Jakarta, Demokratis
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa Effendi Gazali dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. KPK menduga, pakar komunikasi politik itu merekomendasikan salah satu vendor pengadaan bansos melalui mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos Adi Wahyono (AW), yang kini menjadi tersangka.
“Effendi Gazali (wiraswasta) didalami pengetahuannya terkait pelaksanaan pengadaan bansos di Kemensos tahun 2020, antara lain terkait adanya dugaan rekomendasi salah satu vendor yang diusulkan oleh saksi melalui tersangka Adi Wahyono untuk mengikuti pengadaan Bansos di wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos RI,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dikonfirmasi, Jumat (26/3).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Effendi diduga merekomendasikan CV Hasil Bumi Nusantara untuk mendapatkan paket pengadaan bansos penanganan Covid-19. CV Hasil Bumi Nusantara diduga mendapat kuota penyedia bansos tahap satu sebanyak 162.250 paket.
Bahkan nilai kontraknya mencapai Rp 48.675.000.000. Meski demikian, Effendi membantah hal tersebut. Dia mengklaim, tidak terafiliasi dengan CV Hasil Bumi Nusantara yang diduga mengerjakan paket bansos. Dia pun mengaku tak segan untuk dikonfrontasi dengan pihak CV Hasil Bumi Nusantara.
“Saya tidak kenal dan lebih gampang panggil saja PT atau CV itu, panggil dan konfrontasi ke saya, apakah memang dapat segitu, kapan dikasih, dan apa urusannya dengan saya,” tegas Effendi di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (25/3) kemarin.
Selain Effendi, penyidik lembaga antirasuah juga memeriksa Direktur Jenderal (Dirjen) Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) Kemensos, Pepen Nazaruddn. Dia digali pengetahuannya soal aliran uang yang diterima tersangka Matheus Joko Santoso.
“Masih terus didalami antara lain dugaan aliran uang yang diterima dari tersangka MJS terkait fee pengadaan Bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos RI dan dugaan aliran sejumlah uang kepada tersangka Juliari Peter Batubara melalui tersangka MJS dan AW,” ujar Ali.
Penyidik KPK juga memeriksa tiga pihak lainnya, antara lain Triana dari PT Indo Nufood Indonesia, Amelia Prayitno dari PT Cyber Teknologi Nusantara dan Muhammad Rakyan Ikram, adik dari politikus PDIP Ikhsan Yunus. Ketiganya didalami terkait dugaan keikutsertaan dalam pengadaan bansos dan dugaan pemberian uang kepada mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara.
“Para saksi dikonfirmasi antara lain terkait dengan keikutsertaan sebagai vendor dalam pelaksanaan pengadaan Bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos RI dan dugaan aliran sejumlah uang kepada tersangka JPB melalui tersangka MJS dan AW,” pungkas Ali.
Dalam perkara dugaan suap bansos Covid-19, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap di antaranya Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial (Mensos); Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos. Selain itu sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Ardian Iskandar Maddanatja (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta.
KPK menduga, Juliari menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari dua periode paket sembako program bantuan sosial (Bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Penerimaan suap itu diterima dari pihak swasta dengan dimaksud untuk mendapatkan tender sembako di Kementerian Sosial RI.
Juliari menerima fee tiap paket Bansos yang disepakati oleh Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpaket Bansos.
Sebagai Penerima MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pihak pemberi AIM dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Red/Dem)