Kamis, November 14, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan Tolol dan Pengecut)

Bagian 3 dari 5 Tulisan

Negeri negeri yang binasa dan yang dibinasakan deru angin dan gelombang samodra adalah negeri negeri bajingan tolol dan pengecut. oleh sebab politik telah menjadi panglima dan kekuasaan telah menjadi tuhannya. sedangkan air mata  menggenang di mana-mana dan menenggelamkan nestapa.

Iqro iqro iqro atas negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. tidakkah itu sebagai  pelajaran dan penuntun  bagi kita. bukankah langit begitu terang memberi kabar dan berita. awan berarak hitam pekat dan daun-daun berguguran sebelum musim tiba.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kita hanya diajari pertengakaran perut bukan pertengkaran pemikiran. kita tidak pernah diajari berdebat menyoal argumementasi kecuali hanya diajarkan bagaimana memainkan kekuasaan. kita hanya diajari menjadi pemuja dan penghamba kekuasaan dan bagaimana merepresi bukan menjadi kompas kehidupan. sungai sungai tak lagi bisa untuk berkaca. airnya coklat penuh sampah.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kecoa kecoa, tikus tikus dan lalat alat berkerumum di darah babi. para pedebah membarikade kefir’aunan. kritik adalah ancaman, hinaan dan kebencian baginya. sumbu sumbu kekuasaan setiap saat bisa memproduksi, memobilisasi dan merekayasa kebohongan, ujaran kebencian, keonaran dan kegaduhan untuk membungkam mulut mulut kegelisahan. membelenggu kalbu kalbu yang berteriak demi masa di ‘arasmu.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. sebab umar bin khottob tak ada di sana sehingga matahari tak lagi menyala. cahaya tenggelam dan tertimbun bayangan runtuhnya singgasana. langit makin gelap. cahaya menepi dalam senyap. sejarah dan waktu yang akan bicara dan kebenaran  akan memilih jalannya sendiri. tegak lurus pada matahari  dan sunyi senyap akan memancarkan cahaya dalam kebisingan yang menulikan pendengaran dan penglihatan yang gerhana.

Singaraja, 8.8.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Puisi: Negeri Negeri Bajingan Tolol dan Pengecut)

 

Atas Nama Moral-Pancasila

Jika Pancasila kita sepakati sebagai doktrin kebenaran akan adab, etika, moralitas, keadaban dan keberadaban Ketimuran, yang kemudian untuk mendalilkan bahwa kata-kata RG itu tidak sesuai, dan hanya kata-kata mereka yang sesuai dengan Pancasila. Apa standarnya? Apa alat ukurnya, sehingga subyektivitas itu bisa diobyektifkan? Yang (sangat) subyektif  harus dijadikan hal yang obyektif untuk landasan argumentasinya. Bukankah hal yang obyekyif seringkali tersungkur menjadi hal yang subyektif lantaran relasi kuasa?

Itu semua, karena dalam mempersoalkan dan atau mempermasalahkan yang disoal tersebut sesungguhnya berada di balik tempurung politis dalam arena relasi kuasa, yang hanya sekedar berputar-putar berapologi dan mencari alibi kegaduhan, keonaran, ujaran kebencian, permusuhan dan berita hoaks yang dinarasikan dalam ruang publik.

Padahal targetnya sangat gamblang, jelas dan konkret adalah hanya untuk bagaimana bisa memejarakan RG. Bagaimana hukum bisa dimainkan kekuasaan untuk bisa mempidanakan RG dan atau hanya untuk sekedar membungkam dan memborgol pikiran-pikiran kritis yang masih punya logika dan akal waras ketika mengkritik, mengokreksi atas kebijakan yang sakit dan atau yang akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Lantaran kita bukan bagian dari mereka; para pemuja kekuasaan dan para penghamba kekuasaan. Lantaran kita bukan bagian dari relasi kuasa.

Akhirnya, pernyataan tegas mereka (BR dkk) yang mengatakan RG harus bisa dipenjarakan, tak bisa terbantahkan lagi faktanya, karena hal tersebut mengafirmasi kebenaran menjadi keniscayaan pada sikap dan tindakan mereka. Konkret benar pernyataan mereka, katanya, sangat sulit untuk bisa membidik RG.

Pada fakta lainnya, sungguh masih sangat banyak yang menafsirkan dan memaknai kritik sebagai kebencian. Kritik dimaknai hanya mencari-cari kesalahan saja. Apologinya adalah setiap manusia tidak ada yang sempurna, pasti punya kesalahan, jika dicari-cari kesalahannya, ya pasti ada.

Benar adanya, manusia itu tidak ada yang sempurna. Kritik justru diperlukan untuk menuju kedekatan pada kesempurnaan dalam hal kebijakan yang tidak sempurna tersebut, karena akan berimplikasi pada takdir sosial bangsa dan negara. Bukan kemudian argumetasinya memutar-balikan logika. Logika tidak bisa diputar-balikan, sekalipun ada ada banyak yang logikanya berantakan, yang disebut  orang sekolah yang tidak menjadi sekolahan.

Sesungguhnya, kritik harus dimaknai sebagai suatu koreksi atas kebijakan yang bolong-bolong, abu-abu, bobrok dan seterusnya. Kebijakan yang tidak berpihak untuk kepentingan bangsa dan negara (rakyat), sebagaimana amanat konstitusi, dan hal itu membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Kritik kadang menjadi keharusan dengan kata-kata yang sarkastik atau sinistik karena kata-kata yang santun sudah menjadi bebal. Kritik sebagai pil pahit jika ditelan mentah-mentah, karena ketidakmampuan berkontemplasi menelan pil pahit yang dirasakannya.

Kritik menjadi kewajiban moralitas, ketika Presiden dan atau para pembuat kebijakan publik tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan otokritik, karena kekuasaan cenderung untuk koruptif dan atau menjadi sewenang-wenang. Kritik menjadi kewajiban moralitas, ketika di sekeliling kekuasaan tidak ada lagi yang namanya Umar bin Khottob. Ketika kekuasaan sudah menulikan pendengaran dan menggerhanakan matanya.

Atas fakta sosiologi kekuasaan dan politik, yang menjadi realitas empirik sebagai fakta konkret itulah, kritik itu lahir dan harus dilahirkan oleh masyarakat madani (civil society) sebagai wujud dan maujud pemegang kedaulatan yang tertinggi atas bangsa dan negara.

Civil society-kaum intelektual publik akademik berkewajiban secara moral dan moralitas agama untuk melakukan kritik atas kebijakan yang sakit dan atau sewenang-wenang, karena Presiden dan atau pejabat publik kemaksumannya tidak terjaga seperti halnya Nabi atau Rosul. Presiden dan atau pejabat publik bukanlah Malaikat. Untuk itu, kritik menjadi kewabijan moralitas kita semua.

Itu semua, jika rezim penguasa sudah menulikan pendengarannya dan telah menggerhanakan matanya. Di antara kita (civil society) harus ada yang berani melakukan kritik atas kekuasaan yang bobrok, sebagaimana Tuhan sendiri yang mengatakan, harus ada yang menyeru kepada kebenaran-kebijakan.

Kritik yang dilontarkan kaum akademisi dan atau intelektual publik akademik tidak mungkin akan menyesatkan kebijakan. Tidak  mungkin akan menyesatkan masa depan bangsa dan negara. Kecurigaan atas kritik, bukankah itu sebagai ketololan-kedunguan yang tertawan dalam kekuasaan.

Bukankah bangsa dan negara ini tidak binasa, karena masih ada kaum intelektual publik akademik yang meluangkan waktu dan pikirannya untuk melakuklan kritik atas kebijakan rezim pemnguasa. Tidakkah kita mau belajar dan atau mau membaca Albert Camus dalam novelnya yang mengisahkan negeri yang sangat cantik harus menjadi binasa dengan tangan-tangan Tuhan yang menebarkan wabah yang tak bisa diselamatkan dengan saintis. Itu semua, kerena matinya moralitas di negeri itu.

Membaca dan melakukan pembacaan atas yang terjadi situasi dan kondisi sosial sekarang ini, sesungguhnya yang terjadi adalah bagaimana mengaduhkan dan mengonarkannya, supaya menjadi resonansi kegaduhan dan keonaran yang menghasilkan resultantenya positif yang bisa dimainkan dalam  arena relasi kuasa untuk memenuhi unsur pendelikkan dan atau pemidanaan.

Tentu, dengan target tertentu pula, dan atas kepentingan relasi kuasa dan atau relasi kuasa politik kekuasaan. itu semua harus bisa dioperasikan dengan banyak cara dan model, bisa serentak, bisa juga bergelombang sesuai dengan target-terget konkretnya yang mau dimainkan.

Hal tersebut, semua itu bisa kita dipetakan dengan analisis  Ignas Kalpokas dalam membaca dan atau melakukan pembacaan atas teks dan konteks dalam post-truth atau bisa diurai dengan metodologi semiotika atas dalil-dalil kebenaran atas kegaduhan dan keonaran yang terjadi di mana-mana tersebut.

Ataukah semua itu merupakan penggaduhan dan pengonaran yang bisa setiap saat diproduksi, bisa dimobilisasi dan bisa direkaya setiap saat oleh kekuasaan dan atau  relasi kuasa untuk mecapai target-target yang ditentukan.

Untuk itu, jika kita bandingkan kata-kata yang dilontarkan RG dengan apa yang mereka lontarkan, yang bertubi-tubi dikatakannya pada setiap acara dialog televisi, manakah yang lebih tidak Pancasilais, apakah kata-kata kritik RG ataukah kata-kata mereka, dan siapa yang lebih rendah value-nya?

Bisakah kita menjawabnya dengan jujur, dan masih punyakah kita kejujuran, bukan atas dasar  kesentimenan yang dirantai oleh relasi kuasa sebagai pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan.

Untuk itu, bagaimana pula jika dasar pijaknya KBBI, dan apakah kata-kata tersebut juga merupakan bentuk ‘kekerasan verval’ yang memanipulatif sebagai etika dan atau keadaban dan keberadaban dalam sonpan santun, unggah ungguh atau tatakrama dalam bertutur kata.

 

Atas Nama Moral(itas)-Agama

Contoh konkret tersebut sebagai pembacaan kita, karena itu merupakan realitas empirik sebagai sebuah fakta soal adab, etika, keadaban dan keberadadaban, moral dan agama baik yang hidup di Nusantara maupun di belahan dunia sana. Jika hal tersebut dinilai tidak bermoral atau tidak beradab, tentu itu merupakan suatu penghinaan terhadap peradaban mereka, menghina kearifan lokal yang hidup di suatu daerah atau negara.

Tidak bisa moralitas universal diterapkan untuk mendudukkan nilai adab, moral dalam peradaban umat manusia yang beragam dalam suatu daerah, negara, kecuali jika kita menggunakan kaca mata nilai moral(itas) agama.

Jika itu yang mau dipakai mereka, pertanyaannya adalah agama mana yang mau dipakai sebagai standarisasi dan atau sebagai rujukan mereka (BR, RIB/RJ, ANM, M, DT dkk)?

Dalam pandangan moralitas agama juga berbeda-beda. Bahkan dalam satu agama (yang seiman dalam beragama) pun bisa berbeda dalam menafsirkan dan memaknainya. Kita tidak bisa menilai adab, keadaban, keberadaban dan  moralitas agama yang kita anut (Islam) untuk menilai adab, keadaban, keberadaban dan moralitas penganut agama lain. Belum lagi, yang di luar agama Samawi, masih hidup puluhan agama dan keyakinan-keyakinan  lainnya yang beraneka-ragam.

Begitu juga terhadap tutur kata yang kita anggap tidak sopan, di luar adab, etika dan moral  tidak bisa untuk menggeneralisir semua ras, suku, agama dan antargolongan (SARA) dan atau untuk suatu komunitas-etnis tertentu yang hidup di suatu daerah, negara, dalam bernegara dan berbangsa, termasuk yang berada di Nusantara.

Ada banyak kata, diksi yang dianggap sangat sarkastik, sangat sinistik yang kemudian dibebani moralitas di suatu daerah, belum tentu hal tersebut berlaku di daerah lainnya dan atau pada komunitas lainnya. Di sini kita harus melek situasi dan kondisi.

Ada banyak kata yang dianggap santun dan penuh anggah ungguh di daerahnya, tetapi diucapkan dengan logat dan intonasi yang berbeda, bisa dianggap dan atau bisa menjadi sangat tidak sopan, apalagi yang mengucapkan kata-kata tersebut dengan intonasi yang seolah-olah marah, intonasinya meninggi seperti halnya saudara-saudara kita yang dari luar daerah Jawa.

Tetapi, apakah kita harus tersinggung dan memidanakannya? Betapa sungguh tolol dan stantingnya kemudian harus memidanakannya. Nukankah jika begitu adalah atas dasar sentiment, kedengkian dan egoisitas  feodalitisme?

Contoh konkretnya adalah kata ‘kau’, ‘kirik-asu-anjing’, ‘lu’, ‘pukimak’. Kata itu di suatu daerah tertentu meski diucapkan berhadap-hadapan baik dalam obrolan biasa maupun dalam perdebatan, tetap bisa dianggap santun dan bukan sebagai penghinaan.

Sebaliknya, di suatu daerah atau komunitas tertentu bisa dianggap (sangat) tidak sopan. Itu sebab kita menganut anggah ungguh dalam bertutur kata yang kesantunannya bertingkat (ngoko. Kromo, kromo inggil), bisa menjadi dan atau merupakan penghinaan, karena dianggap sangat sarkastik, sinistik apalagi dengan intonasi (logat) seperti terkesan marah-meninggi, jika kata-kata tersebut diucapkan berhadap-hadapan apalagi dalam berdebat.

Akan tetapi, yang punya anggah ungguh dalam bertutur katapun tidak akan mempersoalkannya apalagi memidanakannya, karena paham betul soal-soal pluralisme dalam kultur dan konstruk sosial yang ada.

Lantas, itu semua mau kita pidanakan yang mengucapkan kata-kata tersebut? Jika seperti itu, karena kecekakan khazanah budaya, kebudayaan dan peradaban. Dilain pihak, karena adanya kearogansian arena relasi kuasa yang memperuncing persoalan kata tersebut.

Dalam pandangan moralitas agama itu sendiri juga tidak bisa kebenaran agama yang kita anut atau yang kita haqul-yakini kebenarannya untuk menakar dan atau menilai kebenaran agama lain. Tuhan (Islam) dengan tegas mengtatakan: Lakum Dainukum Waliadin.

Agamamu adalah agamamu dan adalah urusanmu. Agamaku adalah agamaku dan adalah urusanku. Kebenaran agamamu adalah kebenaranmu dalam urusan agamamu. Kebenaran agamuku adalah kebenaranku dalam urusan agamaku; soal adab, etika, moral, keadaban, keberadaban, yang hak dan yang bathil, dan yang haram dan yang halal.

Ayat-ayat Tuhan itu sendiri acapkali menjadi sangat multi tafsir pada akhirnya dalam tradisi dan budaya madzhab. Ada yang mengatakan tafsir madzahbnyalah yang paling benar, dan yang bisa menyelamatkan kelak di akherat nanti, yaumil akhir.

Ada tradisi atau budaya penganut agama (Islam) yang tidak boleh membongkar madzhab. Tentu, itu karena dokrin madzhaber, sehingga dalam pandangan yang ekstrim dikatakan, para pendahulu, penulis madzhab dianggap dan atau seolah-olah lebih suci ketimbang Nabi dan Rosulnya seolah-olah punya kemaksuman yang terjaga seperti yang dimiliki Nabi dan atau Rosul. Begitulah agama dan keberagamaan yang meng-ada dan mengemuka.

Kebenaran menafsirkan dan memaknai ayat-ayat Tuhan sendiri pada akhirnya menjadi nafsi-nafsi kebenarannya.  Para Ulama sendiri bisa beda mendapat yang kadang sangat jauh dalam satu perkara. Bahkan, ada tiga pendapat Ulama yang berbeda dalam satu hal masalah-perkara umat.

Begitu juga dengan persoalan hadits. Empat madzhab terbesar (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi) di dunia Islam, juga kadang berbeda pendapat dalam menafsirkan dan memaknai ucapan Rosulullah (Hadits). Lantas mana yang benar? Lantas mau dipidanakan yang dianggap tidak benar? Betapa dungunya kita jika begitu. Itu namanya mencari pertumbahan darah.

Mana yang mau kita anut pendapatnya agar kita tidak blangsak dalam kebenaran, tidak tersesat. Semua itu tidak terjawab, sehingga akhirnya menjadi nafsi-nafsi, apalagi soal adab, etika Ketimuran dan moral(itas) yang bisa relatif, dan subyektif tafsir dan maknanya, karena amat sangat bergantung pada bagaimana seseorang punya logika, akal waras dan kejujuran yang dimiliknya.

Oleh karenanya, untuk memahami dan memaknai kebenaran  tersebut, amat sangat tergantung pada kecerdasan dan kejujuran, dengan perkataan lain, untuk sampai pada kebenaran itu, kita harus mempunyai kecerdasan dan kejujuran, supaya tidak terombang-ambing, terutama kebenaran atas dokrin dan kebenaran atas tafsir rezim penguasa.

Adab, etika, keadaban dan keberadaban, hanyalah sebatas kesepakatan yang relatif dan temporeristik dalam keheterogenan atau kepluralismean atas dasar SARA, sehingga tidak bisa dijadikan hukum positif untuk memidanakan seseorang jika dianggap telah melanggarnya.

Jika kita tinggal di suatu daerah-suku tertentu, yang masih menganut hukum adat, bisa jadi ketika kita dinyatakan melanggar adat istiadat setempat akan menerima sanksi sosial-hukuman yang akan diputuskan oleh Ketua-Pimpinan Adat setempat. Tetapi, bagaimana mungkin jika kita mau menerapkan hukum adat pada seseorang yang tinggal di pusaran peradaban metropolitan, seperti halnya RG. Jika maunya begitu, sudah gilakah? Sudah dungukah kita?

Hukum moralitas adalah hak individual, yang sanksi moralitasnya adalah  sanksi sosial bagi penganutnya. Seperti apa sanksi sosialnya, bisa dibaca pada artikel: Rocky Gerung Dilarang Berbicara Seumur Hidup (Studi Kasus Gugatan Perdata Advokat David Tobing di PN. Jaksel Atas RG).

Immanuel Kant dalam imperative etics mengatakan, moralitas adalah keyakinan dan sikap bathin, bukan penyesuaian dengan peraturan dari luar, entah itu agama, negara, birokrasi, adat-istiadat dan seterusnya. Moralitas tidak sama dengan legalitas. Pemaksaan sikap moral justru memperkosa martabat manusia.

Paul-Michel Foucault (Filsuf Perancis, kelahiran 15/10/1926) mengatakan dalam pandangan moralnya, bahwa apa yang disebut dan atau dianggap moral atau bermoral, harus ditempatkan pada suatu tempat tertentu. Pandangan tentang moral yang sama, tidak bisa dipakai untuk suatu tempat lain. Moralitas berlaku lokalitas. Meski, Foucault tidak menafikkan moralitas universal, tetapi tidak bisa dipaksakan untuk berlaku umum apalagi harus dipidanakan.

Korupsi adalah wilayah moral publik. Korupsi merupakan persoalan moralitas universal. Bukankah korupsi yang kini sangat masif, terstruktur dan sistemik itu sangat jahanam,  jauh lebih jahanam ketimbang kata-kata yang dilontarkan RG?

Bukankah KKN yang masif, terstruktur dan sistemik jauh lebih tidak bermoral, jauh lebih tidak beradab daripada kata-kata yang lontarkan RG?  Sebab, tidak saja merusak Pancasila, demokrasi dan HAM, tetapi juga mencabik-cabik agama. Mengapa mereka tidak melaporkannya dan atau memidanakannya. Mengapa mereka tidak mengutuknya sebagai bangsa yang beradab dan bermoral? ***

(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

 

 

 

 

 

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles