Selasa, November 5, 2024

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan Tolol dan Pengecut)

Bagian 2 dari 5 Tulisan

Negeri negeri yang binasa dan yang dibinasakan deru angin dan gelombang samodra adalah negeri negeri bajingan tolol dan pengecut. oleh sebab politik telah menjadi panglima dan kekuasaan telah menjadi tuhannya. sedangkan air mata menggenang di mana-mana dan menenggelamkan nestapa.

Iqro iqro iqro atas negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. tidakkah itu sebagai pelajaran dan penuntun bagi kita. bukankah langit begitu terang memberi kabar dan berita. awan berarak hitam pekat dan daun-daun berguguran sebelum musim tiba.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kita hanya diajari pertengakaran perut bukan pertengkaran pemikiran. kita tidak pernah diajari berdebat menyoal argumementasi kecuali hanya diajarkan bagaimana memainkan kekuasaan. kita hanya diajari menjadi pemuja dan penghamba kekuasaan dan bagaimana merepresi bukan menjadi kompas kehidupan. sungai sungai tak lagi bisa untuk berkaca. airnya coklat penuh sampah.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kecoa kecoa, tikus tikus dan lalat alat berkerumum di darah babi. para pedebah membarikade kefir’aunan. kritik adalah ancaman, hinaan dan kebencian baginya. sumbu sumbu kekuasaan setiap saat bisa memproduksi, memobilisasi dan merekayasa kebohongan, ujaran kebencian, keonaran dan kegaduhan untuk membungkam mulut mulut kegelisahan. membelenggu kalbu kalbu yang berteriak demi masa di ‘arasmu.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. sebab umar bin khottob tak ada di sana sehingga matahari tak lagi menyala. cahaya tenggelam dan tertimbun bayangan runtuhnya singgasana. langit makin gelap. cahaya menepi dalam senyap. sejarah dan waktu yang akan bicara dan kebenaran  akan memilih jalannya sendiri. tegak lurus pada matahari  dan sunyi senyap akan memancarkan cahaya dalam kebisingan yang menulikan pendengaran dan penglihatan yang gerhana.

Singaraja, 8.8.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Puisi: Negeri Negeri Bajingan Tolol Dan Pengecut)

 

Problem Idiologi (dengan) China

Kita dengan China-Komunis hingga kini masih punya problem ideologi, tidak saja pada masa silam Orla-Soekarno. China hingga kini masih terus meng-ekspansi ideologi komunisnya-yang paling licin dengan jalan atau jalur ekonomi, dalam hal ini IKN menjadi sangat strategis bagi China.

Potensi akan bencana ideologi tersebut ada di depan mata. Pidato politik Megawati Soekarnoputri-PDIP),  memperingati ‘Seabad Partai Komunis China’ yang disampaikan dengan berapi-api penuh ekspresi. Ekspresinya sangat amat bagus, menjiwai sebagai karakter tokoh, dan sangat meyakinkan kita semua, sekaligus meyakinkan mata dunia-internasional.

Pidato Megawati, adanya indikasi ideologis, memberikan dan sekaligus merupakan sinyal dan atau alarm bagi kita sebagai bangsa dan negara di kemudian hari. Tentu, sejarah dan waktulah yang akan menguji keniscayaannya atas negeri ini. Sejarah dan waktu yang akan bicara.

Pidato politik Megawati tersebut mengafirmasi keniscayaan kebenaran bahwa ideologi tak akan pernah padam-mati, dan masih harus diperjuangkannya agar mimpi itu menjadi realitas politik di negeri ini. Tentu, Megawati, belajar dari sejarah kelam dan kegagalan masa silam sejarah. Pidato politik Megawati-Seabad Partai Komunis China merupakan benang merah atas pernyataannya di Al-ZazirahTV, dua hari menjelang jatuhnya rezim Orba-Soeharto. Itu tak bisa terbantahkan lagi.

Sangatlah muskil jika tidak ada benang merah ideologi DNA Megawati (PDIP) dengan ideologi Komunisme; Partai Komunis China, karena peringatan hari ulang tahun partai lainnya di dunia, Megawati tidak pernah memberikan pidato politiknya. Dalam pidato politiknya, Megawati secara tegas mengatasnamakan seluruh rakyat-bangsa. Padahal, ideologi komunisme masih menjadi problem besar bagi bangsa dan negara, di negeri ini.

Sehingga, bukan suatu hal yang muskil dengan persoalan IKN di tangan China, bisa berpotensi akan melahirkan dan atau bangkitnya KGB (Komunis Gaya Baru). Sinyal lainnya yang bisa kita baca, dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati (Aku Bangga Jadi Anak PKI) pada talk show di Lativi: Analisa, 2002, mengatakan, jumlah generasi (angkatan) ideologisnya kini (2002) berjumlah +/- 20 jutaan, belum ditambah dengan cucu-cucunya, yang mencontohkannya dengan cara menghitung cucunya sendiri. Ribka Tjiptaning mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI.  Itu bertanda sinyal menyala yang terpendam, adanya keinginan untuk bisa bangkit kembali.

Di waktu lain, juga mengatakan, bahwa ideologi tidak akan pernah mati, dan dengan tegas mengatakannya, bahwa dirinya penganut ideologi Soekarno, sebagai Soekarnois(me). Hal yang serupa juga diucapkan oleh budayawan Muhiddin M Dahlan-yang ideologi Lekra di acara mojokdotco-Put Cast Live on Stage: “Debat Sengit Kiri VS Kanan.”

Sama halnya dengan Saut Situmorang-penyair-pewaris gen Lekra, masih terus melakukan gugatan atas penyair-sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia. Dalam tajuk farum Sastra Canon, Saut Sitomorang mengugat bahwa penyair-penyair-sastrawan Lekra dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia.

Entah apakah Saut Sitomurang tidak pernah ke puspustakaan sekolah, kampus dan perpustakaan umum, sehingga tidak melek matanya melihat terpampang karya para sastrawan Lekra, dan dibicarakan dalam diskusi sastra. Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang dkk karya-karyanya tetap dibicarakan dalam sejarah sastra oleh peminat sastra yang mendalami perjalanan sejarah sastra. Rupanya Saut Situmorang masih tetap merindukan kejayaan Lekra dan kebangkitan  kembali ideologi yang mereka dewa-dewakan oleh para pendahulunya.

Begitu juga halnya Ombibus Law-Ciptaker, Kesehatan, Minerba dan lainnya yang oleh logika dan akal waras publik akademik dan atau intelektual akademik, berpotensi menjadi bencana bagi bangsa dan negara, karena melanggar konsitusi; tidak melindungi segenap tumpah darah, jika kebijakan itu diberlakukan dan dilaksakan. Meski demo berjilid-jilid. Lagi-lagi, semua itu dibantah oleh Istana.

Kritik RG yang menghujam langsung menusuk jantung kekuasaan, dianggap oleh mereka sebagai penghinaan atas pribadi Jokowi sebagai Presiden, dimana Presiden dikatakannya sebagai simbol dan atau lambang negara oleh mereka.

Kata-kata yang dilontarkan RG dikatakan di luar adab, tidak beretika Ketimuran, tidak beradab, tidak bermoral. Akhirnya berujung dipolisikan dengan +/- 25 laporan, termasuk  dari berbagai daerah yang kemudian ditarik ke Bareskrim Mabes Polri.

Mereka sangat berapi-api mengatakan, targetnya harus bisa memenjarakan RG, sudah 8 tahun lebih kami cukup bersabar dan berdiam diri, intonasi BR meninggi dengan ekspresi penuh dendam, kebencian dan kegeraman, jika kita membacanya dalam penokohan tokoh sentral di panggung teater yang menjadi totonan. Katanya, RG sangat sulit dibidik. Kita tunggu proses hukumnya.

Yang menarik, sekaligus menggelikan, memilukan dan memedihkan adalah ngototnya mereka  bahwa Presiden adalah simbol negara. Tidak hanya BR yang ngotot, advokat DT yang sekaligus akademisi, juga ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara.

Bahkan ada profesor (berada dalam sumbu kekuasaan) dalam dialog televisi soal pasal penghinaan, juga ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara. Lawan dialognya berkali-kali mengingatkannya bahwa Presiden bukanlah simbol negara, termasuk ketika mereka (BR dkk dan DT) dalam acara dialog di televisi yang disaksikan dan atau didengar jutaan publik tanpa kecuali para mahasiswa, tetap ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara.

Bisakah kita membayangkan, bagaimana jika para mahasiswanya menjawab soal ujian smeseter yang ia berikan, kemudian para mahasiswa menjawabnya, bahwa Presiden bukan sebagai simbol dan atau lambang negara, karena UUD’45 pasal 35 menyatakan simbol negara adalah Bendera; Merah-Putih.

Pasal 36 mengatakan, simbol negara adalah Bahasa; Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pasal 36A adalah Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pasal 36B menyebutkan simbol negara adalah Lagu Kebangsaan, yaitu, Indonesia Raya.

Akankah para mahasiswa dinyatakan TIDAK LULUS, karena tidak sesuai dengan pendapat sang Dosen dan atau sang Profesornya? Bayangkan, bahwa soal simbol dan atau lambang negara itu adalah soal hafalan, bukan soal bagaimana kita harus menggunakan nalar, logika dan akal waras, yang bersifat akademik. Sungguh mengerikan, memilukan dan memedihkan kita sebagai bangsa yang masih punya logika dan akal waras jika para akademisinya seperti itu.

AMN membangga-bangakan gelar doktornya. Intelektual publik akademik bukan meragukan gelar doktornya AMN, tetapi meragukan berfikir kedoktorannya. Nalar dan logikanya yang diragukan. Intelektual publik akademik meragukannya lantaran sangatlah konkret, nalar dan logikanya tertpenjara kekuasaan dan atau mempertontonkan dirinya sebagai pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan dalam setiap debat di forum televisi.

 

Pembunuhan Karakter Itu Gampang

Cerca mencerca, mencaci-maki, menghina sekalipun dengan kata-kata yang sangat biadab, mempersekusi, mempolisikan-mempidanakan  dengan berbagai upaya delik yang bisa dimainkan dan atau jika memainkan kekuasaan, hingga tuntutan melarang RG berbicara seumur hidup, tidak akan bisa menembus ulu-hati, tidak akan tembus ke jantung dan apalagi merobek ginjal RG sebagai pemikir.

Buktikan saja inteletual akademik mereka bisa melampaui kecerdasan makro intelektual akademik RG, sehingga intelektual publik akademik akan percaya, mencoba mempercayainya. Dengan cara memperkusi dan melemparinya dengan telur busuk dan melarang RG bicara seumur hidup di berbagai forum, bukankah berarti merekalah yang merusak Pancasila, demokrasi dan HAM. Tidak ada dalil pembenaran untuk itu.

Jika mereka melarang RG berbicara seumur hidupnya di berbagai forum, sekali lagi, tidak ada dalil yang bisa dipakai untuk melakukan pembenaran, apalagi atas nama Pancasila, demokrasi dan HAM. Bagaimana mungkin jika mereka mengerti dan paham dengan Pancasila, demokrasi  dan HAM lantas melakukan hal yang sedungu itu, yang setolol itu?

Mereka tidak berhak melarang setiap orang-komunitas apapun-kampus-kampus-forum publik, tv, podcast dan lain-lainnya mengundang RG, kecuali bagi mereka, boleh saja tidak mengundang RG dan atau jaringan sayap-sayapnya yang seidiologis. Boleh saja dilarang mengundang RG, karena jaringan sayap-sayapnya tersebut berada dalam cengkraman, tawanan dalam  kekuasaannya.

Cara yang paling sederhana untuk bisa melakukan pembunuhan karakter terhadap RG, tinggal mereka bisa membuktikan secara moralitas jauh lebih baik dari moralitas RG, dan secara prilaku sosial pun jauh lebih baik ketimbang RG. Lebih konkret, toh! Gampang dan sederhana, bukan?

Mereka bisa menggantikan posisi intelektual akademik RG, karena isi batok kepala jauh melampaui kecerdasan makro RG, otak dengan dengkulnya tidak terlampau jauh letaknya, daripada melakukan persekusi, tuntutan melarang RG berbicara seumur hidup hingga memidanakannya dengan berbagai upaya delik yang berusaha bisa dimainkan kekuasaan.

Pemenjaraan, persekusi, penghadangan dan larangan-larangan dalam berbagai forum pemikiran untuk melarang para pemikir bicara dan atau menghentikan pemikir berhenti berpfikir, sangatlah naif. Yang bisa menghentikan para pemikir berhenti berfikir adalah ketika para pemikir tersebut telah mati-menginggal dunia dan atau telah dimatikan dengan cara dibunuh oleh rezim penguasa seperti ditembak mati dan atau cara lainnya supaya bisa mati.

Peradaban umat manusia memberikan pelajaran sejarah bagi kita semua, terutam rezim penguasa jika mau dan bersadar diri, bahwa melarang dan menghentikan pemikiran para pemikir tidak akan bisa sampai langit ini runtuh (kiamat). Sekalipun sudah mati pemikirannya akan tetap hidup mengisi ruang-ruang hampa.

Bukti sejarah yang paling konkret terjadi di Yunani, Socrates divonis hukuman mati rezim penguasa atas dasar kaum Sofis sebagai pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan yang mengupayakan dengan berbagai cara, targetnya Socrates harus dihukum mati.

Para kolega Socrates yang berada di sumbu-sumbu kekuasaan sebagai pemuja dan atau penghamba kekuasaan, menawarkan pembebasan atas hukuman mati, asalkan Socrates mau mencabut dan atau mau mengakui kesalahan berfikirnya. Socrates memperjuangkan kemerdekaan berfikir, yang menurut Socrates demi hari depan bangsa dan negara Yunani yang bermartabat dalam peradaban umat manusia, peradaban berfikir.

Apa jawaban Socrates? Dirinya memilih menjalani hukaman mati dengan cara meminum racun yang telah dibuat dan atau disediakan oleh penguasa. Socrates meyakini bahwa pikiran yang diucapkannya adalah benar, dan sangat yakin dengan kebenaran sebagai prinsip hidupnya. Partanyaan akhirnya, apakah dengan matinya Socrates akan mati atau lenyap pemikirannya. Tidak! Pikiran filsuf Socrates tetap hidup, tidak hanya di negerinya sendiri. Pikiran dan pemikiran Socrates menjadi literature akademik, menjadi literasi umat manusia yang beradab dan bermoral-kaum intelektual publik akademik.

Para pemikir kemanuasiaan dan atau pemikir peradaban umat manusia, meski telah dibunuh, pemikirannya akan tetap hidup, mengembara dan berkelana mengisi ruang hampa umat manusia yang masih punya logika dan akal waras, dan mengembara di kampus-kampus akademik.

Silsuf Socrates dihukum mati dengan minum racun di Kota Athena, 13 Febrari 399 SM. Socrates dianggap meracuni pemikiran kaum muda dan tak hormat dengan penguasa. Bagi Palto dan Aristoteles, Socrates adalah guru berfikir yang tak pernah dilupakannya dan sangat mempengaruhi keduanya sebagai filsuf terkemuka sepanjang zaman-peradaban umat manusa, karena nyaris disemua literatur akademik,  para filsuf tersebut selalu dipakai sebagai basis dasar kerangka berfikir intelektual akademik dalam berbagai disiplin keilmuan; tata negara, politik, ekonomi, sosial, teologi, etika, humaniora, seni-kebudayaan dan lain-lainnya.

 

Atas Nama Adab-Etika Ketimuran

Jika mereka mendalilkannya dengan menyoal etika Ketimuran, adab, keadaban dan keberadaban, pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu oleh mereka adalah, mau kemana kiblatnya dan atau yang mau dijadikan kiblat sebagai dalil rujukan ke negara mana, dan standarnya apa?

Apa yang dimaksud dan atau yang dikatakan dengan (adab) Ketimuran itu? Apakah yang dimaksud dengan Timur (Ketimuran) itu adalah etika, adab. Keadaban dan keberadaban atau  moral(itas) yang hidup di negara-negara Asia dan Afrika?

Ataukah yang dimaksud dengan di luar adab, etika Ketimuran adalah negara-negara Barat, yaitu, etika, adab, keadaban dan keberadaban, dan moral yang hidup di negara-negara Amerika dan Eropa? Mereka harus menjelaskan dulu soal itu. Jangan memainkan retorika dan narasi yang abu-abu dan atau absurd.

Rujukan kiblatnya juga harus jelas dulu dan harus terukur. Jika itu sudah bisa dijawab dan dijelaskan oleh mereka, dan bisa diterima logika dan akal waras, pertanyaan berikutnya, lagi-lagi soal Ketimuran, mau ke negara mana kiblatnya?

Negara-negara Asia dan Afrika dalam sistem kenegaraannya ada yang berhaluan, berideologi  Komunis, Sosialis-Demokrat, Kerajaan (Monarki), Demokrasi, dan ada juga yang Negara Agama. Harus dijelaskan dan diperjelas, bukan dinarasikan tanpa deskripsi yang konkret, supaya tidak bermain-main dalam kekelabuan narasi yang absurd.

Jika kita paham dengan budaya, kebudayaan dan atau peradaban, dalam hal adab, keadaban dan keberadaban dan moral, baik di negara  Asia maupun Afrika, tentu berbeda-beda, dan tidak bisa diberlakukan sama, apalagi ada heterogenitas yang menyangkut persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan antargolongan) di setiap negara.

Dalam persoalan kesukuan, ada soal bahasa dengan dialek dan intonasi yang berbeda, dan ada persoalan adat istiadat setempat, yang disebut dengan kearifan lokal. Di masing- masing negara, pastilah juga berbeda, tidak selalu sama. Apakah itu semua harus dipersoalkan? Itu namanya tak waras, kegilaan yang gila.

Hal itu juga, meng-ada di nusantara, negeri kita sendiri, punya kearifan lokal yang (bisa) berbeda, kadang punya cara pandang yang berbeda yang berangkat dari tradisi atau kulturalnya yang menjadi kontruks sosial dalam adab, keadaban dan keberadaban dan moral di setiap SARA.

Ada banyak perbedaan, tapi yang berbeda-beda itu disatukan dengan simbol dan atau lambang negara; Satu bendera; Merah- Putih. Satu lagu kebangsaan; Indonesia Raya. Satu bahasa’ Bahasa Indonesia, dan dengan satu lambang negara; Burung Garuda lengkap dengan semboyannya; Bhineka Tunggal Ika.

Meski begitu, dialek, intonasi dan ekspresinya dalam bertutur kata sangat dipengaruhi oleh peradaban lokalnya sebagai identitasnya. Tetapi, bukan sebagai politik identitas sektarian.

Begitu juga halnya dengan Amerika dan Eropa, bisa berbeda pandangannya terhadap apa itu etika, adab, keadaban, keberadaban, moral(itas) dan agama di negaranya masing-masing, dan bahkan di suatu komunitas etnis dalam satu negara juga bisa berbeda, dengan kata lain, kearifan lokal benar-benar lokalitas dalam suatu negara.

Bahkan, suatu komunitas-etnis yang hidup di suatu daerah masing-masing dan berada dalam suatu negara, apakah itu di negara-negara Asia dan Afrika maupun di Amerika dan Eropa, mau menstandarisasinya pakai apa dan bagaimana? Bukan kemudian kepentingan perut kekuasaan yang dipakai menstandarisasi adab, etika, keadaban, keberadadan, moral(itas) dan agama.

Untuk itu, apakah suadara-saudara kita yang berada di (pedalaman) Papua yang masih pakai koteka dan atau belum perpakaian seperti halnya kita. Lantas dikatakan tidak beradab, tidak punya keadaban dan keberadaban?

Begitu juga kehidupan perempuan suku Samboklo di Mentawai masih telanjang dada. Lantas kita katakan tidak beradab, tidak punya keadaban dan keberadaban, bahkan lebih sadis dikatakan tidak bermoral?

Tentu tidak! Jika itu yang kita katakan, maka kitalah yang tidak beradab, tidak bermoral. Mereka hidup dalam moralitas kearifan lokal, hidup dalam keadaban dan keberadaban sebagaimana peradaban mereka dalam agama dan keyakinannya.

Sama halnya dengan suku pedalaman di Arizona-Amazon-Amerika, laki, perempuan, tua muda dan anak-anak, semua masih telanjang bulat. Kemaluannya pun tak sehelai daun pun menutupinya. Hidup nomaden. Lantas, kita katakana tidak beradab, tidak bermoral dan seterusnya? Tentu tidak! Kita yang punya logika dan akal waras, tidak akan mengatakan seperti itu, karena kita paham dan mengerti bagaimana peradaban umat manusia.

Di Afrika, konkretnya, di suku Zulu, suku Pygmy juga masih telanjang dada, dan hanya kemaluannya saja yang ditutupi.  Contoh konkret lainnya adalah Local African Tribal Women, Perform Tradsional Dance, tarian yang terkenal di dunia, penari perempuan, payudaranya terlihat dengan kasat mata, terbuka. Lantas, kita katakan tidak bermoral, tidak beradab, tidak punya keadaban dan keberadaban? Tentu tidak! Mereka tetap beradab menurut peradaban mereka. Mereka tidak melanggar norma atau moral atas dasar agama dan keyakinannya.

Yang menyoal adab, etika, moral, keadaban dan keberadaban dan agama dalam suatu peradaban umat manusia, jika seperti itu, jelaslah yang mengatakan itu semua karena tidak mempunyai khazanah budaya, kebudayaan dan peradaban yang cukup untuk menakar dan atau menilai hal yang disoal, yang kemudian dijadikan sebagai apologi yang dikedepankannya, sehingga hanya sebuah klaim tanpa bisa menjelaskan apa standarnya dan negara mana yang mau kita teladani atau yang dijadikan kiblat penilaian tersebut?

Begitu juga, jika kita mau pakai standarisasi atau penilaian atas dasar SARA yang hidup di negeri ini, yang mau kita contohkan dan atau yang mau kita kiblat yang mana, tanpa kecuali dengan hal kearifan lokal masing-masing. Moral dan agama jangan dijadikan mainan atau permainan dalam kekuasaan. Jika seperti itu, stanting namanya sebagai bangsa dan negara. ***

(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles