Jakarta, Demokratis
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita satu unit motor gede (moge) milik Bupati Buol Risharyudi Triwibowo (RYT) terkait kasus dugaan pemerasan tenaga kerja asing (TKA) dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Ditjen Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Motor berjenis Harley-Davidson Sportster Iron 883 itu disita dari kediaman Risharyudi di Jakarta pada Senin (21/7/2025), dan kini telah diamankan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan (Rupbasan) KPK, Cawang, Jakarta Timur.
“KPK menyita satu unit kendaraan roda dua terkait perkara Kemenaker. Penyitaan dilakukan dari sdr RYT (mantan stafsus menteri),” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis.
Moge Dibeli dari Dana Tak Sah
Motor Harley-Davidson yang disita berwarna merah marun dengan aksen hitam, menampilkan tampilan mencolok dengan detail mewah. Berdasarkan penelusuran, harga moge tipe ini di Indonesia mencapai Rp 448 juta, setara dengan harga mobil Toyota Innova varian terbaru.
Risharyudi yang sebelumnya merupakan staf khusus Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengaku pembelian moge tersebut berasal dari dana yang ia terima secara tidak sah. Ia menyatakan motor dikembalikan secara sukarela karena merasa tidak nyaman setelah menyadari sumber dananya bermasalah.
“Saya pernah menerima sesuatu tanpa meminta, dan saya belikan motor. Sejak tahu hal itu tidak benar, perasaan saya tidak enak, maka saya kembalikan secara sukarela,” ujar Risharyudi dalam pesan singkat, Sabtu (26/7/2025).
Desakan Transparansi dari GMNI Buol
Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Buol Arwin Pontoh menyambut baik langkah penyitaan oleh KPK dan mendesak penanganan hukum yang transparan.
“Integritas seorang pemimpin bukan hanya dilihat dari kinerja saat menjabat, tetapi juga rekam jejak masa lalu. Tidak boleh ada yang kebal hukum, siapapun dia,” kata Arwin, Kamis (24/7/2025).
Ia menyatakan kasus ini penting dikawal bersama demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan memastikan bahwa praktik gratifikasi tidak mendapat tempat dalam sistem birokrasi Indonesia.
“Penegakan hukum yang tuntas bukan sekadar menghukum individu, tetapi juga pesan moral bagi semua pejabat negara,” pungkas Arwin. (Dasuki)