Penentuan waktu awal Ramadan dan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) bisa ditentukan melalui tiga cara yaitu metode rukyat (pengamatan), metode hisab (perhitungan) dan metode rukyat dan hisab (pengamatan dan perhitungan). Saat ini Indonesia telah menerapkan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk menentukan penanggalan Hijriyah. Penerapan ini juga merupakan salah satu upaya untuk unifikasi kalender Hijriyah.
Abdul Mufid, Postdoctoral pada kelompok riset Astronomi dan Observatorium di Pusat Riset Antariksa BRIN menyebutkan bahwa kriteria lama mengacu pada tinggi hilal minimal 2 derajat dan jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8jam. Sedangkan kriteria baru tinggi hilal minimal 3 derajat dan jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat, ungkapnya dalam kegiatan kolokium LINEAR #2 dengan topik Kajian Implementasi Kriteria Baru MABIMS Menuju Unifikasi Kalender Hijriah: Pendekatan Multidisipliner.
Kriteria MABIMS baru diterapkan di Indonesia pada 2022, khususnya pada penentuan awal Ramadan dan hari raya 1444 H. Unifikasi atau proses penyeragaman dalam kajian fikih memperhatikan pendapat fukaha (ahli fikih) yang terbagi menjadi 2 pandangan besar, yakni rukyat global dan rukyat lokal. Ada yang cenderung ke rukyat global (Hanafi, Maliki, dan Hambali) dan ada yang condong kepada rukyat lokal sekitar radius 120 km (Syafi’iyah).
Mufid melakukan kajian yang lebih mendalam terkait implementasi kalender Hijriyah melalui pendekatan multidisipliner (kajian fikih, kajian astronomi, dan kajian sosial-politik). “Menurut pandangan Fikih, dari teori Thomas Kuhn, bahwa wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting Paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global. Dari pandangan fikih dimungkinkan wilayah keberlakuan kalender hijriyah bisa bersifat global, walau keberlakuan lokal masih berlaku di banyak negara yang terkait juga dengan pandangan untuk pembuktian secara rukyat (pengamatan) hilal,” ungkap Mufid.
Mufid melakukan kajian yang lebih mendalam terkait implementasi kalender Hijriyah melalui pendekatan multidisipliner (kajian fikih, kajian astronomi, dan kajian sosial-politik). “Menurut pandangan Fikih, dari teori Thomas Kuhn, bahwa wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting Paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global. Dari pandangan fikih dimungkinkan wilayah keberlakuan kalender hijriyah bisa bersifat global, walau keberlakuan lokal masih berlaku di banyak negara yang terkait juga dengan pandangan untuk pembuktian secara rukyat (pengamatan) hilal,” ungkap Mufid.
Mufid menambahkan kajian astronomi berkontribusi pada usulan kriteria visibilitas hilal. Secara umum, untuk memprediksi visibilitas hilal, parameter berikut sering digunakan yaitu umur bulan, selisih waktu terbenam matahari dan bulan, elongasi, ARCV (beda tinggi), DAZ (beda azimut), dan tebal hilal.
Setidaknya ada tiga prasyarat untuk mewujudkan kalender yang mapan: ada kesepakatan batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global), ada kesepakatan otoritas tunggal yang menetapkannya, dan ada kriteria yang disepakati.
Kriteria MABIMS dalam penentuan awal bulan Hijriah perlu diterima berbagai kalangan umat dengan 6 alasan yaitu kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang, parameter yang digunakan dalam kriteria MABIMS adalah parameter yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari), parameter yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal.
Dalam kriteria MABIMS, ketinggian minimal 3 derajat didasarkan pada data global, elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor elongasi bulan terdekat sebagaimana yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh, dan kriteria baru MABIMS yang dibangun dengan data rukyat dan dianalisis secara hisab merupakan titik temu bagi pengguna metode rukyat seperti NU dan pengguna metode hisab seperti Muhammadiyah.
Pendekatan multidisplin fikih, astronomi, dan sosial-politik, mengungkapkan bahwa unifikasi kalender hijriyah memerlukan kesepakatan tentang batas wilayah keberlakuan, kriteria, dan otoritas. Kriteria visibilitas terbaru yang sering disebut Neo MABIMS, yakni tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat, hanya salah satu prasyarat untuk terwujudkan unifikasi kalender hijriyah.
Mufid memberi pesan bahwa meskipun kriteria ini telah menjadi kesepakatan di antara negara-negara anggota MABIMS, namun dalam implementasinya perlu sosialisasi lebih keras lagi. “Sosialisasi diperlukan untuk mendapatkan kesepakatan secara internal nasional, khususnya kesepakatan antar-ormas Islam. Untuk diperluas menjadi kalender Islam global, juga diperlukan kesepakatan secara global pula,” pungkasnya.
Marufin menyebutkan terdapat tiga metode untuk melihat hilal. Pertama adalah menggunakan mata telanjang. “Metode pertama adalah menggunakan mata telanjang, tanpa alat bantu optik sama sekali. Sehingga menghasilkan fenomena kasatmata telanjang. Metode dengan mata telanjang dilakukan semenjak zaman Nabi, Khulafurrasyidin dan Imam Mazhab yang empat,” katanya.
