Oleh DR Mas ud HMN*)
Melayu yang terpinggirkan dalam perspektif tulisan ini maksudnya adalah bangsa Melayu yang keberadaannya identik dengan posisi tidak baik dalam era sekarang. Baik secara kehakikian ontologis maupun dalam kondisi intelektual serta nilai moralnya. Apa hal menimpa pada Melayu? Apa takrif Melayu itu menggapai masa depan?
Pertanyaan tentang apa yang menimpa Melayu secara sederhana bisa dijawab yaitu nasib tak beruntung alias Melayu terpinggirkan. Mulai dari sisi agama, ekonomi, budaya dan hubungan internasional atau global. Lalu apa takrif Melayu, adakah nilai budaya dan agama yang dianut orang di kawasan yang meliputi Asia Tenggara. ASEAN sekarang.
Bangsa inilah yang tidak beruntung. Hal ini mengingat bangsa Melayu mulai tidak maju ekonominya dan hilang nilai agamanya, yang ditunjukkan oleh sekulernya masyarakat wilayah ini karena mereka tidak peduli pada spiritual keimanan dalam perilaku sosial mereka.
Dapat diduga jika saja tokoh Hang Tuah masih hidup dipastikan ia akan berduka berat. Karena jauh-jauh hari ia sudah bertestimoni atau meninggalkan wasiat: Tak kan Melayu hilang di bumi. Ini menjadi tantangan besar untuk memastikan bangsa Melayu ada Melayunya. Karena Melayu identik dengan agamanya. Dengan kata lain wujud ke-Melayuan mereka dengan spiritual keimanan sejatinya adalah kepatuhan kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala pencipta langit dan bumi alam semesta yang dicerminkan dalam tindak tanduk di bumi.
Kemudian nilai keimanan ini pula menjadi nilai transendental. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Maka dalam rangka nilai transendental ini diharapkan berfungsi timbangan moral untuk berperilaku sebagai kriteria menghindari pencampuradukan yang baik dan buruk. Keriteria baik dan buruk identik frasa teladan atau ibrah untuk mengambil nilai baik dan menjauhi nilai buruk.
Memang kejayaan Melayu di masa lalu terkait nilai intelektual, nilai budaya dan ekonomi juga wisdom globalnya. Pada masa itulah Melayu hebat. Berjaya memimpin zaman.
Dalam gabungan ini ada ucapan relevan dari A Ghafar Usman anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Riau periode 1999 s/d 2019 yaitu “Melayu harus bangkit dengan menata dirinya, menjadi pekerja keras.”
Dalam pandangan mantan Kakanwil Departemen Agama RI itu, kerja keras itu adalah kunci perubahan. “Tanpa itu, sulit mencapai keadaan yang lebih baik,” demikian A Ghafar Usman yang disampaikan pada Refleksi Pusat Kajian Peradaban Melayu akhir tahun 2018 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Saya setuju dengan pendapat A Ghafar Usman di atas. Tiada yang mustahil bagi para pejuang keras. Masa depan ditentukan oleh kerja keras dan diiringi doa.
Di atas semua itu setidaknya dari diskursus di atas kita dapat membuat simpulan:
Memang benar bangsa Melayu dilupakan dan tak dipedulikan serta ada dalam nasib tidak beruntung. Miskin ekonomi, tak berdaya dalam politik dan tergerus nilai agamanya.
Dalam hal ini Indonesia sebagai bangsa Melayu dalam jumlah populasi terbesar, seyogyanya bangkit berjuang memperbaiki keadaan.
Jangan dilupakan bangsa Melayu dan tidak hilang di bumi adalah identik dengan melestarikan nilai budaya dan agama. Dan eksistensi bangsa Melayu menjadi wajib harus ditegakkan.
Dari poin di atas pada konteks filsafat nampaknya ontologi atau hakiki Melayu identik bangsa yang sedang dihempas gelombang zaman. Nyaris dilupakan. Adakah mungkin Melayu muncul dengan mengulang masa hebat masa lalu. Jawabnya tak ada yang tahu. Wallahu a’lam bishawab.
Jakarta, 1 Juli 2020
*) DR Mas ud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta