Selasa, Agustus 5, 2025

KPK Ungkap Rekening Guru Dipakai untuk Menampung Duit Pemerasan TKA Kemnaker

Jakarta, Demokratis

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar tiga orang saksi terkait penerimaan uang dari tenaga kerja asing (TKA) dan penggunaan rekening untuk menampung dana dari para agen TKA. Salah satu saksi yang diperiksa merupakan seorang guru bernama Siti Fahriyani Zahriyah.

Pemeriksaan dilakukan terkait adanya temuan penerimaan uang dari para TKA hingga penggunaan rekening penampung dalam kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

“Saksi semua hadir. Penyidik mendalami penerimaan uang dari para TKA, penggunaan rekening untuk penampungan uang dari para agen TKA,” kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (30/7/2025).

Selain Siti, penyidik juga memeriksa dua pihak swasta, Gioatika Pramodawardani dan Berry Trimadya. Ketiga saksi dikonfirmasi terkait aliran dana dan asal usul pembelian aset milik para tersangka dan keluarganya. Pemeriksaan dilakukan pada Selasa (29/7/2025) kemarin.

“Serta asal usul atau pembelian aset oleh tersangka dan keluarganya,” ucap Budi.

Sebelumnya diberitakan, KPK telah telah menahan delapan tersangka dalam perkara ini serta mengungkapkan aliran dana pemerasan yang diterima sejak 2019-2024 senilai Rp53,7 miliar.

  1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar
  2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar
  3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA (2021–2025): Rp6,3 miliar
  4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar
  5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar
  6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar
  7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta
  8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta

Selain itu, terdapat dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang diduga dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama para tersangka dan keluarganya.

Berdasarkan konstruksi perkara, kasus ini mengungkap dugaan praktik korupsi sistematis dan terorganisir dalam pengurusan RPTKA di lingkungan Kemnaker. RPTKA merupakan dokumen wajib bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan TKA, dan proses pengurusannya berada di bawah Direktorat PPTKA, Ditjen Binapenta dan PKK.

Modus yang digunakan para tersangka melibatkan pungutan liar secara berjenjang. Permohonan RPTKA hanya akan diproses apabila pemohon menyetor sejumlah uang. Jika tidak membayar, proses diperlambat atau bahkan diabaikan. Dalam beberapa kasus, pemohon diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan baru akan “dibantu” setelah menyetor dana ke rekening tertentu.

Penjadwalan wawancara via Skype juga diatur secara manual dan hanya diberikan kepada pemohon yang membayar. Penundaan penerbitan RPTKA berisiko menimbulkan denda sebesar Rp1 juta per hari bagi perusahaan pemohon.

Pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga memerintahkan verifikator, antara lain Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin, untuk melakukan pungutan terhadap para pemohon.

Dana hasil pungutan diduga dibagikan secara rutin kepada pegawai dan digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk jamuan makan malam. KPK mencatat sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA diduga turut menerima aliran dana tersebut.

Dari total dugaan hasil korupsi sebesar Rp53,7 miliar, KPK menyatakan baru sekitar Rp8,61 miliar yang dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan. Penelusuran masih terus dilakukan, termasuk terhadap kemungkinan praktik serupa sebelum tahun 2019.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Dasuki)

Related Articles

Latest Articles