Selasa, November 5, 2024

Mahkamah Konstitusi vs Mahkamah Keluarga dan Kedaulatan Uang (Studi Kasus Putusan MK: Batas Usia Capres-Cawapres)

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

MK tidak bisa independen di hadapan proses politik (bisa dibaca dalam dissenting opinion Wahiduddin Adam). Jelas melanggar-pelanggaran besar, karena jelas Presiden menggunakan apaarat negara untuk kepentingannya. Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya, seperti marah dengan mengatakan MK sedang merusak marwahnya sendiri, quo vadis MK (Ibid).

 

Politik Dinasti Kekuasaan

Dalam acara dialog di tv swasta nasional, salah seorang ngotot, tunjukkan kalau ada dinasti politik-kekuasaan. Mana ada, tunjukkan kalau ada. Dalam kengototan tersebut, publik yang masih punya logika dan akal waras pastilah bisa melakukan pembacaan yang tidak tolol dalam kedunguan nalar akademik-pengetahuan.

Rupanya, yang ngotot tersebut belum melek, jika sudah melek tapi tidak mau melihat. Jika sudah melihat lantas pejam lagi. Mungkin belum membaca sejarah politik kekuasaan di negeri ini setelah kita menyatakan kemerdekaannya pada 17/8/1945. Jika sudah membaca ia lupa, tetapi tidak mau membacanya lagi. Maka dalam dialog itu yang penting ngotot dulu, mana ada, tunjukkan!

Politik Dinasti adalah proses pengarahan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan gologan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara. Pengertian umum tersebut mungkin masih sangat samar, bias.

Pengertian yang paling sederhana yang disebut ‘Politik Dinasti-Dinasti Kekuasaan Politik’ adalah kekuasaan yang diturunkan turun temurun dalam hubungan sedarah dengan tujuan untuk mempertahankan tahta kekuasaannya. Jika ‘Dinasti Kekuasaan’ itu dituirunkan pada kerabatnya, itu bertujuan untuk mendapatkan proteksi dalam kekuasaannya.

Politik Dinasti-Kekuasaan meng-ada sejak umat manusia mengenal peradaban kekusaan di muka bumi. Kekuasaan turun temurun itu adalah Bapak-Ibu yang berkuasa kemudian diturunkan kekuasaan berikutnya kepada anaknya dan seterusnya. Politik Dinasti-Kekuasaan merupakan sistem kenegaraan dalam Kerajaan.

Meski telah ada sejak zaman purba, praktik-praktik kekuasaan seperti itu dalam sosiologi kekuasaan disebut sistem Kerajaan, Monartki, yang kini meng-ada juga pratiknya dalam negara yang ‘demorasi-demorasian’.

Dalam sistem negara demokrasi dan Pancasila, sistem Politik Dinasti-Kekuasaa juga meng-ada setelah proklamasi-merdeka. Realitas empiric yang menjadi fakta adalah, jika orang tuanya menjadi pimpinan parpol lantas anaknya harus menggantikan dirinya jika sudah lengser-mati.

Jika menjadi Presiden, anaknya harus dan atau diupayakan untuk menjadi Presiden, pengganti tahta kekuasaan kepresidenan berikutnya. Begitu juga dengan Gubernur, Bupati, Walikota hingga Kepala Desa (Kuwu). Mendalilkannya sebagai ‘trah’ politik atau kekuasaan.

Dalam Politik Dinasti-Kekuasaan berupaya dengan segala cara dan menghalalkan segala cara pula, bagaimana supaya anaknya bisa menggantikannya jika sudah habis masa jabatan kepresidenannya.

Ciri utama dalam Politik Dinasti-Kekuasaan, Presiden dengan semua intrumen dan atau fasilitas negara dimainkannya untuk membangun dan mengoalkan tujuannya, untuk menggantikan dirinya dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaannya. Begitu juga dengan Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa, melakukan hal yang serupa.

Politik Dinasti-Kekuasaan dalam negara demokrasi seperti di kita, tidak seperti dalam sistem Kerajaan, sehingga tetap saja harus melintasi sistem elektoral atau elected (Pemilu). Di negara Komunis seperti Korea Utara, Politik Dinasti-Kekuasaan bisa langsung jatuh ke anaknya jika orang tuanya lengser atau mati atau karena sesuatu dan hal.

Fakta konkretnya adalah untuk mempertahan politik dinasti-kekuasaannya, kekuasaan dari Kim Jong II langsung ke Kim Jong Un-anak (saat dilantik jadi Presiden Korea Utara berusia 27 tahun) Kim Jong II. Dalam sistem Kerajaan, fakta konkretnya seperti,  Raja Salman bin Abdul Azis ke Muhammad bin Salman-anaknya, Dalam negara demokrasi-Pancasila harus melewati Pemilu.

Untuk mengkonkretkan studi kasus, Jkw sebagai Presiden akan berakhir masa jabatannya 2024, sehingga Pilpres harus digelar untuk topeng demokrasi, karena dalam negara demokrasi harus ada Pemilu-Pilpres.

Oleh sebab itu, Presiden Jkw dengan segala upaya, bagaimana caranya Gibran yang masih menjadi Walikota Solo harus bisa mempertahankan kekuasaannya, meski tidak harus ujug-ujug loncat menjadi Capres, tapi harus sabar dulu, menjadi Cawapres, karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan untuk langsung menjadi Capres. Presiden yang terpilih adalah bergantung pada ‘kedaulatan uang’ karena suara rakyat bukan lagi suara Tuhan. Begitu juga dengan Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa.

Untuk mewujudkan itu semua, demi mempertahankan kakuasaan,  tembok penghalang Pasal 169 huruf q harus dirubuhkan terlebih dahulu, sehingga Gibran yang sedang  menduduki jabatan Walikota bisa loncat pagar menjadi Cawapres atau Capres.

Open Legal Opinion harus ditafsir ulang MK, supaya MK berhak menyidangkan pemohon yang mengajukan permohonan gugatan ‘batas usia capres-cawapres’ dalam Pilpres 2024. Artinya, bukan lagi kewenangan pembentuk UU.

Upaya mempertahankan kekuasaan yang harus turun temurun itulah yang disebut dengan Politik Dinasti-Kekuasaan. Lantas, foto diri Gibran disebarluaskan dan dipasang di mana-mana, ditempel di mobil-mobil umum dan pribadi, dan baliho dipasang di jalan-jalan strategis. Tujuannya agar publik mengenalnya, dan itu di seluruh nusantara, untuk bisa tercapai menuju Pilpres menjadi Cawapres atau Capres, setelah tembok MK roboh.

Cara-cara tersebut adalah bagian dari struktur dan konstruk bangunan Politik Dinasti-Kekuasaan yang hendak dicapai dan dipertahankannya. Jika Presiden Jkw tidak punya nawaitu dan atau tidak berhasrat hendak berkuasa atau mempertahankan kekuasaannya, tidak mungkin atau menjadi sangat naif foto Gibran disebar-luaskan ke seluruh negeri, karena Gibran adalah Walikota Solo.  Tentu, cukup di Solo saja supaya bisa dua periode jika Presiden tidak punya niatan membangun Politik Dinasti- Keuasaan.

Karena libido (syahwat) kekuasaannya terus membara dalam ketamakan, maka kekuasaan itu harus dipertahankannya melalui Gibran, meski harus melalui Pilpres. Presiden memaksakan kehendaknya agar setelah lengser dari kekuasaan, kekuasaan tersebut tetap bisa dipertahankan melalui anaknya-Gibran, jika perlu setelah anaknya lantas ke menantunya.

Untuk membangun kontruksi dinasti kekuasaan yang lebih kuat dan lebih besar lagi. Bukan soal layak atau tidak layak, karena ‘kedaulatan di tangan uang’ bukan lagi ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Itulah fakta konkret dari Pemilu kita yang mengklaim sebagai negara demokrasi-Pansacila.

Politik Dinasti-Kekuasaan di negara demokrasi berbeda dengan negara Kerajaan atau Komunis, tetapi hasrat berkuasa atau hasrat hendak berkuasa selamanya tidaklah berbeda. Gibran menjadi diolok-olok dalam (seni) karikatur, meme, tik tok dan lainnya. Ada meme di medsos: Program Indonesia Maju-Maju Anakku-Maju Mantuku, Keluarga Berkuasa, dan seterusnya.

Meski tidak sedikit yang memuja dan memujinya agar kekuasaan bisa dipertahankan, terutama oleh para penerima ‘bansos’, meski akhirnya mencekik leharnya bangsa dan negaranya sendiri, yang pada akhirnya juga akan menceklik lehernya sendiri penerima ‘bansos’, karena negara terbelit hutang dan kesulitan perekonomian bangsa dan negaranya.

