Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lelaki Itu Bernama Harun Masiku

Oleh DR Mas ud HMN*)

Lelaki itu bernama Harun Masiku. Ia adalah calon anggota legislatif dari PDIP daerah pemilihan Sumatera Selatan. Ia menghilang sejak 6 Januari 2020 dan belum ditemukan sampai sekarang. Ia terlibat perkara suap Komisioner KPU yang bersangkutan sekarang sudah menjadi tersangka. Kapan KPK dapat menangkapnya? Tidak ada yang tahu.

Indikasinya Harun Masiku diduga memberi suap pada Wahyu Komisioner KPU meloloskan dia menjadi anggota legislatif melalui penggantian antar waktu (PAW) dari Nazaruddin Kemas yang meninggal dunia. Wahyu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 8 Januari. Harun Masiku sendiri menghilang sebelum Wahyu ditangkap dan yang bersangkutan pergi ke Singapura.

Tetapi ada berita sesungguhnya Harun Masiku masih berada dalam negeri. Pasalnya, terjadi kekeliruan dokumen imigrasi atau error system. Kesimpangsiuran informasi di sistem imigrasi membuat Menteri Hukum dan HAM marah terhadap simpang siurnya Harun Masiku yakni apakah masih dalam negeri atau sudah lari ke luar negeri. Sehingga Harum Masiku harus dicari (Kompas, 1 Februari 2020).

Istrinya sendiri Huda membenarkan ada kontak telepon nomor pribadinya pada 8 Januari bahwa ada di Jakarta, namun kemudian tidak ada kontak lanjutan karena telepon tersebut sudah non aktif.

Adanya pencarian Harun Masiku yang buron hubungan dengan bobolnya sistem imigrasi untuk mencekal orang bermasalah yang berbuntut panjang. Pihak penegak hukum dan publik meminta pertanggungan jawab Menteri Hukum dan HAM. Kok sistem imigrasi bisa eror. Selain itu kasus ini berkaitan dengan suap di KPU dalam menempatkan Harun Masiku menjadi anggota DPR.

Dalam hal ini setidaknya ada 3 variabel, yaitu: (1) Soal suap politik KPU, (2) Kaitan PDI Perjuangan dengan buronnya Harun Masiku, dan (3) Fungsi penegakan hukum KPK sebagai bagian pola kerja pengawasan dan pemberantasan suap dan korupsi. Tentu tidak mudah dan dapat berjalan sesuai fungsinya. Ada Menteri Hukum dan HAM, ada KPK dan ada KPU yang semuanya harus bekerjasama. Itu harapan rakyat. Sayangnya itu tak terjadi. Bahkan jauh panggang dari api.

Variabel pertama soal suap politik di KPU. Sejauh ini terdapat keterlibatan KPU dalam menjemen pelaksanaan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang diusulkan partai yang bersangkutan nyatanya prosesnya dilakukan dengan suap uang.

Variabel kedua, kaitan buronnya Harun Masiku dengan PDI Perjuangan adalah karena anggota partai, yang memang didukung penuh yang diduga mendapat perlindungan partai. Sehingga  menjadikan Sekjen PDI Perjuangan dipanggil oleh KPK. Terdapat indikasi partai negatif pada lembaga KPK.

Variabel ketiga fungsi penegakan hukum KPK yang belum mantap sebagai penegakan hukum yang standar prosedur. Kedatangan petugas KPK ke kantor PDIP tidak sesuai hukum acara. Sehingga menjadi masalah di lapangan. Yang semestinya tidak boleh terjadi.

Dari tiga variabel di atas seharusnya jalan bersama dalam satu kepastian dengan fungsinya masing-masing, tidak terjadi. Suap politik berkaitan buronnya tersangka, tidak berfungsi penuh hukum acara oleh KPK. Inilah kenyataan realitas sekarang ini.

Pertanyaannya akankah kasus ini berakhir dengan baik. Artinya tidak berkepanjangan. Sebab dengan mengambil kasus Harun Masiku terdapat pembelajaran sangat berharga.

Jawabannya sekali lagi kita harus belajar dengan kasus ini. Karena apa karena merupakan suap politik yang terang benderang. Mentransaksikan kursi legislatif.

Syukurlah Menteri Hukum dan HAM melakukan intropeksi ke dalam jajarannya. Tidak mentolerir jajaran imigrasi menyatakan error sistem untuk mengelak atau membela diri. Lalu memecat Dirjen Imigrasi. Yang notabene Menteri Hukum dan HAM memang anggota partai politik yang berkuasa.

Sekarang tinggal KPU, dan KPK apakah mau melakukan pembelajaran dengan intropeksi intern jajarannya untuk melakukan yang terbaik. Kedua lembaga memikul beban berat. Sekarang  menanti mereka.

Bagi KPU sekarang tantangannya dengan terlibat komisioner untuk suap kasus Harun Masiku. Bukan itu saja, KPU masih memikul beban sebelumnya. Yaitu dalam Pileg dan Pilpres lalu ada  600 petugas Pileg dan Pilpres yang mati. Pertanggungan jawab siapa? Bukankah KPU yang bertanggung jawab? Bagaimana ceritanya. Rakyat mau tahu.

Begitu juga beban KPK tidak ringan. Pelarian Harun Masiku harus ada kepastian akhirnya. Tidak ramai hanya pada konferensi pers dan pernyataan rilis media massa. Sebab seandainya  KPK gagal, sejarah akan mencatat negatif sepanjang masa.

 

Jakarta, 2 Februari 2020

 

*) Penulis adalah Doktor Dosen pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles