Bertambah banyak korupsi di Indonesia baru-baru ini terpantau ada tiga ratus triliun rupiah di Departemen Keuangan. Melibatkan karyawan. Mereka mutlak ditangkap dan dipenjara.
Tetapi bukannya enak mendengar berita tangkap tangan sukses style dari Komisi Penberantasan Korupsi (KPK). Dengan berhasil melakukan tangkap tangan pelaku korupsi. Menjadi over lapping tugas lembaga Kepolisian Negara.
Sebab tugas pokok KPK adalah memberantas korupsi. Bukan memborgol orang di tempat ramai. Pelbagai model dapat dilakukan. Seperti cara lain dengan memantau tingkah laku pejabat. Meski tangkap tangan dibenarkan oleh undang-undang.
Seperti operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Wakil Ketua Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur berkaitan korupsi uang, bulan lalu. Yaitu Simanjuntak Wakil Ketua DPRD JawaTimur terkait korupsi.
Maka bergulirlah perbedaan pendapat kejadian tersebut. Antara lain Luhut Binsar mengatakan bahwa tangkap tangan itu pristiwa dramatik. Yang ia tidak setuju dengan cara tangkap tangan yang dilakukan.
Karena itu perbuatan KPK tertsebut dramatik. Artinya kasus itu mendramatisir persoalan korupsi dengan melebih-lebihkan. Hingga menyudutkan pihak yang terkena operasi tersebut. Tetapi KPK itulah style-nya. Tanpa demikian KPK hampir tak punya model operasi lain. Pengembalian uang. Surat peringatan. Bekerja sama dengan lembaga lain misalnya.
Masalahnya dampak yang timbul dari debatable istilah itu Lantas apa jalan keluar yang dapat diambil. Apakah KPK harus mundur dalam memberantas korupsi? Sebuah persoalan tentunya. Atau Luhut Binsar harus meralat ucapanya itu, karena ia orang penting dalam negara ini. Terutama dalam memberantas bahaya korupsi dalam arti menyelamatkan Negara Republik Indonesia.
Terhadap peroalan ini menurut kita ada beberapa hal menjadi esensi persoalan. Dengan meminjam kata Fahri Hamzah, mantan anggota DPR yaitu memeberantas korupsi dengan otak dan otot. Intinya harus dengan konsep dan kekuatan. Tidak cukup hanya dengan kekuatan saja. Pertama ada perpecahan beda pendapat dalam pemberantasan korupsi. Antara yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Kedua, soal kedudukan Luhut Binsar yang lemah sebagai pendukung pemerintah kini.
Ketiga, soal KPK yang kondisi ingin dapat poin penting di sini, yang sebelumnya KPK sebagai pelengkap saja. Karena melihat ini adalah peluang untuk melakukan tindakan.
Situasi inilah sekarang membuat hiruk pikuk pemberantasan korupsi yang selama ini tidak berujung pangkal. Apakah korupsi telah surut atau sama saja dengan yang dahulu.
Lebih lanjut terserah pemerintah Presiden Jokowi apakah ia ingin meninggalkan prestasi atau biasa saja seperti pemerintahan sebelumnya. Yang meninggalkan korupsi menjadi musuh utama Indonesia yang tidak bisa dilumpuhkan atau dikalahkan. Itu saja.
Jakarta, 3 Januari 2023
)* Penulis adalah Doktor Dosen Paskasarjana Universitas Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta