Kamis, November 14, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Akankah Menjadi Kenaifan?

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

Putusan MK mengabulkan perkara No.: 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia capres-cawapres: ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ berujung Ketua MK Anwar Usman diadukan banyak pihak ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang terdiri dari Ketua Prof. DR. Jimly Asshiddiqie (unsur tokoh intelektual publik), anggota Prof. DR. Bintan R Saragih (unsur akademisi), dan DR. Wahiduddin Adam (unsur hakim MK).

Ada 15 Guru Besar pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administarsi Negara yang tergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Spciety) menyampaikan pandangannya dalam sidang perdana MKMK  atas (dugaan) pelanggaran etik Hakim MK-Ketua MK-Anwar Usaman yang digelar di gedung MK, Selasa, 31/10/2023.

Alasan CALS menyebut Ketua MK Anwar Usman melobi hakim konstitusi untuk mengabulkan perkara No.: 90/PUU-XXI/2023, dan itu sebagai dasar hukum dugaaan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim. Tidak hanya CALS sebagai pengadu, Prof. DR. Denny Indrayana dengan Integrity Law terpisah dari CALS, mengadukan hal yang serupa, begitu juga dengan yang lainnya.

Tuntutan publik tidak saja MKMK mengahsilkan putusan atas pelanggaran kode etik dan prilaku hakim dengan putusan pemberhentian dengan tidak hormat (pemecatan) terhadap Ketua MK Anwar Usman, lebih dari itu, yakni membatalkan putusan perkara No.: 90/PUU-XXI/2023. Akan tetapi, mungkinkah itu akan terjadi?

Jika mencermati secara seksama, menafsirkan dan memahami penjelasan dari salah satu anggota MKMK-Prof. DR. Bintan R. Saragih atas sidang pelanggaran kode etik dan prilaku hakim MK, potensinya api jauh dari panggang, sehingga akan menjadi kenaifan jika kita berharap bahwa putusan sidang etik MKMK akan membatalkan putusan MK tersebut dengan alasan putusan MK tidak sah.

Mengapa kita tidak perlu berharap itu bisa akan terjadi, karena Prof. DR. Bintan R. Saragih mengatakan: mohon maaf kalau apa yang kita inginkan tidak bisa kami lakukan, tapi yang penting kita sudah tahu semuanya dan kita sependapat kurang bagus di MK sekarang ini. Tapi jangan terlalu mengharap yang tidak bisa kami lakukan apalagi mencampuri putusan 90 itu (Sidang Perdana pada Selasa, 31/10/2023 di gedung MK).

Jika ternyata dalam putusan sidang pelanggaran etik yang digelar MKMK tersebut tidak menghasilkan putusan serta merta pembatalan atas putusan MK no.: 90/PUU-XXI/2023, karena MKMK berpijak dan berpegang teguh pada PMK No: 1 Tahun 2023 Tentang MKMK. Oleh karena itu, jika merujuk beleid PMK tersebut, tidak akan membatalkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.

PMK tersebut hanya terkait soal pelanggaran kode etik bukan soal putusan MK yang harus dimaknai harga mati final dan mengikat, dimana sanski yang akan dijatuhkan berupa ’teguran’ hingga ‘pemberhentian dengan tidak hormat’ atau ada sanksi ringan, sedang dan berat, yaitu pemecatan (pemberhentian dengan tidak hormat-dipecat).

Meski para Guru Besar Hukum Tata Negara dan Hukum Admintrasi Negara yang memberi pandangan kepada MKMK bahwa putusan MK tersebut bisa dibatalkan, bisa dinyatakan tidak sah, karena landasan pijak argumentatif akademiknya adalah UU No. 48 Tahun 2009 Tetang Kekuasaan Kehakiman, pasal 17 yang dengan konkret menyatakan hal tersebut.

Pasal 17 (3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

Jika MKMK berpijak pada UU tentang Kekuasaan Kehakiman, sesungguhnya sangat mudah pembuktiannya, apakah putusan MK tersebut mengandung conflict of interest, dimana Kertua MK adalah ipar dari Presiden Jkw dan sekaligus Gibran adalah keponakan Ketua MK. Putusan MK tersebut oleh Guru Besar Hukum Tata Negara UGM-Zainal Arifin Mochtar dikatakan:’ ini jelas pelanggaran, pelanggaran besar.’

Artinya pembuktian untuk menguji kebenaran substantif atas pelanggaran  pasal 17 ayat 4 dan 5, dimana pemohonnya juga sangat jelas berbasis arguemtasi legal standingnya adalah Almas Tsaqibbirru Re A Almas sebagai pengagum Gibran-Walikota Solo, dan hal itu ditegaskan dalam gugatannya (O’ushj.dialambaqa: Mahkamah Konmstitusi Versus Mahkamah Keluarga dan Kedaulatan Uang).

Oleh sebab itu, lantaran pasal 17 ayat 4 dan 5 tersebut dilanggar atau diterjang, yang seharusnya Ketua MK tersebut mengundurkan diri dan atau tidak masuk dalam pembahasan perkara yang akan diputuskannya, ternyata Ketua MK Anwar Usman terlibat langsung dalam putusan perkara tersebut, sehingga bisa untuk menjadi pembuktian kebenaran atas pasal 17 ayat 6 tersebut, yang oleh para Guru Besar dikatakannya Ketua MK Anwar Usman “melobi” 4 (empat) hakim MK lainnya untuk memuluskan putusan tersebut demi kepentingan politik dinasti-kekuasaan.

Untuk menguatkan kebenaran pasal 17 ayat 4,5 dan 6 tersebut, tentu karena MK  sebelumnya telah menolak gugatan yang pokok petitumnya sama dengan Almas, dan tiba-tiba dengan sekelebat, istilah Hakim MK-Waka MK Saldi Irsa, MK mempercepat pembahasannya dan mengabulkannya, sehingga Saldi Isra mengatakan, aneh dan bingung, di luar batas nalar wajar.

Tidak hanya itu, MK membahas permohonan pemohon yang sudah ditarik atau dicabut oleh pemohonnya sendiri kemudian diajukan lagi ke MK. Sehingga, adanya conflict of interest menjadi gamblang dan konkret. Hal tersebut, pembuktiannya tentu sangat mudah dan sederhana oleh MKMK yang sudah makan asam garam di MK apakah sebagai Hakim MK maupun sebagai anggota MKMK yang pernah menangani pelanggaran kode etik seperti halnya Bintan R Saragih.

Sekali lagi, jika sidang MKMK berkutat pada persoalan pelanggaran kode etik atas Ketua MK dan atau atas ke-4 hakim MK lainnya, akan menjadi keniscayaan kenaifan untuk sampai pada pembatalan putusan MK yang dikatakan final dan mengikat, meski jika Ketua MK dijatuhi sanksi berat dengan pemecatan.

Putusan etik berupa pemecatan pun potensi ruangnya sangat tipis jika menyimak pandangan Bintan R. saragih, meski bisa saja itu terjadi jika Jimly Asshiddiqie dan Wahiduddin Adam sepakat.

Hal tersebut yang kita bilang negeri ini sudah membusuk, gila, gila-gilaan, karena putusan yang busuk dan membusuk masih tetap harus dinyatakan final dan mengikat sebagai sebuah harga mati dalam sistem hukum kita dan atau tidak bisa dibatalkan-digugurkan (Ibid). Yang oleh Jurgen Habermas dikatakan, itulah resiko dari hukum atas hukum kebenaran konsesus.

Penjelasan Bintan R Saragih yang berpijak pada  PMK No: 1 Tahun 2023 Tentang MKMK tersebut, jelaslah menutup potensi ruang pada pembatalan putusan  MK No.: 90/PUU-XXI/2023. Untuk itu,  mungkinkah putusan MKMK akan menghasilkan pemberhentian dengan tidak hormat kepada 5 (lima) hakim MK yang mengabulkan perkaran nomor 9 tersebut? Hal tersebut sangat sulit untuk bisa kita bayangkan akan terjadi, meski logika dan akal waras harus mengatakan itu harus terjadi.

Seperti apa putusan MKMK yang akan dipertontonkan ke publik. Ini  tantangan bagi MKMK dan bahkan sekaligus merupakan  pertatuhan integritas dari ke-3-nya yang duduk di MKMK. Akankah para Profesor-Doktor Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara tersebut tetap akan menatap langit jingga?

Langit jingga tentu akan tetap bisa memayungi langit MK, karena MKMK, dimana Jimly Asshiddiqie dan Wahiduddin Adam sepakat hanya berpijakj pada PMK No: 1 Tahun 2023, dan manafikkan pasal 17 ayat 3,4,5 dan 6 UU No. 48 Tahun 2009 Tetang Kekuasaan Kehakiman.

Meski, Jimly Asshiddiqie dalam penjelasan publik diberbagai media massa mengatakan, peluang itu ada, jika para pengadu bisa meyakinkan MKMK dan bisa membuktikannya, tetapi konstitusi mengatakannya putusan MK adalah final dan mengikat. Penjelasan normatif tersebut menjadi abu-abu, sehingga mungkinkah kita dan atau para Guru Besar masih berharap itu bisa terjadi; pembatalan putusan MK No. No.: 90/PUU-XXI/2023. Akhirnya pengharapan itu akan menjadi absurd dan naif.

Untuk itu, kita tunggu saja apa yang bakal terjadi atas putusan dari sidang pelanggaran etik yang digelar MKMK tersebut, yang oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie akan diputuskan lebih cepat dari batas wabtu yang diberikan, paling lama 30 hari, akan dupayakan bisa diputuskan pada 7/11/2023, kurang dari 8 hari. Berharap-harap cemas, yang cemas berharap-harap, dan yang berharap-harap menjadi cemas. ***

Singaraja, 31/10/2023-malam menjelang 1/11/2023.

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles