Oleh Masud HMN
Topik pembicaraan koalisi atau kesepakatan calon gubernur Jakarta dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan datang banyak pendapat. Antara partai-partai saling merapat mencari calon yang disepakati. Masih proses antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Menarik memang dinamika proses kesepakatan dari partai-partai tersebut. Sebab bisa saja calon berasal dari kalangan yang berbeda. Koalisi pada pemilihan presiden, berlainan dari calon koalisi pemilihan gubernur.
PDIP bisa berlawanan pada pemilihan presiden dengan PKS tetapi bersatu dalam koalisi pilkada Jakarta. Karena kepentingan Jakarta dan program nasional dalam pemilihan presiden berbeda.
Air dan minyak sama tapi berbeda. Jelas memadukan satu sama lain sulit.
Seperti minyak dan air, sukar bersatu. Ungkapan tersebut gambaran dari sulitnya berkoalisi. “Itu bisa saja terjadi dan mungkin. Coba dalam adukan Supermie, ada air ada minyaknya enak rasanya,” mengutip tokoh PDIP Panda Nababan (Total Politik, Tempo, 18 Juni 2024).
Dalam pandangan Panda Nababan adukan minyak dan air dalam adukan Supermie adalah satu contoh, yang berbeda bisa bersatu. Bermanfaat adanya.
Pertanyaannya dapatkah terjadi koalisi PKS dengan PDIP? Jawabannya dapat saja terjadi. Tidaklah mustahil dan mari kita tunggu saja dalam waktu yang akan datang.
Argumen yang mendukung adalah kesamaan pandangan menghadapi Presiden Jokowi. Antara dua sejawat ini PKS dan PDIP pandangan sama melawan terhadap Presiden Jokowi.
Alasan lainnya karena dua-duanya sama partai kalah. Meski secara ideologis antara keduanya berbeda. Satu berideologi kebangsaan (nasionalis) dan satu berideologi agama (Islam). Bersatunya ideologi kebangsaan dan agama.
Secara lebih kongrit, partai Nasdem dan PKS serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) makin merapat untuk calon Anies Baswedan. Tinggal PDIP mendukung siapa calon gubernur Jakarta. Kita menunggu calon gubernur dan wakil gubernur yang disepakati bersama.
Bagi kita tidaklah ada masalah kalau ideologi berbeda. Mungkin kini sejarah bersatunya ideologi agama dan kebangsaan. Dulu kita kenal dalam istilah kebangsaan religius berpadunya antara faham nasionalis dengan kaum agama.
Agaknya ini bukan satu yang utopia atau khayalan. Malah sesuatu yang bermanfaat bangsa. Mengapa tidak. Bukankah ada ungkapan ikan di laut asam di gunung dalam belanga ketemu jua.
Sekarang mari kita renungkan prasa atau ungkapan ini. Untuk saling merapat dan sepakat bertujuan demi bangsa dan negara. Semoga!
Jakarta, 20 Juni 2024
*) Penulis adalah Doktor Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta