Pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak, 9 Desember 2020 dalam waktu singkat, tidak harus menunggu sehari, hasilnya sudah bisa kita ketahui dengan pasti. Sekalipun secara resmi masih harus menunggu pengumuman dan penetapan hasil Pilkada oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) sebagai penyelenggara Pilkada.
Dengan waktu yang relatif singkat, bagi semua Paslon (pasangan calon) juga banyak keuntungannya, seperti jantung berdebar-debar berminggu-minggu atau berbulan-bulan, lenyap dalam sehari, karena hasilnya sudah bisa dipastikan kalah atau menang. Beban akomodasi dan logistik dan biaya politik juga lebih relatif hemat, jika dibandingkan menunggu kepastian kalah atau menang dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan, dan seterusnya.
Dalam era digital dan kedahsyatan saintifik (scientific), kita bisa melangkah lebih cepat dan mendapatkan informasi lebih cepat dan akurat dan akuntabel, seperti halnya dengan hasil Pilkada atau Pilpres (pemilihan presiden) maupun Pileg (pemilihan legislatif). Sebelum era digital dari model santifik ini, kita harus berbulan-bulan, biasanya antara tiga bulanan hasil Pilkada baru kita dapatkan, menunggu hasil perhitungan manual KPUD yang diberi otoritas negara sebagai penyelenggara Pilkada.
Dengan adanya quick count (perhitungan cepat yang berbasis matematika integral), begitu waktu pencoblosan selesai, beberapa jam kemudian kita sudah bisa mendapatkan hasil dari Pilkada, siapa yang unggul atau menang, sekalipun secara resmi (undang-undang) menunggu pengumuman atau penetapan KPUD atas siapa yang ungggul perolehan suaranya dalam Pilkada. Tetapi, paling tidak, kita tahu lebih awal, tidak harus menunggu berminggu-minggu untuk mengetahui hasil Pilkada.
Dalam Pilkada serentah tahun 2020, KPUD pun kini melaksanakan hitung cepat (quick count), tidak lagi manual, tetapi mekanisme dalam UU tetap berbasis asumsi perhitungan manual yang diatur sedemikian rupa dalam running time sesuai dengan tahapan Pilkada yang telah ditentukan jadwalnya. Jadi sekalipun telah selesai sehari dua hari atau dalam waktu seminggu, tetap saja harus diumumkan secara resmi mengikuti tahapan prosedur yang telah ditentukan dalam ketentuan PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) dalam pelbagai tahapan dalam Pilkada.
Hasil Quick Count
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak ini, jika di daerah Pilkada ada lebih dari satu lembaga quick count yang ambil bagian, hasilnya tidak berbeda. Jika ada berbedaan perolehan suara sesama lembaga quick count, selisihnya terpaut tipis, begitu juga dengan hasil rekapitulasi KPUD itu sendiri. Akurasi atau validitas hasil quick count bisa dipastikan dan bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi akademik dan bisa dipertanggungjawabkan dalam fakta realitas hasil real count perhitungan yang dilakukan oleh KPUD itu sendiri.
Kelebihan dan keunggulan metode quick count ini adalah hasil yang cepat bisa diketahui dalam hitungan relatif singkat, hanya kisaran sejam dua jam saja setelah proses pencoblosan di semua TPS rampung. Hasil Pilkada bisa dipastikan siapa yang kalah dan siapa yang menang (unggul perolehan dalam suara) dan angka suara perolehan masing-masing Paslon. Tidak hanya itu, bahkan kita bisa mengetahui seberapa besar angka golput; meliputi angka pemilih yang tidak berpartisipasi (tidak datang ke TPS dan pemilih yang datang ke TPS tapi tidak memilih atau mengembalikan lipatan kertas suara ke kotak suara), angka tidak sah (blangko) dan angka partisipasi pemilih dalam Pilkada.
Keunggulan atau kelebihan lainnya, jika ada beberapa lembaga quick count dalam satu daerah Pilkada, hasilnya tetap sama atas siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perolehan suara. Jikapun berbeda, perbedaannya terpaut tipis, hanya kisaran 0,5 persen hingga kisaran di bawah 2 persenan saja. Akurasi atau validitas besaran angka perolehan suara akan menghasilkan angka perolehan suara yang sama dengan perihtungan KPUD baik secara manual maupun hitung cepat versi real count KPUD dengan kisaran terpaut selisih masih di bawah 2 persenan.
Keunggulan dan atau kelebihan metode ilmiah quick count ini, margin error-nya hanya berkisar 0.5 persenan hingga 1 persenan. Quick count menggunakan data sampling acak (random) populasi TPS Pilkada. Semakin banyak samplingnya data acaknya, semakin akurat. Hasil quick count hasilnya sama dengan real count KPUD yang harus menghitung atau merekap semua hasil TPS yang ada dalam daerah Pilkada. Jikapun ada selisih, terpaut tipis kisaran di bawah 2 persenan.
Real count dalam sistem hitungan cepat KPUD juga sebenarnya dalam era digital teknologi ini bisa diselesaikan dalam waktu relatif singkat, hanya sehari atau dua hari saja, sehingga tidak terlampau banyak menelan anggaran (uang rakyat). Tetapi, entah mengapa hingga sekarang Pemerintah tetap melakukan hitungannya berhari-hari atau berminggu-minggu. Argumentasi politis yang dikedepankan, sehingga tidak bisa dirujuk dengan logika dan akal waras, sia-sia jika kita perdebatkan, hanya akan menghasilkan konfrontasi pertengkaran sampah belaka.
Kecurangan Pilkada
Dengan adanya quick count ini yang dilakukan oleh lembaga quick count, potensi kecurangan dalam Pilkada menjadi sangat sempit ruangnya. Sewaktu Pilkada hanya ada PKUD sebagai penghasil hitungan hasil Pilkada potensi kecurangannya sangat terbuka bahkan kecurangan itu bisa didesain secara terstruktur, sistemik dan masif. Dengan hadirnya quick count dari lembaga survei (quick count) yang berpartisipasi dalam Pilkada, kecurangan yang terstruktur, sistemik dan masif tersebut hampir tak terdengar lagi, ruang geraknya tak ada, sehingga para pelaku sistem tersebut tidak mampu berkutik dalam hal kecurangan terhadap hasil pencoblosan dan hasil hitungan.
Potensi kecurangan yang terstruktur, sistemik dan masif sebelum hadirnya lembaga quick count antara lain: (1) Pada saat pengumuman hasil pencoblosan di hadapan para saksi, penyelenggara (pelaku) yang membuka kertas suara melakukan kecurangannya dengan memblangkokan hak suara pemilih, karena ada transaksi atau order dari salah satu Paslon. Teknisnya bisa dengan kuku dan atau cara lain yang tidak kasat mata oleh para saksi (partai politik) dari Paslon lawan, dan membeberkan keabsahan di hadapan saksi relatif lebih cepat atau singkat, sehingga saksi terlena. Kertas suara yang tidak dicoblos, akan dicoblos sesuai order untuk kemenangan salah satu Paslon.
(2) Adanya kekuatan money politics hingga pada hari “H” pencoblosan. Kekuatan money politics yang sangat dahsyat itu biasanya dalam bentuk dan model serangan fajar, di mana pemilih dalam pengawasan yang amat sangat ketat dan bahkan ada yang dalam tekanan atau intimidasi (psikologis hingga dalam bentuk kekerasan pisik jika kemudian diketahui berkhianat) hingga masuk ke TPS. Pengawalan terhadap pemilih ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, dan hasilnya memang signifikan, karena sasaran targetnya adalah pemilih awan, dan terutama yang ada di kampung-kampung (desa). Dalam hal ini, pemilih tidak mempunyai kemerdekaan hak pilihnya atas hak itu sendiri untuk menentukan pilihannya, karena adanya transaksional yang dilakukannya atau yang diterimanya.
(3) Kecurangan dan potensi kecurangan hasil perolehan suara juga dilakukan di pelbagai tingkatan penyelenggara, yaitu mulai dari hasil rekapitulasi Pilkada tingkat TPS ke KPPS (di desa). KPPS ke PPK (di Kecamatan) dan dari PPK ke KPUD (Kabupaten/Kota). Angka-angka perolehan suara bisa dimanipulasi atau direkayasa sedemikian rupa, dan yang paling menentukan kemenangan adalah hasil rekapitulasi angka hasil pencoblosan yang direkap di PPK, karena KPUD dalam melakukan perhitungan hasil Pilkada berbasis hasil rekapitulasi PPK yang dikirim ke KPUD.
(4) Kecurangan dan potensi kecurangan juga terjadi dalam ruang KPUD sendiri, di mana angka-angka kemenangan bisa dipermainkan dan atau bisa dimainkan sebelum kehadiran lembaga quick count, karena menurut UU, hasil perhitungan KPUD tetap dianggap sah sekalipun ada para saksi dari Paslon tidak mau menandatangani hasil perhitungan KPUD yang resmi diumumkan yang karena diindikasikan adanya kecurangan dalam perhitungan suara. Jadi sekalipun menolak atau tidak menerima, hasil perhitungan KPUD akan tetap dianggap sah oleh Undang-undang. Mekanisme gugatan sengketanya harus ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Kedahsyatan kekuatan money politics tersebut bisa terjadi, di luar serangan fajar dan pada tahapan menjelang hari “H” adalah para penyelenggara bisa dibeli dan atau adanya transaksional dengan para penyelengara mulai dari TPS, KPPS, PPK hingga KPUD dan para saksi dari partai politik itu sendiri (sumber data: PKSPD: dari Pemilu rezim Orba Soeharto, 1982 hingga Pemilu pasca Reformasi hingga kini, termasuk data-data dan fakta persidangan sengketa Pemilu; Pilkada dan Pilpres di MK).
Pada tingkat nasional, kasus Harun Masiku dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang kini masih “lenyap”, antah berantah ditelan kegaduhan politik lainnya yang terjaring OTT KPK yang melibatkan Komisioner KPU Arief Budiman adalah menunjukkan fakta dan data konkret terhadap kecurangan dan potensi kecurangan yang terjadi hingga penyelenggara di tingkat Pusat (KPU). Sekalipun pada kasus Harun Masiku tidak menjadikan bagian dari yang namanya kecurangan dalam pencoblosan. Tetapi, lebih daripada permainan tafsir putusan Mahkamah Agung (MA) dalam hal PAW (Pergantian Antar Waktu) menjadi legislatif jatah Senayan atas rekomendasi Sekjen PDIP.
Kasus Aqil Moctar (yang divonis seumur hidup) Ketua MK atas kasus suap sengketa Pilkada, menunjukkan bahwa kecurangan dalam Pilkada juga hingga di tingkat Pusat bahkan menimpa sebuah institusi negara yang diberi otoritas untuk membuktikan ada tidaknya kecurangan yang terjadi pada sengketa Pilkada, yang mana putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat, sekalipun dari proses yang tidak benar dan atau curang, yang seharusnya berdasarkan logika dan akal waras, putusan MK tersebut bukan dari bagian yang dinamakan “final dan mengikat.”
Ranah Quick Count
Ranah quick count atas hasil Pilkada untuk melakukan pembacaan siapa yang unggul atau menang dalam Pilkada adalah angka hasil pencoblosan berdasarkan basis data KPUD atas angka total hak pemilih (DPT), angka (suara) partisipasi publik, angka (suara) perolehan masing-masing Paslon, angka (suara) tidak sah (blangko), angka (suara) dan angka (suara) pemilih yang tidak berpartisipasi, tidak datang ke TPS dengan pelbagai alasan atau hal lain.
Hasil angka-angka perolehan suara yang dihasilkan oleh quick count dan atau lembaga quick count, tidak mengafirmasi kebenaran angka itu sendiri atau tidak merupakan hasil kebenaran perolehan suara atas kebenaran suara dalam proses dan mekanisme pemungutan suara. Jadi, jika angka-angka atau hasil perolehan suara tersebut ternyata adanya dan atau terjadi kecurangan dalam pencoblosan, itu bukan ranah angka hasil quick count. Jika kemudian setelah selesai dan penutupan hasil perhitungan di setiap TPS terjadi pencoblosan yang harus diulang di beberapa TPS karena terjadi kecurangan, itu bukan lagi ranah quick count. Pengaruh angka hasilnya, sangat bergantung pada signifikasi perolehan suara atas pencoblosan ulang tersebut.
Hasil quick count tidak berelasi dengan apa yang dikatakan kecurangan dalam pencoblosan di TPS dan atau kecurangan dalam memanipulasi angka perolehan suara pada semua tingkatan penyelenggara Pilkada. Mau curang atau tidak, bukan wilayah akurasi atau validitas untuk mengatakan bahwa angka kemenangan perolehan suara Paslon itu benar adanya. Benar adanya, harus ditafsirkan sebagai hasil akhir dari data perhitungan suara yang ada pada setiap TPS. Kecurangan yang kita sebutkan di muka pada item 1 dan 2, bukanlah ranah quick count.
Untuk menguji kebenaran adanya kecurangan atas pencoblosan, sehingga berpengaruh terhadap perolehan suara Paslon, itu ranah dari MK. Sehingga, jika ada indikasi kecurangan, mekanismenya harus melalui jalur gugatan sengeta Pilkada di MK. MK yang mempunyai otoritas dan kewenangan untuk menguji kebenaran atas hal perolehan suara yang disengketakan, apakah adanya kecurangan atau tidak, MK-lah yang memutuskan dan putusan MK berlaku final dan mengikat.
Hasil quick count dari lembaga quick count atau hasil resmi atas kalah atau menangnya Paslon yang dikeluarkan oleh KPUD bisa juga digugurkan. Artinya, hasil quick count yang semula menyatakan bahwa ada Paslon yang unggul atau menang dalam Pilkada bisa menjadi terbalik atau Paslon tersebut bisa mungkin menjadi kalah. Tetapi, sekali lagi, hal tersebut bukanlah kesalahan metode quick count, sekalipun perolehan suaranya bisa sangat signifikan berbalik, yang menang menjadi kalah, dan yang kalah menjadi menang setelah putusan MK.
Kehadiran lembaga quick count dalam Pemilu (Pileg, Pilkada dan Pilpres) dengan hasil hitung cepatnya tersebut, menjadi penyeimbang atau kontrol terhadap KPU(D) sebagai penyelenggaraan Pemilu, sehingga potensi kecurangan atas permainan angka perolehan suara bisa direm sedemikian rupa, bahkan kecurangan dalam hal tersebut kini bisa dikatakan tidak terjadi lagi.
Hasil quick count tidak bisa dikatakan hoax dan atau penyebaran hoax setelah dipublikasikan. Hasil quick count tetaplah valid, akurat dan kredible, sehingga hasil quick count yang dilakukan oleh lembaga survei yang dijamin atau terjaga integritasnya, memiliki kepercayaan publik yang tinggi. Atas metodologi ilmiah tersebut, quick count dipakai di semua negara dalam melaksanakan hajat demokrasi; suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang dimaksud dengan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan adalah karena Tuhan tak pernah berbohong apalagi berdusta dan berkhianat. ***
*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. E-mail: jurnalepkspd@gmail.com