Sopan santun sebuah ungkapan kata yang berharga dan bernilai tinggi berfungsi untuk mengintegrasi kehidupan sosial. Tapi sayangnya mulai dilupakan dan disepelekan. Tidak mengherankan timbulnya kekacauan bahasa yang merusak sering kita temukan dalam percakapan sehari-hari bahkan dalam diskusi formal sekali pun keluar kata tidak elok jauh dari santun. Seperti comberan untuk maksud kurang baik. Goblok untuk kata tidak mengerti. Otak sungsang untuk maksud asal ngomong. Amburadul untuk makna kacau. Kampret lu, cebong dan lain sebagainya. Seharusnya tidak digunakan.
Apa salahnya kita memakai kata sopan santun karena punya nilai. Ditinjau dari aslinya kata santun berpasangan dengan kata sopan. Menjadi sopan santun. Ia menjelma jadi kata majemuk, dua kata menjadi satu pengertian. Pengertian sopan santun adalah indikator perilaku hidup yang baik (Ensiklopedi Nasional 2014 : halaman 83). Pertanyaannya mengapa kata tak sopan itu yang dipakai?
Ya, ini dia! Lantas kemudian yang menjadikan kita risau. Lihatlah secara universal indikator sopan itu memberi acuan luas dan berkembang. Artinya, sopan santun sudah ada acuannya.
Ini sejalan dengan Sammi dan Haryanto (2014 : 129) dalam rumusan indikator sopan santun. Yaitu sopan santun ada muatan: nilai respect (penghargaan), freedom (kebebasan), cooperation (kerjasama), honesty (kejujuran), humility (kemuliaan hati), lovely (kasih), unity (persatuan), simplity (sederhana), tolerance (tenggang rasa). Pokoknya sopan itu baik memiliki wilayah cakupan luas.
Tegak rumah karena sendi, runtuh sendi rumah binasa. Sendi bangsa ialah budi, runtuh budi runtuhlah bangsa.
Berdasar poin di atas maka kata sopan santun disimpulkan nenjadi kata yang baik. Yaitu yang menghormati satu sama lain, mengakrapkan, menyenangkan dan bermuatan nuansa kasih sayang dan keluhuran budi. Bangsa yang menggunakan bahasa yang baik adalah bangsa yang berbudi. Hal ini meminjam ungkapan bahasa Melayu yaitu: Tegak rumah karena sendi, runtuh sendi rumah binasa. Sendi bangsa ialah budi, runtuh budi runtuhlah bangsa.
Artinya bangunnya satu bangsa bersamaan dengan bangunnya sopan santun dan budi bahasanya. Dalam perilakunya ada kejujuran, ada toleransi, ada nilai persatuan, kemuliaan hati, kasih sayang dan kesederhanaan. Bangsa tanpa nilai tersebut, bukan saja tidak bisa maju tetapi akan binasa.
Kalau saja ungkapan rusak budi rusaklah bangsa dapat kita terima sebagai logika mengambarkan perilaku berkembang masa kini, maka tentu perilaku buruk tidak boleh kita biarkan. Kita harus lawan pelaku semacam itu, karena unsur kemungkarannya.
Kita tidak hanya akan sekadar menjadi saksi terjadinya kemungkaraan melainkan juga bertanggungjawab atas perilaku buruk itu. Oleh karenanya harus senantiasa melawan kemungkaran di mana dan kapan pun.
Apa lagi agama Islam diharuskan menghadapi kemungkaran atau kerusakan. Ada hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id al Khudri mengatakan sebagai berikut:
Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Kalau tidak mampu hendaklah mencegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hati. Itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim)
Hadis ini memberi pesan yang jelas keharusan seorang muslim melakukan perlawanan untuk menghadapi kemungkaran. Sesuai dengan tingkat kemampuan yang ada padanya. Yang kuat dengan kakuasaan tangannya, yang kurang kuat dengan pernyataan dan ucapan. Sementara yang paling lemah imannya dengan menolak kemungkaran dengan hati.
Dalam hal ini sesungguhnya menegakkan kesopansantunan di negeri kita ini sejalan dengan keharusan melawan kemungkaran. Ada benang merah yang jelas menghubungkan nilai sopan santun dengan melawan kemungkaran. Menegakkan sopan santun berarti melawan kemungkaran.
Dengan kata lain kita menyimpulkan tidak mungkin sopan santun ditegakkan kalau kemungkaran tidak dihilangkan. Jadi, melawan kemungkaran berarti menegakkan kesopanan. Semua itu dikerjakan bersama.
Akhirnya perilaku sopan santun dalam bahasa, adalah bagian dari membangun budi akhlak bangsa dalam mengejawantahkan perbuatan baik serta menolak kemungkaran. Bangsa akan tegak bila perilaku rakyat bangsa baik dan berbudi. Bangsa tidak dapat maju kalau rakyat bangsa tidak berbudi. Wallahu a’lam bishawab.
Jakarta, 17 Agustus 2021
*) Dr Masud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com