Jika saja sistem negeri ini seperti Korea Utara-Komunis, maka secara tak terbanthakan, Gibran meneruskan tahta kekuasaan rezim penguasa secara langsung. Muncullah satire yang mempersonifikasikan Gibran sebagai Kim Jong Un dari Dinasti Kekuasaan Kim Jong II.

Meski begitu, Politik Dinasti-Kekuasaan tidak bisa serta merta otomatis seperti Kim Jong Il ke Kim Jong Un, kendatipun MK telah membuat tafsir ulang Open Legal Policy atas Pasal 129 huruf q untuk memuluskan Gibran. Masih harus melewati apa yang disebut dengan Pilpres dalam sistem demokrasi, meski Pilpres demokrasi topeng.

Jika saja Jkw sudah tidak lagi menjadi Presiden, lantas Gibran maju menjadi Capres atau Cawapres, bukanlah masalah, dan itu terhindar dari persoalan Politik Dinasti-Kekuasaan. Hal tersebut bisa dikatakan bukan dalam pengertian yang dimaksud dengan Politik Dinasti-Keuasaan. Ini pasalnya Jkw masih tegak berdiri sebagai Presiden, sehingga tak bisa terbantahkan lagi bahwa itu teks dan konteksnya adalah Politik Dinasti-Kekuasaan.

Mengapa memaksakan diri, karena jika Jkw sudah tidak lagi menjadi Presiden, tidak bisa lagi memainkan semua intrumen negara dan atau fasilitas negara untuk kepentingan Politik Dinasti-Kekuasaan-Gibran. Jika masih menjadi Presiden bisa berselimut atau memakai jubah kenegaraan untuk wara-wiri, cawe-cawe dan seterusnya, mengatasnamakan tugas negara untuk kepentingan bangsa dan negara. Itu dalilnya.

Apa yang dilakukan Presiden adalah nyata betul, semua instrumen negara dan fasilitas negara dimainkannya untuk mempertahankan Politik Dinasti-Kekuasaan untuk mewujudkan impian kedinastian politik-kekuasaan. Sebagai eksistensi keberlangsungan kekuasaan yang hendak dipertahankannya. Itu yang kemudian disoal intelektual publik akademik.

Upaya di MK, ternyata berhasil dan sukses menggoalkan pondasi untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Sebelumnya sesungguhnya telah ditempuh berbagai upaya dan jalan pintas, seperti merayap dalam senyap memobilisasi APDESI bersama yang menamakan dirinya Relawan Jkw untuk menyuarakan amandemen konsitusi supaya diubah menjadi 3 (tiga) periode masa jabatan Presiden.

Begitu juga dengan diadakannya Musra (Musyawarah Rakyat) adalah untuk menguatkan argumentasi 3 periode dan atau mempertahankan kekuasaannya. Tak ketinggalan menggelar forum relawan. Semua itu untuk mempertahankan kekuasaan.

Presiden dengan sangat enteng tanpa benan moral memberi penjelasan, bahwa dirinya akan tegak lurus pada konstitusi. Padahal, drama dan sandiwara telah dimainkan di panggung arena, yang membuat penonton ada yang terkesima, ada yang terbelalak dan ada juga yang bengong dan geleng-geleng kepala. Jalan terjal itupun kemudian kandas.

 

Kedaulatan Uang

Jika saja mentalitas rakyatnya tidak bobrok-rusak parah, Politik Dinasti Kekuasaan tidak perlu dicemaskan atau dikhawairkan sebagai bencana masa depan bangsa dan negara, dan demokrasi.  Tetapi, karena mentalitas rakyatnya sakit parah-bobrok-rusak parah, menjadikan Politik Dinasti-Kekuasaan menjadi sangat berbahaya, akan membawa bencana-petaka bagi kehidupan bangsa dan negara. Politik Dainasti-Kekuasaan, dimana kedaulan di tangan uang, hanya akan melahirkan pemerintahan yang koruptif-KKN.

Realitas empirik yang menjadi fakta konkret di negeri ini, Politik Dinasti-Kekuasaan akan-selalu melahirkan apa yang disebut dengan perkoncoan, kroni-isme yang berakibat menjadi KKN-isme, Korupsi, Kolosusi dan Nepotisme menjadi paradigmatik politik untuk memperkaya diri dan kerabat-kerabat-kroni-kroninya untuk mempertahankan kekuasaan melalui mekanisme politik electoral.

Bukan lagi untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal tersebut bisa kita lihat potret Istana hari-hari ini. Peng-peng Pengusaha ya sekaligus menjadi Penguasa dan Penguasa yang juga Pengusaha, pinjam istilah Rizal Ramli, di sekelilingnya para oligar.

