Di antara warisan lama yang berharga dalam kekerabatan adalah masyarakat santun, sopan lemah lembut dan penuh tegur sapa. Ini dikemas dalam bentuk ungkapan Melayu: rantau nan aluih perahu laju (daerah nan elok dan sampan melaju).
Bertolak dari ungkapan rantau nan aluih perahu laju, adalah pharase dari komunitas Melayu yang ideal dari satu masyarakat atau komunitas berbasis tradisi. Makna etimologis ungkapan rantau nan aluih bisa diabtraksikan dengan wilayah, komunitas yang elok, santun penuh tegur sapa berkemajuan.
Sementara makna ungkapan perahu laju metafornya adalah masyarakat yang dinamis, dan berkemajuan. Masyarakat yang bergerak dalam ide kreatif. Yang berorientasi pencerahan dan kesejahteraan.
Gabungan dua penggal ungkapan itu secara kontekstual konsep tradisi itu pernah ada di masa lalu. Pada masyarakat Melayu awal di mana suasana masyarakat saling menyapa, bekerjasama. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Menarik sekali.
Sayangnya tradisi itu kini telah berubah. Sudah berbeda jauh antara panggang dengan api. Antara harapan dan kenyataan.
Hal ini memperlihatkan masyarakat masa kini dalam suasana paradoks atau bertentangan. Mengingat masyarakat sekarang menjelma dalam bentuk masyarakat yang keras, tiada santun, tiada kelembutan. Bahkan muncul komunitas ganas, brutal. Fenomena masyarakat yang sakit. Femomena yang merisaukan.
Tentu saja seharusnya tidak demikian. Ini artinya ada paradoks dengan konsep dengan rantau nan aluih elok, yang mestinya tidak terjadi dan harus kita perbaiki. Tugas kita yaitu mencari solusi mengobati masyarakat yang sakit.
Profesor Sumantri Prapto Kusumo (alm), mantan Sekjen Menteri Sosial RI mengatakan masyarakat Indonesia menjelma menjadi kepribadian berbentuk menyesuaikan kemauan pasar. Ia menyebut dengan istilah market personality. Satu kepribadian bebas dengan tradisi kemauan pasar. Yang mudah yang menguntungkan semata. Kepribadian nilai rendah.
Sumantri Pratokusumo yang juga guru Besar Etika Sosial dari Universitas Padjadjaran Bandung itu menilai gejala itu merupakan gejala masyarakat yang tidak sehat. Demikian Sumantri Praptokusumo (Market Personality, Melayu Pos 12/8/2018).
Sejalan dengan pendapat Prof Sumantri, Syamsudin Datuk Rajo Melayu, seorang tokoh adat di kampung kami, Kuantan, dalam satu pertemuan bulan Mei 2020 dengan penulis berpendapat bahwa terjadi satu paradoks adat usually (prinsip) dengan adat terjoly (pragmatis) dari perubahan zaman yang keluar dari tradisi adat yang usually. Menjelma menjadi tradisi terjoly berbasis market (pasar). Katanya, adat yang usually adalah tetap, baku berbasis pada keluhuran budi, santun, serta kebenaran. Tidak lekang karena panas dan lapuk karena hujan.
Tradisi adat usually berseberangan dengan tradisi terjoly pasar, yang cenderung pragmatis, mudah berubah sesuai dengan berselaras kemauan pasar. Komunitas pasar terbiasa dengan pragmatis, abaikan nilai, tradisi dan sebagainya. Demikian Syamsuddin Datuk Rajo Melayu Kampung Serosah, Kuantan Singingi, Riau.
Nampaknya ini gejala yang terus eksis pada komunitas pada umumnya termasuk masyarakat Melayu kini. Pertanyaannya apa yang bisa dilakukan. Kita coba memberi jawaban menghadapi keadaan ini seperti berikut:
Pertama, dijawab dengan pola pendidikan yang berbasis akhlak. Perilaku harus dididikkan lebih serius pada pendidikan kita. Pendidikan harus menjadikan santun, peduli dengan orang lain, orang baik adalah orang banyak berbuat kebaikan untuk banyak orang.
Kedua, jawabannya adalah dengan pembangunan ekonomi. Membangun manusia kerja, bertanggung jawab. Dengan kerja, kita berubah dari kemiskinan. Bila kita keluar dari kemiskinan ekonomi, kita dapat membangun banyak bidang.
Dengan dua pokok soal di atas, yakni dengan akhlak kita berubah menjadi peduli, santun. Selanjutnya keluar dari kemiskinan kita akan punya kesempatan menjadi mandiri dalam hidup. Tanpa dikendalikan oleh pasar. Oleh kepribadian yang tidak sesuai.
Sebagai penutup ungkapan rantau nan aluih perahu laju sebagai ideal dari masyarakat berbudi luhur santun dan peduli akan sesama serta dinamis berkemajuan, seyogyanya menjadi konsep tradisi yang mencerahkan. Yaitu menjadi solusi tradisi yang mengedukasi masyarakat kita yang berkemajuan. Terbentuknya masyarakat bernilai tinggi yang peduli pada sesama. Semoga!
Jakarta, 14 November 2020
*) DR Masud HMN adalah Dosen Paskasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta