Jakarta, Demokratis
Wakil Ketua DPD RI Mahyudin berharap kedepan sistem Bikameral parlemen dua kamar bisa berjalan sebagai mestinya untuk menciptakan mekanisme check and balances.
Sejauh ini praktik sistem Bikameral yang dijalankan antara DPR RI dan DPD RI masih jauh dari harapan.
“Sistem Bikameral kita masih jauh dari harapan. Di mana dasar pemikiran pembentukan DPD RI untuk menciptakan check and balances belum tercapai,” ungkap Mahyudin saat bertemu dengan Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita di Gedung PMI, Jakarta, Senin (23/8/2021).
Menurut Mahyudin bahwa dasar pembentukan DPD RI untuk menciptakan check and balances. Namun, alhasil, sampai saat ini kewenangan DPD RI masih terbatas.
Senator asal Kalimantan Timur itu berharap pada Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita dapat memberikan masukan atau saran untuk DPD RI. Sehingga kedepan kita dapat menciptakan sebuah sistem Bikameral yang ideal. “Kita butuh masukan dan saran Pak Ginandjar agar DPD RI bisa lebih baik lagi kedepannya. Tentunya untuk menciptakan parlemen yang ideal,” kata Mahyudin.
Ketua DPD RI periode 2004-2009 Ginandjar Kartasasmita mengatakan DPD RI harus belajar dari sejarah pembentukannya. “Salah satunya, bahwa anggota DPD RI harus memiliki kekompakan dalam perjuangan amandemen,” kata Ginanjar.
Dikatakan, kehadiran DPD RI ini adalah untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam sistem Bikameral. Selain itu, kehadiran DPD RI juga untuk menyuarakan kepentingan daerah-daerah khususnya yang terpencil jauh dari hiruk pikuk kepentingan politik.
“Kehadiran DPD RI untuk mengimbangi, karena Indonesia bukan hanya negara besar tetapi negara yang memiliki keragaman budaya,” jelasnya.
Ginandjar Kartasasmita menilai bahwa telah terjadi ketidakjelasan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi Indonesia dinilai buram karena masih anomali, kita menganut sistem Presidensial tapi juga tidak murni, bukan juga sistem Parlementer.
“Masih buram demokrasi kita. Kita Presidensial bukan, Parlementer juga bukan. Jadi ini demokrasi apa?” paparnya. (Erwin Kurai Bogori)