Mengenal pemimpin China Nasionalis Liang Qichao (1873-1929) pada masa kini penting. Soalnya daratan China berada dalam genggaman komunis di bawah Partai Komunis China (PKC) pimpinan Presiden Xi Jinping harus melihat masa lalu. Mengingat dua China sekarang ini yang satu Republik China (daratan) yang komunis dan satu lagi China kepulauan yang nasionalis atau jika di Indonesia disebut dengan China Taiwan. Dua China itu berbeda dalam pergaulan komunitas internasional. Lalu, bagaimana memahami sosok Liang Qichao dan Xi Jinping?
Pada 4 Juli 2021 lalu, Xi Jinping menjadi pusat perhatian dunia saat merayakan 100 tahun Partai Komunis China karena tak seorang jua level top menyertainya. Dia merupakan figur tunggal ditetapkan presiden seumur hidup yang nampaknya hadir dengan tegar. Paling tidak di hari nasional bersejarah itu, tak kurang tak lebih Megawati Soekarnoputri dari Indonesia, juga menyampaikan secara khusus ucapan selamat kepada Xi Jinping.
Lain halnya dengan Liang Qichao tokoh China Nasionalis abad lalu yang dikukuhkan sebagai Bapak Nasonalis China. Nama dan ucapannya merakyat dan terus terngiang di telinga pendukungnya hingga kini. Seperti ditulis Stand Grant yang dipublikasikan kantor berita AP (Associated Press 4 Juli 2021).
Sebab itu tidak mungkin untuk memahami China hari ini tanpa mengetahui titik mula pemerintahan awal abad 20 dan siapa tokoh utama menjadi pencetus ide menembus masa gelap bangsa China.
Di sinilah peran Liang  Qichao membangun China modern, melintasi era bergolak perang, yang dilanjutkan revolusi, pembunuhan massal dan kekerasan politik. Perkembangan inilah kemudian memunculkan Xi Jinping (65) Presiden China sekarang ini dengan menempuh jalan dengan ideologi komunis. Sementara Liang Qichao meletakkan jalan nasionalis bagi pengikutnya untuk kedaulatan Taiwan nama lain dari China Nasionalis.
Ia sendiri dalam dasar pikirannya masa itu, menginginkan Dinasti Qing berlanjut namun dengan pembaharuan dan reformasi, ia tinggal di Jepang dan kemudian di Kanada. Ia juga melakukan pertemuan dengan pemimpin Australia di bawah Perdana Menteri Edmund Burton.
Sebagai aktivis Liang Qichao menolak pemikiran individualis dan kapitalis barat. Ia mengajukan ide baru yaitu membangun dengan kekuatan rakyat, menjauhkan dominasi, eksploitasi dan korupsi.
Liang menyadari watak tradisi masyarakat China terdapat kebiasaan suap dan korupsi. Dia menolak suap dan korupsi tersebut. Karena suap, korupsi adalah moral buruk yang merupakan kelemahan.
Ia percaya watak tradisi China dengan moral korup tidak mungkin sejalan dan capable dengan demokrasi. Mengingat ketidakcocokan dengan demokrasi China ada pada dua posisi satu mata uang itulah orang Asia yang sakit.
Ada tulisan yang menarik Jeremi Chien, intelektual China menyatakan bahwa negara barat punya andil pada kehadiran China sekarang. Yaitu setelah perang dunia kedua, dengan kekalahan Jepang dan Jerman, negeri tirai bambu itu mendapat peluang. Tanpa banyak berkorban untuk kemenangan sekutu, China berubah jadi negara komunis yang kuat.
Kata Joreme Chien, berbasis sejarah penggalan masa 1842-1942, hubungan Barat dan China memang unik. Yaitu saling kerjasama terutama masa perang dunia kedua dengan Jepang di Asia dan Jerman di Eropa terjalin hubungan yang sangat baik. Setelah itu berubah, Barat punya ketidakpercayaan persahabatan (distrust friendly).
Memang tidak relevan untuk mepersoalkan mengurangi peran internasional China, tetapi pihak Barat tetap memanadang China sebagai tipe mitra kurang dapat dipercaya dan dengan demikian harus tidak diberi tempat atau dikurangi peranannya di dunia.
Dari persfektif Indonesia, penulis berpendapat setuju dengan tinjauan Barat, yakni China komunis sebagai mitra kurang dapat dipercaya. Ini tercermin dari gelagat negara tirai bambu tersebut di masa lalu.
Jakarta, 8 Juli 2021
*) Dr Masud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com