Selasa, September 16, 2025

Koperasi Desa Merah Putih Hanya Akan Berumah di Atas Angin?

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

 (Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.) 

Presiden Prabowo Subianto, Senin, 21/7/2025 secara  nasional melalui daring meresmikan pembukaan Koperasi Desa  Merah Putih (KDMP) sebanyak 80.081 KDMP dan KLMP (Koperasi Kelurahan Merah Putih), semula programnya sebanyak 80.000 KDMP/KLMPse-Nusantara dengan anggaran-total modal kerja sebesar Rp 400 trilitun; Rp 5 milyar/KDMP/KLMP.

Presiden juga menegaskan, bahwa modal KDMP adalah dari pinjaman bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Modal dasar akan diberikan pinjaman bank sebesar Rp 5 milyar/KDMP/KLMP untuk memutar roda kegiatan usaha KDMP/KLMP.

Peresmian secara nasional dengan daring  tersebut disambut gegap gempita oleh seluruh jajaran Pemerintah Daerah hingga Kepala Desa di tingkat bawah sebagai pelaksana gagasan dan atau narasi besar Presiden tersebut sebagai dewa penyelamat perekonomian desa, dan bisa memompa pertumbuhan ekonomi desa dan atau sebagai tulang punggung perekonomian warga desa.

Bahkan tidak hanya itu, dikatakan pula sebagai pemberdayaan dan keberdayaan ekonomi warga desa, dan sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi pedasaan-warga desa. Akankah menjadi fakta konkret, tidak sekedar mimpi di siang bolong, menggantang matahari.

 

Regulasi KDMP/KLMP

Dasar pijak regulasi KDMP/KLMP, yaitu  UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN Tahun 2025-2045. Surat Keputusan Satuan Tugas Kementrian Koperasi Desa. PP No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN tahun 2025-2029. Surat Edaran Menteri Koperasi. Surat Edaran Menteri Desa dan PDT. Petunjuk Pelaksanaan Menteri Koperasi.

 

Kesiapan Daerah-Desa Soal KDMP?

Regulasi turunannya di tingkat daerah, yaitu Perda (Peraturan Daerah) tentang KDMP/KLMP, belum terdengar. Pemerintah Daerah bersama DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) belum menyentuh soal tersebut, meski juga gegap gempita gayung bersambut gbergembira ria, apalagi di tingkat desa dengan Perdesnya tentang KDMP tersebut.

Yang terdengar, gegap gempitanya waraga desa, “semua” ingin menjadi Ketua atau Pengurus dan atau Pengawas, yang konon gaji menjanjikan untuk bisa hidup layak keluarga jika tinggal di desa. Fakta yang konkret adalah kesempatan kerja yang tertutup dan sulit di daerah kerena kolusi dan nepotisme. Fakta konkret lainnya adalah  adanya  gelombang PHK yang besar-besaran dalam kondisi perekonian dalam ketidakpastian, untuk tidak sampai secara ekstrim dikatakan ada tanda-tanda menjadi “Negara Gagal.”.

KDMP, terkesan mau menjadi ajang bancakan seperti halnya bansos-BLT atau apapun namanya, yang penting itu dana tak bertuan. Tak peduli mau dikatakan sebagai potret bobrok-buruk mentalitas masyarakat.

Kita tidak tahu, apakah pada tingkat regulasi daerah atau Perda dan Perdes akan berpijak pada UU Perkoperasian atau mengikuti regulasi BUMDes. Regulasi turunannya harus jelas dan tegas, jika tidak ingin mengulang keberadaan BUMDes yang berumah di atas angin, karena tumpang tindih, kacau balau dan ngawur.

Berbeda dengan PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, bisa dikatakan cukup jelas, meski, dalam tahap pelaksanaannya kacau balau dan ngawur, sehingga hak-hak pemegang saham sama sekali dinafikkan keberadaannya. Semua berada di tangan KPM (Kuasa Pemilik Modal) dalam hal ini adalah Kepala Daerah.

BUMD juga kacau balau, karena Kepala Daerah bermental kuasa bandar, sehingga mulai dari tahapan rekruitmen hingga kegiatan usahanya menjadi sarang penyamun, koruptif-KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tak terelakan. Bahkan BUMD dijadikan mesin politik kekuasaan Kepala Daerah yang bermental kuasa bandar.

 

Siapa Pemilik KDMP?

Jika KDMP mengacu pada dasar pijak regulasi BUMDes, pemiliknya adalah semua warga desa. Warga desa secara otomatis sebagai pemilik, dengan kata lain, warga desa sebagai  pemegang sahamnya. Karena, modal kerjanya bersumber-berasal dari Dana Desa (DD)/Alokasi Dana Desa (ADD), yang berarti secara konstitusional adalah dana masyarakat desa, warga desa setempat.

Jika warga desa wajib menjadi anggota KDPM, lantas menarik iuran dan atau apapun namanya, yaitu menarik dana warga desa sebagai sumber dana untuk modal kerja, hal itu menabrak, melanggar aturan dan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Jika dasar pijaknya adalah UU Perkoperasian, sudah pasti, pemiliknya adalah anggota KDMP atau sebagai pemegang sahamnya adalah anggota koperasi itu sendiri alias bukan milik warga desa setempat secara keseluruhan, secara otomatis. Jadi warga desa tidak otomatis menjadi anggota. Dalam UU Perkoperasia, tidak ada unsur paksaan untuk menjadi anggota koperasi, tentu, dalam hal ini juga pada KDMP, jika dasar hukumnya koperasi.

Dalam koperasi ada yang disebut dengan tabungan; tabungan wajib, mana suka, suka rela dan iuran wajib anggota pada awal pendiriannya sebagai modal kerja usaha. Jika warga desa tersebut tidak menjadi anggota KDMP, dengan sendirinya bukan sebagai pemilik KDMP.

Sekali lagi, jika azasnya koperasi, tidak ada paksasaan warga desa untuk menjadi anggota KDMP. Jika dipaksa harus menjadi anggota KDMP, hal itu melanggar UU Perkoperasian. Jika KDMP modal kerjanya bersumber dari DD/ADD, maka pemiliknya adalah warda desa atau warfa desa sebagai pemegang saham secara otomatis.

 

Tata Kelola KDMP?

Oleh karena itu, dasar pijak sebagaimana diatur dalam ketentuan PP No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tidak bisa diberlakukan dalam tata kelola KDMP.  Begitu juga dalam hal keanggotaan dan kepengurusan KDMP, berbeda dengan kepengurusan BUMDes. Itu soalnya dan problematika akar masalahnya yang harus diurai jelas dalam regulasi yang konkret.

Belum lagi hal lainnya dalam tata kelola KDMP tentang soal aturan dan atau ketentuan masa jabatan Ketua dan atau Kepengurusannya. Dalam hal besaran gaji Ketua dan atau Pengurus, Pengawas dan gaji karyawannya. Aturan atau syarat formal admiinistratif untuk jabatan Ketua, Pengurus, Pengawas  dan Karyawan. Bagaimana sistem dan mekanisme rekruitmennya, dan bagaimana soal (harus) berkontribusi ke PADesnya, masih gelap gulita.Rupanya tidak terpikirkan dalam mimpi di siang bolong tersebut?

Jika kita mengacu pada PP No. 54 Tahun 2027 tentang BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), ketentuan yang mengatur mengenai kontribusi ke PAD-APBD adalah 55% dari Net Profit harus menyetor, kontribusi ke PADes. Itu soalnya, yang juga menjadi problem KDMP.

Belum lagi persoalan legitimasi publik atau kepercayaan publik terhadap keberadaan kepengurusnya, jika aturan mainnnya serupa dengan BUMDes. Sekali lagi, jika begitu menabrak atau melnggar UU Perkoperasian, karena Ketua dipilih oleh anggota dan dari anggota koperasii. Jadi dari anggota untuk anggota dan oleh anggota. Itu soalnya

Dalam PP No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak mengatur dan atau tidak ada ketentuan megenai seberapa besar kontribusinya ke PADes (Pendapatan Asli Desa), padahal modal kerjanya bersumber dari DD/ADD.

Kengawuran dan kekacau-balauannya. Tentu, hal tersebut, jika studi kasusnya Indramayu, tetapi tidak menutup kemungkinan, hal yang serupa terjadi di daerah lain. Begitu juga dengan Perda (Peraturan Daerah) mengenai BUMDes tidak jelas juntrungannya.

Kengawuran itu juga sebelumnya terjadi pada KUD (Koperasi Unit Desa) yang dilahirkan era rezim Oraba-Soeharto. BUMDes tidak mau belajar dari kegagalan KUD, dan KDMP rupanya juga tidak mau belajar dari kegagalan-ludesnya BUMDes. Itu soalnya.

Lantas, bagaimana dengan keberadaan KDMP jika modal kerjanya berasal dari DD/ADD dan atau dari bank atau pihak ke-3. Apa agunanya, apakah dengan aset desa, kerana KDMP adalah milik desa?

Problem utamanya juga adalah aset desa tidak bisa-tidak boleh diagunkan. Tidak ada regulasi yang membenarkannya. Itu masalahnya.

Probematika akar masalahnya dalam hal KDMP adalah di satu sisi menggunakan UU Perkoperasioan, di sisi lain dalam tata laksananya menggunakan regulasi yang menabrak UU Perkoperasian itu sendiri, sehingga kacau balau. Apalagi jika aset desa dipakai untuk jaminan-agunan hutang bank Rp 5 milyar untuk modal dasar, modal disetor.

Jadi problematika akar masalah yang fundamental belum klir sebagai dasar pijak dalam artian formal dan meretial. Sehingga, konsekuensi akuntingnya dalam Laporan Keuangan (Neraca dan Laba-Rugi) harus disajikan, karena mengandung konsekuensi hukum baik secara pidana, perdata dan niaga-kepailitan maupun legitimasi publik-kepercayaan publik.

 

Kepengurusan KDMP?

Dalam UU Perkoperasian, ada Pendiri, Pengurus dan ada Rapat Anggota. Keanggotaan koperasi bisa terbuka untuk umum, jika bukan koperasi yang spesifik dan atau sekelompok komunitas. Misalnya, koperasi ASN (Aparatur Sipil Negara)  tentu anggotanya adalah ASN, bukan terbuka untuk umum.

Ketua koperasi dipilih dan atau dianggat oleh anggota melalui mekanisme rapat anggota. Modal koperasi berasal, bersumber dari para anggota. Ketua-Pengurus koperasi bertanggungjawab kepada pendiri koperasi. Jika terjadi kolep atau pailit dan mempunyai sangkutan dengan pihak ke-3, maka yang bertanggungjawab adalah Ketua Koperasi.

Jika aset koperasi tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ke-3, maka Pendiri koperasi yang harus menanggung beban dan atau bertanggungjawab untuk menyelesaikannya dengan asset yang dimiliki para pendiri.

Berbeda dengan BUMDes yang dalam tradisi kepengurusannya sangat bergantung pada selera, like dislike kepala Desa (Kuwu). Jadi ganti Kuw,  ganti pula pengurus BUMDesnya. Sama halnya dengan keberadaan Pamong Desa.

Meski itu melanggar UU No. 6 Tahun 2014 jo UU No. 3 Tahun 2024 tentang Desa. Kondisi pelanggaran UU tersebut dilakukan pembiaran. Tradisi buruk ini mungkin hanya ada di Indramayu, tetapi, tidak menutup kemungkinan tradisi ganti Kepala Desa ganti pula perangkat-Pamong Desa dan Kepengurusan BUMDesnya terjadi juga di daerah lain. .

Akankah KDMP mengalami nasib yang sama dengan tata kelola BUMDes? Kita belum tahu, karena regulasinya masih berumah di atas angin.  Perda (Peraturan Daerah) tentang KDMP dan Perdes (Peraturan Desa) tentang KDMP juga belum ada jika kita berkaca pada Indramayu, sampai artikel ini ditulis.

 

Modal Kerja KDMP-Bank?

Pertanyaan mendassr dari konsekuensi yang berimbas, berdampak hukum adalah bagimana dalam menyajikan Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi), jika KDMP modal kerja-usaha-modal disetornya bersumber dari pinjaman-hutang bank? Atau apapun namanya misalnya, berasal dari  SAL (Saldo Anggaran Lebih)APBN dan atau APBD yang mekanismenya anggaran dari SAL tersebut disalurkan ke perbankan, bank yang direkomendasi Presiden-Menteri Keuangan, kemudian disalurkan ke KDMP sebagai pinjaman modal kerja.

Jika dari anggaran SAL APBN dengan mekanisme seperti itu, namanya membelit bagai ular phiton. Padahal, ujung-ujungnya sama, bank sebagai pihak kreditur yang terikat dengan hukum-prinsip perbankan 5C, dan KDMP sebagai debitur. Itu namanya, logika politisi yang berpikir politis, sehingga apologi dan alibinya seperti itu, membelit. Apologi dan alibi seperti itu, bukan logika intelektual akademik atau bukan logika akademisi.

KDMP sebagai debitur dari bank. Jika seperti itu adalah model dana KUR (Kredit Usaha Rakyat dengan bunga rendah) pada era rezim SBY (Susilo Bambang Yodhoyono). Fakta konkretnya dana KUR dari APBN yang semula didewa-dewakan sebagai pemberdayaan perekonomian rakyat, hanya berumah di atas angin. gagal dalam meletakkan pondasi keberdayaan dan pertumbuhan perekonomian rakyat. Karena, akar masalahnya adalah problem mentalitas.

Pertanyaan tersebut tidak terpikirkan oleh penggagas dan pelaksana teknis di lapangan dalam tata kelola KDMP, karena sesungguhnya ide besar dan narasi besar yang dibangun itu baru pada tahap imaji liar, belum sampai pada tahap konsep akademik, sehinga kacau balau, untuk tidak dikatakan ngawur luar biasa.

Jika KDMP menggunakan dana bank atau hutang kepada pihak ke-3 untuk modal disetornya, mau tidak mau,  dalam neraca harus ditampilkan Hutang Bank atau Hutang Kepada Pihak Ke-3. Pengertian akuntingnya atau hukumnya adalah KDMP sebagai debitur, dan pihak bank sebagai kreditur.

Apa konsekuensi hukumnya jika menggunakan pinjaman atau hutang bank. Berdasarkan hukum perbankan ada yang disebut sebagai kunci pokok prinsip perbankan, yaitu 5C (Character, Capacity, Capital, Coleteral dan Condition). Tidak hanya itu bagi bank, yaitu harus ada agunan sebagai debitur untuk mendapatkan kucuran kredit.  Bank tidak mau mengambil resiko buntung, merugi. Jika begitu, bagaimana dengan problem agunan untuk mendapatkan modal kerja yang bersumber dari bank, jika KDMP itu milik desa?

 

Siapa yang Tanggung jawab?

Siapa yang punya otoritas dan atau yang bertanggung jawab jika modal disetor KDMP itu dari pinjaman/hutang bank? Apa agunannya kepada pihak bank, KDMP sebagai debitur? Bolehkah aset desa diagunkan kepada bank atau pihak ke-3?

Problem berikutnya, jika hutang bank sebagai modal kerja, bagaimana jika KDMP, likuiditas, solvabilitas dan CAR (Capital Adequacy Ratio) atau Rasio Kecukupan Modal sebelum dan atau setelah berjalan adalah negatif  (minus). KDMP setelah beroperasi, sudah beroperasi, berjalan kegiatan usahanya dan atau sebagai debitur tidak mempunyai kemampuan untuk membayar angsuran pokok dan beban bunga yang harus dibayar  kepihak kreditur (bank) ataau jika kolep?

Jika KDMP sebagai debitur bank dengan agunan asset desa, tentu, ini menjadi masalah hukum, karena tidak boleh.  Jika diakal-akali, menabrak regulasi, dilakukan dengan menggunakan seperangkat kebijakan;  Surat Edaran dari Kementrian Koperasi,  Kementrian Desa dan PDT, atau Presiden menerbitkan Keppres dan atau Perpres yang membolehkan menabrak peraturan perundang-undangan yang ada, lantas kolep di tengah jalan, dan  likuiditasnya, solvabilitasnya, CAR-nya adalah negatif (minus), Tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai debitur. Siapa yang bertanggung jawab; Kepala Desakah atau warga desa harus menanggungnya? Akar masalah ini tidak terdeteksi dalam tatatan konsep keberadaan KDMP.

Kondisi kolep dan atau bangkrut-pailit itu, bisa utamanya menderita kerudian usaha, dan bisa juga karena profitnya kecil,  sehingga sebagai debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak bank.

Bisa juga karena dikelola bukan oleh tenaga profesional yang mempunyai integritas yang kuat. Dikelola secara amatiran, sehingga menyebabkan kebangkrutan-kekolepan.  Apa resikonya bagi pemerintahan desa, bukan apa resikonya bagi KDMP?

Jika itu yang terjadi, secara ekstrim, semua aset desa yang diagunkan kepada pihak bank yang mengucurkan kredit akan disita dan dilelang untuk memenuhi kewajibannya sebagai debitur. Jika juga hasil lelang aset desa tersebut masih belum mecukupi, mau tidak mau, Gedung-Kantor Desa pun harus disita dan dilelangkan.

Jika demikian konsekuensi resikonya, desa kehilangan aset desa, bahkan   Kuwu-Kepala Desa tidak bisa berkantor untuk melakukan aktivitas sehari-harinya dalam menjalankan tugas, kewajiban sebagaimana peraturan perundang-undangan yang harus diemban dan atau dijalankan, dilaksanakan sebagaimana mustinya. Pemerintahan Desa tidak berjalan, pelayanan publik terganggu. Tentu, menjadi problem besar bagi tata kelola pemerintahan desa dan pemerintahan Kabupaten/Kota dan pemerintahan pusat itu sendiri.

 

Wajibkah Menjadi Anggota KDMP?

Sekali lagi, jika KDMP dasar bijak peraturan perundang-undangannya adalah UU Perkoperasian, tidak ada keharusan dan atau tidak ada kata wajib bagi setiap warga desa setempat menjadi anggota KDMP.

Yang luar biasa, di Indramayu berkembang  wacana, bahwa modal KDMP akan ditarik dari setiap warga dan atau setiap warga desa wajib menjadi anggota, dan setiap warga ditarik iuran dan atau apapun namanya. Menarik dana warga desa sebagai modal kerja KDMP.

Dalam UU Perkoperasian, tidak ada keharusan setiap orang dan atau setiap warga desa menjadi anggota koperasi. Jika KDMP mewajibkan setiap warga desa menjadi anggota dan wajib menyetor dana untuk modal kerja KDMP, hal itu menjadi paradoks dan bahkan menabrak UU Perkoperasian itu sendiri.

 

KDMP Tulang Punggung Pertumbuhan Perekonomi Desa?

Apakah KDMP akan sejalan dengan konsep dan atau gagasan Bung Hatta sebagai Pencetus Koperasi atau Bapak Koperasi?  Belum tentu. Nyaris semua koperasi era rezim Orba dengan nama KUD, pada prakteknya jauh dari gagasan dan cita-cita luhur Bung Hatta, termasuk koperasi yang dibentuk oleh warga, komunitas  itu sendiridi.

Koperasi sebagai simbol pemberdayaan dan keperdayaan ekonomi rakyat-desa hanya isapan jempol belaka. Hanya slogan, jargon, retorika dan narasi besar dalam kamuflase. Pada prakteknya, koperasi dalam bentuk apapun juga adalah borjuisi kapitalistik.

KUD dan BUMDes fakta konkretnya ludes dan amblas. Bahkan, pada prakteknya hanya membebani DD/ADD. KDMP seharusnya mau belajar dari kekacauan, ketidakbecusan dan kegagalan KUD dan BUMDes. Bukan narasi besar yang berumah di atas angin.

Keberadaan KUD dan BUMDes, menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Bagaimana mau menjadi perintis dan atau pelopor kekuatan perekonomi warga desa dan atau keberadaannya sebagai penopang apalagi menjadi tulang punggung pertumbuhan (per)ekonomian desa?

Hal itu karena, para pengurusnya diangkat dan atau dipilih atas dasar kolusi dan nepotisme sporadic atau koncoisme-kroniisme  Bukan putra putri anak desa yang mempunyai talenta, profesionalisme dan yang berintegritas. Panggang jauh dari api yang menyala.

Rupanya KDMP juga hanya membangun narasi besar yang digaungkan Presiden,  tidak mau belajar dari kegagalan BUMDes, yang tidak saja soal regulasi turunanya yang kacau balau, yang hanya menciptakan kolusi dan nepotisme, sehingga melahirkan BUMDes yang koruptif dan akhirnya ada tapi tiada, kolep, tinggal nama besar yang disandang dalam panggung politik pencitraan para pemimpin; Presiden, Kepala Daerah dan Kepala Desa. Kini (baru) imaki liar, sudah  berorkestrasi dan atau menjadi orkestrasi dalam panngung politik dengan nama KDMP.

KDMP regulasi turunannya masih kacau balau, bahkan menterinya sendiri juga gagap dan terasing dengan narasi besar Presidennya, bukan hal tidak muskil lagi akan mengalami nasib yang serupa dengan keberadaan BUMDes sebagai ajang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan atau hanya menambah daftar panjang kegagalan merumuskan pertumbuhan ekonomi (desa) dan atau kegagapan dalam konsep dan konteks pemberdayaan dan keberdayaan warga desa dan atau pertumbuhan ekonomi desa-nasional.

Hal tersebut dikarenakann jika kita mau jujur untuk mengatakan, bahwa KDMP itu baru pada tahap imaji liar dalam wacana idea besar, yang dari sisi konsep belum napak di bumi. Untuk itu, konsekuensi  logis yang bisa diterima logika dan akal waras adalah akan berumah di atas angin.

 

Baru Sehari Diesmikan, KDMP Sudah Bubaran

Ada fakta konkretyang tak bisa terbantahkan lagi. Tentu, ada persoalan dan problema.  KDMP baru saja diresmikan Presiden Prabowo secara nasional-daring pada hari Senin, 21/7/2025, yang disaksikan Gubernur Jawa Timur dan seperangkat Fokorpimda, ternyata, selang sehari peresmian, KDMP tersebut bubar, tutup. Gambar Presiden yang terpampang saat peresmian KDMP tersebut diturunkan. Papan nama Gerai Sembako dan Simpan Pinjam yang terpampang diturunkan. Sejarah tragis memang.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa  hadapan Presiden mengatakan, bahwa  KDMP di desa Pucangan   Kec. Montong  Kab. Tuban-Jawa Timur sebagai percontohan,  “yang sukses.” Tentu, ambisius politik mersusuarnya untuk dijadikan role model bagi propinsi-daerah lainnya. Tapi apa lacur, katak  tidak mau jadi lembu.

Apa yang terjadi? Berdasarkan fakta yang mengemuka di ruang publik, penutupan atau pembubaran diri KDMP desa Pucangan-Montong-Tuban tersebut, karena pemasuk gerai koperasi tersebut merasa tersinggung, karena ia telah bermitra sekian lama dengan koperasi tersebut, pada saat peresmian oleh Presiden Prabowo seolah-olah pihaknya tidak ada, untuk dikatakan bukan mitra yang sudah menjalin kerja sama sekian lama.

Harga diri pemasok tersbutStok, akhirnya mengambil sikap dan tindakan tanpa kompromistis, stok barang-barang yang dipajang dalam gerai diangkut ke luar, ditarik kembali oleh mitra pemasuknya-PT. Perekonomian Pondok Pesantren Sunan Drajat (PPSD), di mana PPSD tersebut merupakan unit usaha dari Pondok Pesantran Sunan Drajat di Lamongan sebagai mitra usaha-pemasok ke koperasi-KDMP tersebut. Hal itu tragisnya terjadi sehari setelah Presiden Prabowo meresmikan 80.081 KDMP secara daring dan nasional.

Jika membaca fakta konkret yang mengemuka dengan argumentasi mitra pemasok, sesungguhnya, koperasi itu sedah berjalan sebelum ada atau sebelum adanya peresmian apa yang dilabeli dengan KDMP di desa Pucangan Kec. Montong Kab. Tuban-Jawa Timur tersebut. Yang sudah berjalan diklaim sebagai KDMP percontohan. Aneh bin ajaib. Ini merupakan budaya dan tradisi pemimpin-politisi, suka klaim megklaim keberhasilan.

Rupanya politik post truth memegang peran penting dalam narasi besar KDMP sebagai proyek politik yang masih dalam imaji liar tapi sudah harus dilaksanakan, karena politik bandar berkuasa di semua level-tingkatan birokrasi. Akankah KDMP bakal menjadi gunung es di bawah terik matahari tegak lurus di atas ubun-ubun,  seperti halnya BUMDes. Sejarah dan waktu yang akan bicara. ***

Singaraja, Sabtu, 26/7/2025.

Related Articles

Latest Articles