Jakarta, Demokratis
Ketua DPR Puan Maharani menilai kasus kekerasan seksual yang belakangan marak terjadi di tanah air harus mendapat penanganan extra ordinary. Bukan hanya berfokus pada penegakan hukum, namun menurutnya, penanganan harus dibarengi dengan upaya pencegahan yang konkret.
“Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang sudah seperti gunung es perlu penanganan komprehensif yang terstruktur, termasuk bagaimana negara membangun sistem yang mampu mencegah kejahatan seksual terjadi sejak awal,” ujar Puan Maharani, Rabu (30/4/2025).
Misalnya, lanjut Puan, pemerintah melalui kementerian terkait dapat membangun sistem pengamanan dan peringatan dini (warning system) di ruang-ruang publik. Serta lingkungan sosial terutama yang rawan menjadi tempat perburuan predator seksual. Khususnya bagi anak-anak dan perempuan yang kerap menjadi korban kekerasan seksual.
“Kita bisa mengadopsi dari negara-negara sahabat. Di sejumlah negara maju, sistem perlindungan anak telah dilengkapi dengan alarm sosial, pelacakan digital, hingga kontrol ketat terhadap konten dan aktivitas daring yang menyasar anak-anak. Indonesia harus segera menyusul,” kata dia.
Puan menilai, sarana sistem peringatan seperti itu dapat mengurangi kasus kekerasan seksual sedikit demi sedikit. Terlebih, kata dia, Indonesia tengah dalam kondisi darurat kekerasan seksual yang banyak menyasar anak-anak perempuan.
“Maka harus ada terobosan-terobosan yang dilakukan negara, termasuk melalui langkah-langkah menciptakan sistem peringatan terhadap ancaman tindak kekerasan seksual,” kata Puan.
“Sama seperti bencana alam, kita memiliki early warning system. Metode seperti ini yang juga harus diciptakan untuk mengurangi dampak buruk yang berpotensi terjadi. Caranya seperti apa dan bagaimana, ini harus menjadi kerja bersama para stakeholder terkait,” imbuhnya.
Seperti diketahui, baru-baru ini seorang pemuda berusia 21 tahun di Jepara, Jawa Tengah, ditangkap pihak kepolisian karena melakukan kasus kekerasan seksual berbasis online (KBGO).
Predator seksual itu diduga merekam aktivitas seksual korban yang masih remaja dan memeras korban dengan ancaman akan menyebarkan video mereka. Korbannya mencapai puluhan orang ABG dengan rentan usia 12, 14, sampai 18 tahun.
Tak hanya itu, seorang ustaz atau pendakwah muda di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) berinisial AHA (34) diduga juga mencabuli mahasiswi berinisial N (18). Atas dugaan itu, AHA dilaporkan ke Polda Sumut.
Puan pun menyampaikan keprihatinan atas peristiwa yang terjadi di Jepara dan Medan. Ia berharap para pelaku mendapat sanksi pidana tegas.
“Pelaku harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya sesuai hukum yang berlaku. Dan saya mengingatkan para pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan bagi para korban,” tegas Puan.
Puan pun mendorong adanya kebijakan yang menjamin keamanan dan kenyamanan anak melalui integrasi teknologi, keterlibatan aparat lokal, dan pengawasan komunitas. Ia juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat, sekolah, dan tokoh-tokoh lokal dalam menjaga lingkungan yang aman bagi anak-anak dan remaja.
“Pemerintah harus membangun iklim yang membuat anak-anak dan perempuan merasa aman saat berada di luar rumah atau saat sedang mobilitas,” kata Puan.
“Kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, aparat hukum, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, hingga keluarga dalam menciptakan ekosistem perlindungan anak sangat diperlukan,” pungkasnya. (EKB)