau melahirkan alat-alat produksi, sehingga kita paling tidak, mempunyai kedaulatan ekonomi dalam mekanis pasar bebas atas konsekuensi ekonomi global dan pasar global.

Faktanya hingga kini, kita baru bisa memproduksi jika kita mampu membeli alat-alat produksi dari negara lain. Bagaimana mungkin kita bisa sejajar dengan negara-negara maju dan atau bisa menjadi (yang dikatakan) negara maju, jika itu bukan hal yang tong kosong nyaring bunyinya-omong kosong semata. Tahun 2045 kita menjadi negara maju, sejajar dengan negara-negara adi-kuasa-negara-negara maju adalah merupakan ‘igauan’.

Negara-negara yang bisa maju adalah negara-negara yang bisa menciptakan, membuat atau melahirkan alat-alat produksi, menguasai teknologi, sain dan peradaban berfikir, bukan sebagai negara pengkonsumsi. Mimpi di siang bolong. Dalihnya, Kereta Api Cepat, China akan memberikan alih tekonologi-rahasia intinya.

Bagaimana mungkin itu terjadi, sungguh naif. Paling China hanya akan memberikan alih teknologinya kepada kita sebatas sebagai  maintenance (tukang mekanik tok). Yang lainnya, misalnya, sparepat tetap harus dibeli dari pabrikan China sebagai industri asalnya yang menciptakan mesin-alat-alat produksi tersebut.

Anak-anak bangsa sangat cerdas yang sekolah di luar negeri, bisa mendesain dan atau membuat pesawat terbang. Contohnya, IPTN (Dirgantara), tapi apakah kita bisa membuat mesin pesawatnya? Tidak bisa. Mesin pesawatnya tetap dibuat dan atau dipesan (impor) dari negara lain, meski, semua rumus matematika keseimbangan dan kecepatannya yang menghitung anak bangsa, termasuk desain pesawatnya.

Bagaimana mungkin kita bisa sejajar dengan negara-negara maju, persoalan perkorupsian yang makin menggila, dan hutang luar negeri yang makin ugal-ugalan dan mencekik leher bangsa. Itu semua karena kita hanya sebagai negara pengkonsumsi.

Kita hanya cuma baru bisa merakit dalam banyak hal, seperti, motor, mobil, sepeda listrik, komputer, HP, kereta api, dan yang lainnya yang terkait dengan teknologi tinggi. Kita hanya sekedar bisa merakit dan menjadi teknisi (tukang servis) mesin dan peralatan. Dalam hal meniru, menjiplak, memodifikasi dan seterusnya memang jagonya.

Keunggulan kita paling utama, sangat piawai atau sangat pandai dalam bidang matematika, dalam hal perkalian, pengurangan dan tambah-tambahan. Tetapi, matematika dalam hal pembagian, kita menjadi sangat tolol-idiot-stanting, sehingga perkorupsian makin gila-gilaan, dan itu sebagai sebuah fakta matematika soal pembagian atau bagi-bagian dalam berhitung.

Matematika dalam berhitung bagi-bagian atau pembagian yang tolol-idiot-stanting itu secara teologis menjadikan kita atheis pada akhirnya, karena kita suka sekali dengan menambah, mengurangi dan mengalikan. Itu semua menjadi unsur ke-atheis-an. Pembagian itu merupakan ruh dari sebuah keadilan yang dituntun moralitas dan agama dalam keberagamaan, agar kita tidak tersungkur ke dalam ke-atheis-an dalam hidup-berbangsa dan bernegara.

Sejarah dan waktu yang akan bicara di kemudian hari, meski sejarah selalu saja dimenangkan kekuasaan, tetapi kebenaran sejarah bukan ditentukan oleh kekuasaan. Kebenaran sejarah adalah kebenaran dari fakta peristiwa sejarah itu sendiri yang bicara, bukan mulut-mulut kekuasaan yang bicara. ***

(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles