Oleh Masud HMN *)
Sulit untuk menghilangkan sepuluh tahun jejak dari aktivitas yang terjadi masa petahana yang berkuasa. Sebagaimana kita ketahui banyak yang ditinggalkan rekam jejaknya. Presiden Joko Widodo misalnya telah meninggalkan pelbagai warisan, mulai dari yang positif dan yang negatif.
Studi rekam jejak dengan pedahulu itu kita sebut legacy dangan makna popular result of past event. Dampak dari pristiwa masa lalu. Mulai kegiatan ekonomi, politik dan budaya.
Bisakah diremehkan begitu saja. Karena ada konsep perubahan baru. Yang lama ditingglkan.
Makna legacy seperti yang diungkapkan kamus Oxford Languages yaitu “The living impact of particular event, action. The left us legacy of builidings that are both innovative architectual creation and genuine works of art.“ Yakni sebagai result of living (ragam peristiwa kehidupan).
Berbicara hubungan itu dengan petahana penguasa terdahulu dengan itu kita menyempurnakan Indonesia menjadi ideal. Satu demi satu poin kita kumpulkan yang baik, meninggalkan segala yang tidak baik. Misalnya kita temukan demokrasi Pancasila sebagai warisan masa lalu.
Bagaimana Pancasila menjadi konsep yang ideal. Lantaran ada era di mana praktek Pancasila  tidak sesuai dengan orsinilnya. Misal Pancasila dengan demokrasi liberal, lalu kita benahi.
Mohammad Natsir dengan pemikirannya mengeluarkan Mosi Integral Natsir. Meluruskan konsep demokrasi persatuan, dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila tidak, bisa-bisa demokrasi Pancasila menjelma jadi bukan demokrasi yang kita anut.
Dalam buku yang dieditori Profesor M. Ani Afzal dkk. Mencatat kontribusi Mohammad Natsir sebagai personal. Dalam jajaran tokoh dalam era akhir abad 20 menjelaskan hal itu panjang lebar. (Mohammad Natsir Personality and as National and International Thought Leader 20th, New Delhi India, 2023)
Sumbangan petahana seperti yang diberikan Mohmmad Natsir menjadi legacy pemikirannya bagi orang di belakangnya. Berharga sekali. Untuk menjadai rujukan demokrasi.
Demikianlah yang kita inginkan. Perbedaan pendapat demokrasi mestilah dengan pegangan dasar. Kalau ada demokrasi yang cacat, itulah akibat kita tidak mengkaji legacy dari pendahulu kita.
Contoh yang lain misalnya dari Mohamad Hatta yang berbeda dengan Presiden Sukarno. Yaitu tentang persatuan menurut Sukarno segala paha mtermasuk komunism. Bagi Bung Hatta komunis tidak termasuk paham demokratis. Karena paham komunis bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Berke-Tuhanan Maha Esa, komunis tidak ber-Tuhan.
Demikialah arti perubahan legacy bagi kita. Perubahan karena harus berubah karena pikiran kia. Aku ada karena aku berpikir. Jadi tidak beku itu ke itu saja.
Bagi yang memandang legacy dalam pikiran demikian maka marilah kita terus maju. Terus bergerak ke masa depan. Menyempurnakan yang belum sempurna dari petahana. Maju terus!
Jakarta, 8 Agustus 2024
*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta