Subang, Demokratis
Pertunjukan kolaborasi seni budaya sisingaan yang dipadukan dengan seni barongsai yang disajikan oleh pengelola objek wisata air panas Sari Ater semarakan Tahun Baru Imlek 2574/2023, Minggu (22/1/2023)
Dalam kesempatan tersebut, selain menampilkan atraksi kolaborasi sisingaan dengan barongsai, juga memberikan kesempatan kepada para pengunjung untuk berswafoto dan naik sisingaan.
Selain menikmati pertunjukan sisingaan dan barongsai para pengunjung juga terpantau banyak warga yang berendam air panas dan menikmati libur tahun baru Imlek 2574/2023.
Public Relation Sari Ater Hot Spring, Iwan Herdiawan mengatakan, kolaborasi dan akulturasi dua kebudayaan berbeda ini sengaja disajikan untuk memeriahkan perayaan Imlek 2574/2023.
“Menggelar aksi pertunjukan sisingaan dengan barongsai, ini rutin dilaksanakan setiap tahun untuk menghibur pengunjung Sariater di liburan tahun baru Imlek, sekaligus juga untuk melestarikan kebudayaan,” ujarnya.
“Semua pengunjung sangat antusias menyaksikan pertunjukan sisingaan kesenian budaya Sunda dan barongsai budaya Tionghoa, dengan ini atraksi barongsai dan sisingaan ini akan terus kami gelar setiap perayaan Imlek,” imbuhnya.
“Semoga Tahun Kelinci ini membawa keberuntungan, kesejahteraan, dan kebahagiaan serta keselamatan bagi kita semua,” ucapnya.
Pimpinan kru Barongsai Ardiansyah (25) asal Bandung mengaku merasa bangga ketika menampilkan barongsai dan naganya bisa dipadukan dengan kesenian sisingaan yang merupakan budaya pribumi. Apalagi selama dirinya manggung baru kali ini di tempat wisata pemandian air panas Sari Ater bisa kolaborasi, sementara di tempat lain belum pernah.
Menurut dia kesenian Barongsai ini sudah masuk dan diakui menjadi cabang olahraga, sehingga pengembangannya pihak pemerintah bisa dilibatkan, agar lebih pesat.
Tak hanya itu, masih kata Ardiansyah, kesenian Barongsai yang dipimpinnya bisa melayani masyarakat umum ketika bila menggelar hajatan keluarga, tentunya dengan tarif terjangkau.
Selain menikmati pertunjukan sisingaan dan barongsai para pengunjung juga terpantau banyak warga yang berendam air panas dan menikmati libur tahun baru Imlek 2574/2023.
Tahun Baru Cina yang disebut sebagai Hari Raya Imlek memiliki makna tersendiri bagi warga Tionghoa. Perayaan ini diisi oleh berbagai acara dan ritual, seperti membersihkan rumah, memberikan angpao, hingga menggunakan atribut serba merah.
Konon pertunjukan Barongsai ketika Imlek merupakan tradisi untuk mengusir bala dan aura bersifat negatif pada saat tahun baru.
Dilansir dari Tempo.co, penetapan Imlek sebagai hari Libur Nasional di Indonesia memiliki kisah yang panjang dan tidak terlepas dari liku-liku perjuangan etnis Tionghoa dan para pegiat untuk menjaga eksistensinya. 22 tahun lalu Presiden RI Abdurahman Wahid atau Gus Dur akhirnya menetapkan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional.
Penetapan Imlek sebagai salah satu hari libur di Indonesia berlangsung pada saat Pemerintahan Presiden Gus Dur, tepatnya pada 9 April 2001. Hal ini merupakan sebuah keputusan revolusioner mengingat di era pemerintahan sebelumnya, yakni masa Orde Baru, perayaan Imlek di tempat-tempat umum dilarang.
Selama lebih dari 30 tahun, yakni 1968-1999, umat Konghucu Indonesia melaksanakan perayaan Tahun Baru Cina tidak secara terbuka. Ketetapan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Merespons hal tersebut, Presiden Gus Dur kemudian mencabut Inpres tersebut, dan mengeluarkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Keppres tersebut menjadi pintu awal umat Konghucu di Indonesia bisa memeroleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.
Kemudian Gus Dur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya, berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada 2003, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, keputusan ini ditindaklanjuti dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Karena kebijakan Gus Dur tersebut, pada 10 Maret 2004, Gus Dur memeroleh julukan sebagai Bapak Tionghoa. Predikat ini diberikan oleh masyarakat Tionghoa di Semarang pada saat perayaan hari Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie. (Abdulah)