Ketika kondisi kerusakan mentalitas bangsa (rakyat) makin parah, makin menjadi-jadi, dan dengan mentalitas rakyat semakin buruk rupa-rusak parah-bobrok, Politik Dinasti-Kekuasaan makin tumbuh subur, dan bisa bertahan dalam kurun waktu yang sangat panjang bagi kekuasaan, karena dengan bobroknya mentalitas rakyat, kedaulatan rakyat berada di tangan ‘uang’.

Kedaulatan bangsa dan negara bukan lagi di tangan rakyat, melainkan di tangan ‘kedaulatan uang.’ Money politics menjadi tulang punggung dan penentu kelanggengan Politik Dinasti- Kekuasaan. Dengan money politics, dan semua intrumen dan fasilitas negara bisa dimainkan oleh kekuasaan yang sedang berkuasa. Dengan berbagai paket kebijkan seperti ‘bansos’ menjadikan mentalitas rakyat menjadi bobrok, pragmatis. Yang penting ada uangnya, lagi-lagi uang di matanya. Menjadi gerhana matanya.

Sosiologi kekausaan atau sejarah kekuasaan di negeri ini, para pemimpin negeri ini selalu saja libido hasrat hendak berkuasanya terus menyala-membara, sehingga ingin berkuasa sepanjang hidupnya. Ingin berkuasa: menjadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walokota dan Kepala Desa (Kuwu) ingin berkuasa seumur hidupnya jika konstitusi membolehkannya, dan itu kemudian dilakukan dengan menghalalkan segala cara demi tujuannya tercapai.

Konstitusi dan atau peraturan perundang-undangan yang membatasi kekuasaan, selalu saja digoyang dan ingin dirobohkan dengan mekanisme amandemen UUD’45 dan UU lainnya yang mengatur batas waktu kekuasaan di level Kepala Daerah dan Kuwu. UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf q berhasil dirobohkan. Kepala Desa diperpanjang masa jabatannya. Konkret betul, untuk kekuasaan yang berkuasa itu.

Realitas konkret tersebut menunjukkan atau mencerminkan, bahwa mentalitas para pemimpin republik di negeri ini ingin berkuasa seumur hidupnya dan selalu saja memberhalakan kekuasaan dalam praktik kenegaraannnya, sehingga bangsa dan negera selalu menjadi gonjang ganjing dan terseok-seok dalam peradaban ekonomi, pemikiran-ilmu pengetahuan dan teknologi.

Negara-negara lain sudah memikirkan peradaban, sain dan teknologi, pemikiran-(ilmu) pengetahuan, daya saing dan persaingan antarbangsa-bangsa, kita masih selalu berkutat bagaimana berkuasa seumur hgidup jika konstitusi membolehkannya.

Kita tidak pernah mendengan sejak negeri ini menyatakan kemerdekaannya, pemimpin yang berkuasa lantas ngomong cukup sekali saja jadi Presiden, Gubernurt, Bupati, Walikota dan Kuwu, meski  UU membatasinya dua kali periode. Sekali saja sudah cukup, belum pernah terdengar. Yang jabatannya dilengserkan pun, ingin naik panggung lagi.

Itu hebatnya para pemimpin di negeri ini, tidak tahu malu, tidak tahu diri dan tidak punya kemaluan. Mengapa, karena paham betul, bahwa kedaulatan berada di tangan uang. Suara Pilpres, Pilkada dan Pilwu-Pilkades bukan lagi suara Tuhan, karena bukan lagi suara rakyat yang menyuarakan kebenaran.

Mentalitas calon dan atau para pemimpin kita kalah jauh dengan Nelson Mandela-Afrika Selatan. Nelson Madela cukup sekali saja menjadi Presiden, karena dirinya telah menanamkan-menancapkan pondasi kenegarawanan bagi bangsa dan negaranya, untuk menunjukkan keteladan kekuasaan yang tidak tamak bin rakus bagi dunia, terutama bagi negeri-negeri seperti negeri kita yang rakus dan tamak kekuasaan, sehingga selalu berupaya mempertahan kekuasaannya dengan membangun Politik Dinasti-Kekuasaan.

Nelson Mandela puluhan tahun hidup dalam pengasingan (dibuang) untuk memerdekkan bangsa dan negaranya dari politik apartheid di negeri Afrika Selatan, tapi hanya cukup sekali saja menjadi Presiden. Kiri kanan, depan belakang dan samping, para pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan dan para brutus-brutus mengodanya, tetapi Nelson Madela tidak tergoda. Dirinya ingin menjadi negarawan yang bisa untuk diteladani bangi bangsa dan negaranya.

Sangat jauh berbeda dengan mentalitas pemimpin kita, Soekarno yang juga tidak jauh berbeda dengan Nelson Mandela,  dalam masa colonial,  Soekarno hidup lebih banyak waktu dalam pengasingan, tetapi setelah berkuasa menjadi Presiden, mmendaulat dirinya untuk menjadi Presiden seumur hidup. Jangan melupakan Jas Merah. Jas Merahnya selalu tidak terlupakan setelah dirinya, selalu ditiru untuk tetap ingin berkuasa seumur hidupnya.

Jas Merah ternyata tidak terlupakan, dari Presiden ke Presiden libido hasrat berkuasanya terus membara dan bersemayam dalam dirinya, ingin seumur hidup menjadi Presiden. Dua periode tidak cukup untuk menjadi Presiden.

Sesungguhnya demokrasi itu sendiri telah menghalangi terjadinya Politik Dinasti-Kekuasaan yang dibangun dan atau yang harus dipertahankan dengan menghalalkan segala cara, melibas norna, etikabilitas dan lain-lainnya.

Praktik-praktik Politik Dinasti-Keuasaan lantas memainkan semua intrumen-fasilitas negara karena dirinmya masih menjadi penguasa yang berkuasa. Jika sudah tidak lagi berkuasa, Politik Dinasti-Kekuasaan   bisa menjadi lumpuh, karena kehabisan amunisi untuk mendobrak dan merusak mentalitas reakyat.

Rezim penguasa telah memberikan kontribusi besar dalam kerusakan mentalitas bangsa, rakyat mentalnya menjadi rusak-bobrok. Daya rusak yang luiar biasa itu dikemas dengan paket kebijakan seolah-olah menyelamatkan nasib rakyat yang hidup dalam garis kemiskinan atau wong cilik, yang realitas jumlahnya lebih separuh jumlah penduduk.

Paket kebijakan yang seolah-olah merawat wong cilik tersebut bernama ‘Bansor’ seperti BLT, Rasdog, Raskin dan lain lainnya. Sehingga, ketika rakyat disurvei akan menunjukkan angka puas atau kepuasaan yang 100% jika lembaga survey tersebut tidak malu untuk mengeksposenya ke publik.

Fakta tersebut benar-benar konkret, sehingga jika rakyat ditanya, selalu saja jawabannya menghendaki rezim penguasa sekarang ini bisa seumur hidup menjadi Presiden, karena takut kehilangan ‘bansos’. Rakyat yang bobrok tersebut, tidak mau tahu apakah itu sekedar untuk menjadi topeng untuk bisa melanggengkan kekuasaannya.

Tidak mau peduli juga, apakah ‘bansos’ tersebut dari hutang luar negeri atau dari bermacam-macam pungutan-pajak yang sesungguhnya menjerat lehernya sendiri, tidak mau tahu. Yang penting baginya ‘bansos’.

Untuk itu, mentalitas rakyat yang bobrok tersebut menjadi ladang subur yang harus dirawat dan dipelihara bagi rezim penguasa yang tamak dan rakus kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya dengan Politik Dinasti-Kekuasaan dan atau bagi pempimpin lainnya yang libido hasrat berkauasanya tak pernah padam-mati sepanjang hidupnya.

Dengan kebijakan paket ‘bansos’ telah sukses dan berhasil merusak mentalitas wong cilik, membobrokan mentalitas rakyat, sehingga suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, karena itu suara rakyat yang lahir dari mentalitas rakyat yang bobrok.

Pada akhirnya, dari Pemilu-Pileg ke Pemilu-Pileg, dari Pilpres ke Pilpres, dari Pilkada ke Pilkada, dari Pilkades ke Pilkades hingga ke Pil-RT/RW ke Pil-RT/RW, suara rakyat bukan lagi suara Tuhan (vox populi voxdei) melainkan suara rakyat adalah suara uang. Kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat melainkan di tangan Kedaulatan Uang.

Sungguh menyedihkan negeri ini, dan sungguh mengerikan masa depan bangsa dan negara ini. Seajarah dan waktu yang akan bicara kemudian. Kita tunggu saja apa yang bakal meng-ada di negeri ini. Masyarakat-Rakyat yang bobrok hanya akan melahirkan pemimpin yang bobrok pula. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

 

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles