Jakarta, Demokratis
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap delapan orang tersangka kasus fugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi pads pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut, larangan ke luar negeri bagi para tersangka dikeluarkan KPK lewat Surat Keputusan Nomor 883 Tahun 2025 per tanggal 4 Juni.
“KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 883 Tahun 2025 tentang Larangan Bepergian Ke Luar Negeri terhadap 8 (delapan) orang berinisial SUH (PNS), HAR (PNS), WP (PNS), GW (PNS), DA (PNS), PCW (PNS), JS (PNS) dan AE (PNS) terkait dengan perkara dimaksud,” kata Budi kepada wartawan, Jumat (6/6/2025).
Tindakan larangan bepergian keluar negeri tersebut dilakukan oleh penyidik KPK karena keberadaan yang bersangkutan dibutuhkan berada di Indonesia dalam rangka proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana tersebut di atas.
“Keputusan ini berlaku untuk enam bulan,” ucapnya.
Lebih jelasnya, kedelapan orang yang dicegah ke luar negeri, yakni:
- Suhartono: Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker tahun 2020–2023
- Haryanto: Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) tahun 2019–2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker 2024–2025
- Wisnu Pramono: Direktur PPTKA tahun 2017–2019
- Devi Angraeni: Direktur PPTKA tahun 2024–2025
- Gatot Widiartono: Koordinator Analisis dan PPTKA tahun 2021–2025
- Putri Citra Wahyoe: petugas hotline RPTKA 2019–2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA pada Direktorat PPTKA 2024–2025
- Jamal Shodiqin: Analis TU Direktorat PPTKA tahun 2019–2024 yang juga Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA tahun 2024–2025
- Alfa Eshad: Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker tahun 2018–2025
Sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan delapan tersangka kasus pemerasan pengurusan izin tenaga kerja asing (TKA) di Kemnaker periode 2019-2024.
Dua di antaranya adalah Suhartono dan Haryanto yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka diduga ikut merasakan aliran duit pemerasan dari agen TKA yang nilainya mencapai Rp53,7 miliar.
“Selama periode tahun 2019 sampai dengan 2024, jumlah uang yang diterima para tersangka dan pegawai dalam Direktorat PPTKA yang berasal dari pemohon RPTKA sekurang-kurangnya adalah Rp53,7 miliar,” kata Pelaksana harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).
Budi menjelaskan Suhartono menerima duit dari pemerasan tersebut sebesar Rp460 juta selama menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker tahun 2020-2023. Sedangkan Haryanto yang juga pernah menjabat sebagai Direktur PPTKA periode 2019-2024 dapat Rp18 miliar.
Sementara untuk tersangka lainnya, yakni Wisnu selaku Direktur PPTKA Kemnaker periode 2017-2019 mengantongi Rp580 juta; Devi Anggraeni selaku Koordinator Uji Kelayakan PPTKA periode 2020-Juli 2024 kemudian jadi Direktur PPTKA periode 2024-2025 mengantongi duit hingga Rp2,3 miliar; Gatot Widiartono selaku Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian
Tenaga Kerja Asing Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kementerian Ketenagakerjaan periode 2021-2025 mengantongi Rp6,3 miliar.
Budi juga menjelaskan 3 staf di Ditjen Binapenta dan PPK juga mengantongi uang dari hasil pemerasan. Putri Citra Wahyo disebut menerima Rp13,9 miliar; Jamal Shodiqin menerima duit Rp1,1 miliar; dan Alfa Eshad menerima Rp1,8 miliar.
“Selain dinikmati oleh SH, HY, WP, DA, GTW, PCW, ALF, dan JMS, atas perintah SH dan HY, uang tersebut juga diberikan kepada hampir seluruh Pegawai Direktorat PPTKA kurang lebih 85 orang sekurang-kurangnya sebesar Rp8,94 miliar,” jelasnya.
Kemudian duit lainnya, sambung Budi, turut dibagikan kepada pegawai di direktorat tersebut sebagai uang dua mingguan. Adapun para tersangka itu kemudian membelanjakan uang yang mereka dapatkan untuk membeli aset yang dinamakan sendiri ataupun keluarga. (Dasuki)