Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin, 16/10/2023 yang mengabulkan gugatan ‘batas usia capres-wapres’ yang dilakukan seorang yang bernama Almas. Putusan MK menjadi bulan-bulanan makian publik. Almas sebagai pemohon gugatan ke MK mengenai batas usia capres-cawapres yang dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf q dikatakan batas usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun.
MK sebelumnya telah menolak gugatan yang sama seperti Almas yang diajukan oleh lima pemohon. Menghadapi gugatan pemohon Almas, MK tiba-tiba berubah sikap dalam memutuskan gugatan perkara No.: 90/PUU-XXI/2023. Empat Hakim dissenting opinion, dan lima Hakim sepakat mengabulkan gugatan Almas.
Siapakah Gerangan Almas itu?
Almas, nama lengkap Almas Tsaqibbirru Re A Almas seorang mahasiswa UNS (Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret). Mengajukan gugatan atau sebagai pemohon perkara ke MK mengenai ‘batas usia capres-cawapres’. Yang menarik, mengapa Almas mengajukan gugatan tersebut, karena dirinya sebagai seorang pengagum Gibran Rakabuming Raka-Walikota Solo.
Atas dasar hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap Walikota Solo-Gibran yang dirilis oleh Program Pasca Sarjana dan Program Magister Administrasi Publik Universitas Slamet Riyadi Surakarta sebagai argumentasi data yang dianggap akademik, yaitu, 79,3% responden mengaku puas dengan kinerja Gibran, dan 93,5% menyatakan Gibran merakyat, jumlah respon sebanyak 550 orang.
Yang menarik adalah Almas-Mahasiswa UNS tersebut rupanya tidak terdidik dan atau tidak terlatih metodologi akademik, sehingga data survei tidak diuji lagi kevalidan den kebenarannya, main telan dan harga mati. Ataukah memang Almas adalah seorang mahasiswa yang bermentalitas pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan?
Potensi ke arah tersebut bisa menjadi pembacaan jika kita melihat begitu saja percaya dengan hasil survey yang sangat amat tidak rasional, sulit dipahami dengan metodologi akademik, logika dan akal waras, terkecuali survei itu adalah order dan Almas sebagai pemohon juga bagian dari by order, by desain.
Metodologi akademik mempertanyakannya, seperti apa pertanyaan yang diberikan kepada responden, sehingga menghasilkan 79,3% responden mengaku puas dengan kinerja Gibran Rakabuming Raka, dan 93,5% menyatakan Gibran merakyat, dengan jumlah respon sebanyak 550 orang tersebut? Mengapa tidak menghasilkan tingkat kepuasaan 100%, dan Gibran yang merakyat 100% saja? Malukah jika angka tersebut dimunculkan? Respondennya dari segmen apa saja yang berjumlah 550 responden tersebut?
Kita masih yakin UNS sesungguhnya telah dengan ketat mengajarkan metodologi akademik kepada para mahasiswanya agar bisa bernalar akademik, bisa menghasilkan out put intelektual publik akademik setelah lulus dari penggogodan di ‘kawah candradimuka’ intelektual akademik.
Metodologi akademik mengajarkan, untuk menguji ulang semua pernyataan kebenaran, asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, hasil surve, data atau informasi yang diterima, karena dalam metodologi akademik dan kewajiban moral akademik (ilmu pengetahuan) adalah harus menyangsikan semua hal atau semua hal harus dipertanyakan kembali sekalipun itu sudah menjadi teori atau literature.
Ilmu pengetahuan berkewajiban untuk melakukan mengujian ulang atas semua hal yang harus disangsikan tersebut. dengan tujuan untuk menghasilkan keshahikan. Sebagai seorang mahasiswa, bukan main telan saja. Sungguh memalukan.
Meski begitu, kita tidak serta merta bisa menyalahkan UNS hanya lantaran Almas adalah seorang mahasisa UNS, karena memang tidak semua produk Perguruan Tinggi (Pendidikan Tinggi-Kampus) ‘bisa menjadi’ ‘intelektual publik akademik’, dan tidak akan menghasilkan logika dan akal waras dalam kerawasan jika ‘mentalitasnya bobrok-ambruk’. Produk Pendidikan Tinggi, tidak bisa menjamin nalar akademiknya bisa berfungsi atau bisa diaktifkan dengan baik dan benar. Lagi-lagi, itu problemnya adalah mentalitas.
Yang kita sesalkan adalah nalar, logika berpikir ke-5 Hakim MK yang mengabulkannya, sehingga sebagian publik menjadi bingung dan terheran-heran. Bingung dan terheran-heran tersebut, karena menggunakan nalar akademik, logika dan akal waras. Meski, kebingungan tersebut juga dilontarkan Waka MK Saldi Isra. Publiknya bingung empat Hakim MK-nya juga bingung. Jadi sama-sama bingung, bukan?
Open Legal Policy
Putusan MK menjadi perdebatan dan persoalan publik yang meluas, terutama di kalangan intelektual publik akademik. Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017, menjadi tafsir ulang dan menjadi norma baru MK. Amar putusan MK No.: 90/PUU-XXI/2023 a qua menyatakan: Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara RI Tahgun 2017 Nomor 182, tambahan Lembnaran Negara RI Nomor 6109) yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum ter,masul pemilihan kepala daerah”.
Sebelumnya putusan MK No.: 29-51-55/PUU/XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas dan tegas menyatakan bahwa hal ihwal usia dalam normna pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU, sehingga semua permohon gugatan ditolak dan atau tidak dikabulkan MK.
Saldi Isra yang merupakan salah satu Hakim MK yang sekaligus sebagai Waka MK mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK yang sangat cepat. Hal tersebut jauh dari batas penalaran wajar, bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 hguruf q UU No. 7/2017.
Saldi Isra: saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion), sebab sejak menapakkan kaki sebagai Hakim MK di gedung MK pada 11/4/2017, sekitar 6,5 tahun yang lalu baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar (sumber: berbagai pemberitaan yang dlansir media atas statemen Prof. DR.-Hukum Tata Negara Saldi Isra).
Pernyataan Saldi Isra bisa kita pahami atas kegelisahannya yang memuncak dan tak bisa disembunyikan lagi. Meski ada yang mengatakan, Saldi Isra yang Prof.DR, dan Waka MK saja bingung apalagi kita yang awam.
Meski begitu, publik lainnya tidak merasa bingung dan sangat paham betul apa yang terjadi dalam amar putusan MK, karena sudah bisa terbaca sejak awal ketika menolak ke-5 pemohon sebelumnya dengan materi gugatan yang sama.
Kebingungan Saldi Isra, karena diirinya menggunakan logika dan akal waras dan nalar akademik sedangkan ke-5 lainnya menggunakan nalar politik-kepentingan, sehingga pasti bingung. Pasti mengatakan, aneh yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran wajar. Jika tidak menggunakan logika dan akal waras pasti tidak akan bingung atau tidak sebingung sang Profesor Doktor yang bernama Saldi Isra yang masih waras.
Yang masih punya logika dan akal waras menjadi tidak bingung, karena apologi yang dikemukakan oleh Anwar Usman-Ketua MK yang sekaligus sebagai representasi dari 5 Hakim MK lainnya yang seia-sekata mengabulkan pemohon Elmas.
Almas, telah berterus terang, bahwa dirinya adalah pegangum ‘Gibran’ anak sang Presiden Jkw yang sekaligus adalah keponakan Ketua MK, dan pemohon juga mendalilkan hasil survey 79,3% responden mengaku puas dengan kinerja Gibran Rakabuming Raka, dan 93,5% menyatakan Gibran merakyat. Konkret betul itu.
Amar putusan yang dibacakan langsung Ketua MK Anwar Usman megatakan, bahwa MK berhak menafirkan ulang atas norma yang dimaksudkan dalam Pasal 169 huruf q. Dalil yang dikemukanakan tersebut sekaligus mematahkan logika dan akal waras Saldi Isra dan ke-3 Hakim lainnya.
Meski Saldi Isra memberi penegasan ulang, bahwa MK sebelumnya, secara eksplisit, lugas dan tegas menyatakan bahwa hal ihwal usia dalam normna Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU, sehingga semua permohonan gugatan pemohon ditolak dan atau tidak dikabulkan MK atas Pasal 169 huruf q dalam perkara nomor: 29-51-55/PUU/XXI/2023.
Tafasir ulang MK yang dimobilisasi Ketua MK Anwar Usman-ipar Presiden Jkw membatalkan semua argumentasi MK sebelumnya, dimana Open Legal Policy adalah otoritas atau kewenangan pembuat atau pembentuk UU, yaitu Pemerintah bersama DPR RI.
Karena putusan MK adalah final dan mengikat, apalah gunanya jika kita ngomong bahwa putusan MK tersebut cacat hukum, kecuali dibawa ke ranah pidana jika ada yang mau membawanya, karena mengandung unsur permufakatan jahat dan atau adanya conflict of interest yang tak bisa terbantahkan, sehingga menghasilkan kebusukan keputusan demi kekuasaan rezim penguasa.
Sekali lagi, Ketua MK-Anwar Usman dengan tegas mengatakan, bahwa MK berhak menafsirkan ulang kembali atas Open Legal Polecy dalam memaknai Pasal 169 huruf q. Artinya, tafsir ulang tersebut adalah membatalkan putusan sebelumnya yang oleh Saldi Isra dikatakan, MK secara eksplisit, tegas dan lugas menolaknya.
Kaum intelektual publik akademik, jauh hari, sebelum MK membacakan putusannya, sudah memprediksi dan menganalisi, bahwa MK bakal mengabulkan gugatan tersebut yang dimaksud, dan menyebutnya bahwa MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi karena kehilangann ruh-marwah dirinya, kehilangan public trust, melainkan kini sudah menjadi Mahkamah Keluarga.
Yang secara politis berarti ada kepentingan dibalik putusan MK tersebut, yakni untuk memuluskan jalan Gibran dalam kontestasi politik kekuasaan melalui mekanisme tersebulung demokrasi yang bernama Pilpres 2024. Publik juga menudingnya, MK sebagai membuka jalan Kedinastian-Jkw atau Politik Dinasti-Kekuasaan.
Atas dasar apologi Ketua MK tersebut, suka tidak suka, mau tidak mau, putusan MK tersebut harus dianggap ‘Suci’ tanpa noda,. Karena sifatnya final dan mengikat, kita harus patuhi dan mentaatinya. Meski begitu, putusan MK tersebut tidak perlu kita hormati, karena itu keputusan yang busuk dan membusk.
MK telah dirawat rezim penguasa. MK telah jatuh tertawan kepentingan Politik Dinasti-Kekuasaan. MK telah merusak kehormatannya sendiri atas keluhuran nilai-nilai dan atau norma-norma yang bisa dicerna oleh logika dan akal waras. Apa hendak dikata, bubur sudah tidak bisa lagi kembali jadi nasi. Katak telah menjadi Harimau dalam melakukan pembenaran.
Keputusan yang keluar dari nalar, logika dan akal waras, meski bisa berkelit dengan mengatakan, bahwa keputusan Hakim adalah berdasarkan keyakinan yang ia yakini bahwa itu benar. Meski begitu, ada banyak fakta keyakinan para Hakim dalam memutuskan perkara ‘tertawan kekuasaan’ dan atau ‘terbelenggu kedaulatan uang’., dan itu tak bisa terbantahkan lagi.
Fakta konkretnya, Hakim (konon Wakil Tuhan) yang diyakini benar tersebut merupakan kebenaran yang belum tentu menjadi kebenaran yang nyata, karena pembenaran atas kebenaran yang diyakini tersebut bisa jadi itu merupakan kebenaran konsensus, bukan karena kebenaran hakiki atas kebenaran yang adil dan beradab atas nilai-nilai kebenaran yang menjadi pembenaran tersebut.
Negeri ini memang sudah gila, bahkan kotor dan membusuk. Sebagai fakta konkret yang terjadi pada putusan MK yang final dan mengikat tersebut terjadi pada era Ketua MK Aqil Mochtar, meski dalam putusan tersebut terindikasi permufakatan jahat atau kebusukan kebenaran dan keadilan.
Putusannya tetap final dan mengikat, tidak bisa diganggu gugat. Tetapi, aneh tapi nyata bin ajaib, Aqil Mochtar sebagai Ketua MK dinyatakan terbukti bersalah dan divonis seumur hidup, tetapi putusannya tetap diaggap sakral, suci, final dan mengikat. Begitu juga Hakim MK-Patrialis Akbar divonis bersalah, putusan MK-nya tetap final dan mengikat. Ini namanya kita sudah gila, bukan, ataukah memang sudah menjadi negeri gila, gila-gila-an?
Putusan MK pada akhirnya menjadi bulan-bulanan intelektual publik akademik, bahkan MK dianggap sudah berubah, kini menjadi Mahkamah Keluarga. Benarkah itu, dan bagaimana pembacaan untuk menguatkan logika dan akal waras, memang MK dalam putusan ini bukan lagi sebagai Mahkamah Konstitusi, melainkan sudah sebagai Mahkamah Keluarga, meski singkatannya tetap sama; “MK” juga.
Mahkamah Keluarga
Apa yang bisa didalilkan untuk mengatakaan atau menjelaskan pembenaran atas kebenaran fakta bahwa Mahkamah Konstitusi telah menjadi Mahkamah Keluarga yang diperbincangkan publik? Sangatlah sederhana untuk bisa melakukan pembacaan bahwa MK telah menjadi Mahkamah Keluarga, antara lain:
Pertama, Ketua MK-Anwar Usman adalah ipar dari Presiden Jkwi dan Gibran adalah anak Presiden Jkw, yang berarti adalah keponakan Ketua MK Anwar Usman. Yang menjadikan putusan KM tersebut sarat dengan conflict of interest untuk memuluskan politik Gibran-Jkw.
Kedua, gugatan yang dikabulkan adalah permohonan gugatan dari Almas-Mahasiswa UNS yang menyebut nama Gibran yang dengan tegas mengatakan sebagai pengagum Gibran untuk legal standingnya, dan dalam gugatannya mengedepankan argumentasi hasil survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap Walikota Solo-Gibran yang dirilis oleh Program Pasca Sarjana dan Program Magister Administrasi Publik Universitas Slamet Riyadi Surakarta sebagai argumentasi data yang dianggap akademik.
Ketiga, benang merah gugatan dengan adanya conflict of interrst dari Anwar Usman sebagai Ketua MK tak bisa terhindari, dan tak bisa terbantahkan. Sehingga Ketua MK berapologi, bahwa MK berhak menafsir ulang dalam hal Open Legal Policy yang dulu dikatakannya sebagai harga mati pembentuk UU.
Jika MK konsisten, mengapa menolak ke-5 prmohon sebelumnya dan juga menolak gugatan Presidential Threshold 0%, sebanyak 31 kali pemohon. Salah satu pemohonnya adalah Lieus Sungkharisma yang dipatahkan dengan argumentasi legal standing pemohon dan Open Legal Policy yang didalilkan, itu adalah otoritas pembentuk UU, bukan MK.
Keempat, Saldi Isra dalam dissenting opinionnya yang dibacakannya dengan sangat tegas, meski menggunakan bahasa yang metoforis, yaitu: MK dalam sekelabat telah merubah pendiriannya. Sebelumnya MK secara eksplisit, lugas dan tegas mengenai Open Legal Policy yang menolak permohonan gugatan sebelumnya dalam pokok petitum yang sama dan sebangun dengan Almas-Mahasiswa UNS tersebut.
Penjelasan Saldi Irsa yang metaforis tersebut menguatkan benang merah, dimana gugatan tersebut menyangkut kepentingan ‘Ipar’ dan ‘Keponakan’nya untuk memuluskan jalannya Politik Dinasti-kekuasaan.
Kegundahan Saldi Irsa tersebut bisa kita mengerti dan pahami sebagai orang yang punya logika dan akal waras dengan nalar akademik yang masih terjaga, karena Saldi Irsa tidak ingin ada pembusukan MK, yang akhirnya menghasilkan kebusukan dalam putusan MK yang final dan mengikat tersebut.
Saldi Isra, tidak ingin MK membusuk di tangan rezim penguasa, sehingga mengatakan dengan tegas: ‘dalam sekelebat MK berubah pendirian’ dan di luar batas penalaran wajar. Bayangkan itu semua terjadi dalam sekelabat saja.
Logika dan akal waras mana yang bisa membenarkan putusan MK tersebut. Satu-satunya pembenaran atas kebenaran consensus adalah MK berhak menafsir ulang atas norma Pasal 169 huruf q, titik.
Kelima, pembenaran terhadap tafsir ulang Pasal 189 huruf q tersebut, karena MK mengantongi legalitas negara bahwa putusan MK final dan mengikat, sekalipun dalam prosesnya mengalami pembusukan penalaran akademik, logika dan akal waras.
Ketua MK dalam putusannya mengatakan, ada perkembangan-dinamika pemikiran dalam masyarakat. Seolah-olah ada dinamika-perkembangan pemikiran yang brilian yang melesat jauh, sehingga MK terkagum-kagum. Lantas, dijadikan argumentasi pokok atas putusannya, yang oleh Saldi Isra dikatakannya jauh dari batas penalaran wajar.
Keenam, jika saja putusan MK tersebut diberlakukan pada Pilpres 2029, publik akan berkata lain. Atas dasar putusan MK tersebut diberlakukan sejak diputuskan dan berlaku untuk Pilpres 2024, hal tersebut menunjukkan benang benang yang jelas, tegas dan gamblang, bahwa putusan MK tersebut tak terbantahkan lagi adanya pembusukan demi membangun eksistensi Politik Dinasti-Kekuasaan rezim penguasa.
Ketujuh, frasa \atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasul pemilihan kepala daerah’ menunjukkan dan bahkan mempertegas untuk kepentingan Politik Dinasti-Kekuasaan Presiden Jkw, memuluskan Gibran menjadi cawapres dalam Pilpres 2024.
Frasa tersebut tidak bisa terbantahkan lagi keniscayaan atas kebenarannya, kecuali jika Presiden tidak mendorong dan atau mencegah Gibran untuk tidak ambil bagian dalam Pilpres 2024. MK mungkin masih bisa terselamatkan akan harkat dan martabatnya. Fakta konkretnya, Gibran menjadi Cawapres.
Kedelapan, Ketua MK pada putusan sebelumnya tidak terlibat dengan alasan menghindari adanya conflict of interest, tetapi ternyata dalam putusan sekarang, Ketua MK masuk dan terlibat dalam penagambilan putusan MK.
Fakta konkret tersebut, tidak bisa terbantahkan adanya conflict of interest untuk memuluskan jalannya Gibran sang keponakan Ketua MK. Fakta konkret tersebut juga menunjukkan MK sudah berada di tangan kekuasaan rezim penguasa-Prersiden Jkw demi membangun dan mempertahankan Politik Dinasti-Kekuasaan.
Kesembilan, inkonsistensi MK dengan putusan yang berubah dalam tempo sekelabat, dan Almas sebagai pengagum Gibran dan itu dijelaskan dalam gugatannya, lantas bisa diterima sebagai legal standingnya, dan bahkan gugatannya dikabulkan.
Hal tersebut menunjukkan adanya conflict of interest untuk kepentingan rezim penguasa-Presiden Jkw untuk memuluskan Gibran, karena dalam putusan MK dinayatakan dengan tegas: atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, dimana Gibran sekarang sedang menjadi Walikota Solo.
Kesepuluh, Almas sebagai pemohon dalam gugatas ‘Batas Usia Capres-Cawapres’ di MK, sesungguhnya telah dicabut permohonan gugatannya oleh Almas itu sendiri sebagai pemohon, kemudian diajukan kembali. Ada kepentingan apa? bukankah itu namanya by order-bay desain?
“Seharusnya ketika permohonan gugatan itu sudah dicabut sendiri oleh pemohonnya, MK tidak boleh lagi membahas atau menyidangkan permohonan Alamas tersebut. Ini setelah dicabut kemudian diajukan lagi, dibahas begitu sangat cepat dan dikabulkan’. (Abraham samat Channel: Ahli Hukum Tata Negara UGM Buka Rahasia Penyelewengan Putusan MK Loloskan Gibran).
Ini menunjukkan benang merah yang tegas, bahwa Anwar Usman sebagai Ketua MK adanya konflik kepentingan untuk meloloskan kehendak rezim penguasa, untuk kepentingan Gibran. Fakta konkretnya, gugatan gelombang pertama, MK memutuskan menolak. Gelombang pertama sudah ditolak,
Muncul gelombang kedua yang serupa dalam gugatan, ternyata MK kemudian mengabulkannya. Fakta konkret ini menguatkan seluruh rangkaian bagaimana sebelumnya semua Hakim MK sepakat menolak, kemudian berobah total, 4 Hakim MK plus Hakim-Ketua MK mengabulkannya.
Pada gelombang penolakan pertama, Anwar Usman tidak masuk dengan alasan untuk menghindari konflik kepentingan, dan gelombang kedua (masuk paling akhir) Anwar Usman masuk dalam pembahasan. Jadi konkret betul, untuk meloloskan keponakannya yang bernama Gibran.
Kesebelas, satu-satunya pemohon yang langsung menyebutkan nama Gibran dalam gugatannya, sehingga putusan MK mencerminkan sebuah yuritrokrasi untuk meloloskan keponakannya-Gibran. Legal tandingnya, ia pengagum Gibran, dan diterima legal standingnya seperti itu. Ini sebuah fakta konkret yang tak bisa terbantahkan adanya kepentingan politik rezim penguasa untuk membangun Politik Dinasti-Kekuasaan.
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar menegaskan, palu Hakim sudah lama patah. Kalau Anwar Usman tidak masuk, putusannya menolak. Betapa bogeng wajah MK. Putusan yang menerima tidak ada alasan hukumnya atau tidak punya alasan hukum. Keputusan ini diambil sangat politis.
Nyaris tidak punya logika yang memadai untuk membedakan penyelenggara negara dengan elected official. Konsep elected officialnya bermasalah dalam menafsirkannya. Coba bayangkan, konflik kepentingan dibiarkan. Konflik kepentingannya jelas (Ibid). ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com