Metode kedua dilakukan dengan menggunakan alat bantu optik terutama teleskop, namun tetap mengandalkan penglihatan mata. “Ini menghasilkan fenomena kasatmata-teleskop,” tambahnya. Teleskop merupakan penemuan pertama dalam sejarah manusia, yang menyatakan bahwa penemu teleskop adalah Gallieo Galie ternyata ini informasi yang salah, yang benar Hans Livversery seorang pembuat lensa asal belanda pada tahun 1608.
Metode terakhir adalah dengan menggunakan alat optik terutama teleskop yang terangkai dengan sensor/kamera.
“Sensor/kamera ini memproduksi denyut elektronik yang bisa diolah sebagai citra atau gambar. Ini menghasilkan fenomena kasat-kamera,” tambah ia.
Dari ketiga metode tersebut, yang paling populer adalah penggunaan metode mata telanjang dan mata yang dibantu oleh alat optik khususnya teleskop.
Metode hisab dan protokol rukyatul hilal selain rukyatul hilal, ada pula metode hisab yang dilakukan dalam penetapan awal Ramadhan dan Hari Raya.
Namun dari segi popularitas, kata Marufin, survei keberagaman Muslim Indonesia tahun 2016 menunjukkan 64 persen umat Islam di Indonesia lebih memilih berpedoman pada rukyatul hilal untuk menentukan hari-hari besar agama. “Survei serupa di tahun 2018 yang ditujukan untuk kalangan milenial Muslim menunjukkan proporsi lebih besar. Sebanyak 76 persen milenial Muslim Indonesia lebih memilih berpedoman pada rukyatul hilal,” katanya.
Protokol merukyat hilal diawali dengan memilih lokasi dan melaksanakan perhitungan terkait posisi Bulan di lokasi tersebut pada tanggal 29 Sya’ban (untuk penentuan awal Ramadhan) atau 29 Ramadhan (untuk penentuan Idul Fitri).Perhitungan ini bisa dilakukan secara manual, bisa juga secara otomatis menggunakan perangkat tertentu. Jika digelar dengan menggunakan teleskop, pada saat ini telah ada sistem teleskop semi-otomatik yang di dalamnya juga mengandung perangkat kecil untuk komputasi seperti itu. Sehingga petugas tinggal menerima hasil dan mengkalibrasi teleskopnya sesuai prosedur,” papar Marufin.
Dalam hal fenomena kasatmata-teleskop, petugas tinggal menempelkan mata ke lensa okuler (eyepiece telescope) sementara teleskop bekerja semi-otomatik menjejak posisi Bulan di langit dengan memperhitungkan posisi lokasi (diketahui dg GPS) dan waktu.
Dalam hal fenomena kasat-citra, petugas tinggal mengamati layar komputer dan mencitra atau merekam panorama untuk rentang waktu tertentu.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar – Pengamat kebumian dan keantariksaan, Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE) mengatakan, Kamis, 20 April 2023, akan terjadi gerhana matahari di atas Indonesia. Gerhana ini hibrida, di sebagian wilayah adalah total, di tempat lain cincin atau sebagian. Gerhana ini bertepatan 29 Ramadan 1444 H. Di dunia secara umum memulai Ramadan serentak Kamis, 23 Maret 2023.
Gerhana ini seolah pembenaran bagi yang akan berlebaran Jumat. Sedangkan pemerintah masih menunggu hasil rukyatul hilal Kamis sore. Ada kemungkinan lebaran Sabtu.
Penentuan awal Ramadhan dan Iedul Fitri masih menjadi kontroversi. Timbul pertanyaan, apakah hari raya muslim tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari, dan satu saja untuk semua, seperti kejadian gerhana?
Di zaman Nabi, sudah ada kalender urfi yang tetap. Bulan selang-seling 30-29. Sya’ban normalnya 29 hari, sampai turun perintah Nabi untuk rukyatul hilal. Walhasil, Sya’ban jadi sering istikmal (30 hari). Akibatnya Ramadhannya sering 29 hari. Dari 9 kali Ramadhan di masa Nabi, 7 kali 29 hari.
Perintah rukyatul hilal itu sekaligus indikasi, bahwa bulan lainnya tidak dirukyat. Namun pada perkembangannya, kebutuhan perencanaan, mendorong umat Islam mempelajari astronomi. Muncullah kalender hisab dengan ragam kriteria, yang dapat memunculkan perbedaan hari.
Ilmu hisab tahu bahwa rata-rata sebulan terdiri dari 29,53 hari. Maka perlu 11 tahun kabisat dalam periode 30 tahun. Tambahan hari per bulan adalah 0,03 hari untuk mencapai durasi bulan yang tepat 29,53 hari. Bukan angka bulat. Padahal hari itu harus bulat. Dalam Islam, hari dimulai dari Maghrib ke Maghrib. Akibatnya, batas hari kalender Islam, setiap bulan bergeser terhadap batas tanggal internasional.
Hisab imkan rukyat yang tersederhana adalah Ijtimak Qobla Ghurub. Jika ijtimak terjadi sebelum maghrib, maka diasumsikan hilal sudah muncul. Kriteria ini pernah digunakan Persis tahun 1990-an. Kemudiam berpindah ke Imkanur Rukyat. Belakangan muncul hisab Wujudul Hilal, lalu Imkanur Rukyat 238 lalu 364.
Persoalannya, prediksi hilal tidak sama dengan gerhana. Sekalipun Astronomi menunjukkan hilal sudah jaiz terlihat, keterlihatannya masih tergantung Baiknya pengamatan dan Cuaca. Syarat ABC.
Kalau pengamat memiliki masalah visibilitas, atau posisinya ke barat terhalang gunung, maka Hakim bisa menolak. Demikian juga bila ternyata di ufuk barat ada awan tebal, sekalipun di atas lokasi cuaca cerah.
Ijtima’ bulan Syawal kali ini jatuh pada Kamis, 20 April 2023 pukul 11:13 WIB. Karena sudah 29 Ramadhan, Kamis sore itulah rukyatul hilal dilakukan. Adaikata pengamatan dipersiapkan baik dan cuaca mendukung, keterlihatan hilal tinggal tergantung faktor A. Jadi hisab ini hanya akan menentukan tempat mana hilal jaiz dan mana mustahil terlihat. Tidak menentukan mana hilal wajib terlihat, karena masih ada faktor B dan C.
Persoalannya, wilayah jaiz inipun ikhtilaf kriterianya. Dulu Indonesia pakai kriteria 238 (2 derajat tinggi, 3 derajat elongasi, 8 jam umur bulan). Sebenarnya kriteria ini kurang ilmiah, karena mengandalkan klaim kesaksian masa lalu, ketika ada hilal syari (disahkan hakim) saat tingginya baru 2 derajat. Sekarang yang diadopsi 364 (3 derajat tinggi dan 6,4 derajat elongasi). Kriteria ini lebih ilmiah, karena mempertimbangkan kontras cahaya bulan yang lemah.
Karena kali ini masih di bawah 3 derajat, maka klaim keterlihatan hilal kemungkinan akan ditolak, dan sidang itsbat akan memutuskan lebaran Sabtu. Sedang Muhammadiyah memang dari awal hanya memakai hisab wujudul hilal, jadi sudah memutuskan lebaran Jumat.
Itsbat lokal (matla) ini secara fiqih sesuai madzhab Syafii. Dulu berabad-abad, karena [masalah] telekomunikasi, semua rukyat praktis lokal. Walaupun tiga madzhab besar yang lain tidak membatasi matla, namun cakupannya baru menjangkau satu wilayah kekuasaan hukum, belum seluruh dunia.
Untuk seluruh dunia masih ada persoalan 24 zona waktu, yang di ujungnya tetap akan berbeda hari, sekalipun melihat matahari di sore yang sama.
Namun untuk setengah dunia di Timur Atlantik, ketika hisab lokal Indonesia masih di wilayah mustahil, sedang di Timur Tengah di wilayah jaiz, akan ada kemungkinan penganut rukyat yang mengikuti hasil rukyat Timur Tengah. Walhasil yang berlebaran Jum’at akan lebih banyak dari sekedar pengikut Muhammadiyah.
Mudah-mudahan nanti 123 titik tempat Rukyatul hilal di Indonesia bisa terlihat salah satu saja, maka yang melihat disumpah oleh hakim maka berhari raya hari Jumat tanggal 21 April, tetapi kalau tidak ada yang melihat maka disempurnakan Ramadhan 30, maka hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu tanggal 22 April 2023, ternyata setelah dilakukan rukyatul hilal 123 titik tersebut, ternyata tidak satupun terlihat termasuk Sumatera Barat. Maka 1 Syawal jatuh pada hari sabtu tanggal 22 April 2023, maka terjadi perbedaan dianggap sebagai warna baju sama-sama dipakai sebagaimana yang disabdakan Nabi Ikhtilapu Ummati Rahmah (Perbedaan pendapat itu dijadikan rahmat).
Maka dapat disimpulkan yang metode melalui rukyah ijtihadi, melalu hisab juga ijtihadi dan yang melalui rukyah dan hisab juga ijtihadu (seperti yang dilakukan Pemerintah Brunai, Indonesia, Malaysia, Singapura (MABIM) saat sekarang ini).
Ketiga-tiga nya bersumber dari ayat “Pamansyahida mingkummusyahro falyasumhu” “kalau bulan sudah terlihat puasalah” bagi yang menggunakan Hisab “syahida” itu dengan ilmu pengetahun” yang menggunakan rukyah “syahida tersebut dengan melihat bulan“ sebagaiman dengan ditambah dengan hadis Rasul “Summu li rukyah wa aftiru li rukyah” “Berpuasalah dengan melihat bulan, dan berhari rayalah dengan melihat bulan”.
Maka diharapkan, tidak ada lagi yang mengatakan pendapatnya saja yang benar. “Wallahua’lam bishawwab” “Allah yang lebih tau dengan yang benar”. ***
Penulis adalah Ketua BHR Provinsi Sumatera Barat