Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menabur Kebencian (FPI) Menuai Overstate

Oleh Es Tarigan

Terlepas dari retorika Islamis FPI, dan kedekatannya dengan kaum radikal kawakan seperti Abu Bakar Basyir, dalam banyak hal mereka sejalan dengan kaum nasionalis garis keras, dan kaum politik kanan yang menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945 asli, yang lebih otoriter ketimbang UUD hasil amandemen. Suara kelompok ini semakin lantang sejak 2012. FPI membedakan diri dari kaum Islamis lain, seperti Hizbut Tahrir, dengan tidak menolak Pancasila sebagai ideologi negara, melainkan berpendapat bahwa apa yang disebut “permasalahan demokrasi” di Indonesia adalah, permasalahan sejarah, yang perlu dikembalikan kepada apa yang dinyatakan oleh Habib Rizieq sebagai landasan Islami dari republik dan konstitusi Indonesia. (Wawancara dengan Habib Riqiez, Jakarta, 2012).

Semua ini menurutnya, sudah disalahtafsirkan dan dibelokkan oleh penyusupan ide-ide Barat tentang demokrasi suara mayoritas, serta nilai-nilai liberalisme dan sekularisme (Rizieq 2012). Menurut Rizieq lagi, tidak pernah ada pernyataan apapun dalam undang-undang bahwa Indonesia adalah sebuah “negara demokrasi”. Alih-alih, sila ke empat Pancasila mengukuhkan republik ini sebagai negara berdasarkan musyawarah dan mufakat, yang ia klaim sebagai tradisi asli Islam, dan cara pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW (Rizieq 2012). Pendirian FPI dengan begitu adalah pendirian nasionalis sayap kanan, ketimbang pan-Islamisme, sejauh ia mengulangi arti penting integritas wilayah republik, dan keutamaan dari UUD 1945 yang asli dan Pancasila. (Kadangkala FPI mencoba mengiklankan cap nasionalisnya, seperti berunjuk rasa di luar kedutaan besar Australi, setelah terungkapnya kegiatan mata-mata terhadap jajaran menteri Indonesia. Jakarta Globe (2013), “Austalia writetepping protests continue in Indonesia,” 22 November).

Pendirian ini memperlancar kerjasama dengan kaum nasionalis sekular yang menentang demokrasi liberal. Platfrom kampanye kunci Prabawo Subianto dan wahana politiknya Gerindra dalam Pemilu 2014, misalnya, adalah kembali ke UUD 1945 yang asli, sebagai cara untuk “mengkoreksi” segi-segi demokrasi liberal dalam sistem politik yang tidak sesuai dengan ciri bangsa Indonesia, dan telah membuat ketidakstabilan hukum dan politik nasional yang kontra produktif bagi “pembangunan” (Butt 2014). Seminggu sebelum Pilpres, Prabowo menerima gelar “panglima perang umat Islam”, pada pertemuan kelompok-kelompok garis keras di Yogyakarta, termasuk Laskar Jihad dan FPI, yang memproklamirkan dirinya sebagai satu-satunya harapan untuk mencegah Indonesia menjadi negara sekuler. (Jakarta post (2014), “Hard-line leaders greet Prabowo in Yogyakarta,“ 2 Juli).

Apakah yang membuat para politisi nasional tertarik kepada FPI, sebuah organisasi yang bisa dibilang sangat tidak disukai publik? Kapasitas koersif FPI menjadi salah satu pertimbangannya, dan seperti Ormas-ormas lainnya, kemampuannya untuk mengerahkan massa. Namun, dibandingkan dengan organisasi-organisasi yang lebih besar di Jakarta, seperti FBR, Forkabi, atau Pemuda Pancasila, kehadiran FPI secara teritorial jauh lebih kurang terjaga. FPI lebih memilih bermobilisasi di seputar isu, ketimbang mencoba menguatkan diri secara lokal. Penguatan diri di tingkat lokal, bisa memberi tekanan lebih berat kepada organisasi, untuk mengubah orientasi dan sumber daya, agar secara lebih langsung memperhatikan kesejahteraan material anggotanya, dan dengan demikian melemahkan citranya sebagai para pembela iman yang tanpa pamrih. Yang memberi FPI kekuatan, diukur dalam kaidah ketahanan usianya, kemampuan mempengaruhi kebijakan, dan meraih dukungan elite-elite politik, bukanlah kekuatan jumlah melainkan kemampuannya untuk membajak, dan lalu membentuk ketegangan sosial-ekonomi dan wacana publik yang menyelimutinya, dengan cara-cara yang memuluskan “penyelesaian” melalui pengenalan bentuk bentuk “tatanan moral”, yang diharapkannya bentuk-bentuk tatanan yang umumnya kondusif bagi para elite politik lokal dan nasional.

Kekhawatiran tentang ancaman mayoritas keagamaan melalui regulasi regulasi bernafaskan syariah, misalnya, juga merupakan isu pengalih perhatian yang pas bagi politisi yang tidak henti dirundung tuduhan korupsi dan suap. Hal ini tercermin dalam pilihan ideologisnya, yang bisa masuk dengan mudah ke dalam struktur dan jejaring elite politik, FPI menyekutukan diri dengan kualisi kekuatan otoriter, ultra nasionalis, dan anti demokratis yang lebih luas. Ia masuk ke dalam apa yang disebut oleh Al-Zatrouw (2006, 20) sebagai “militansi simbolik”, yakni dengan mengkooptasi pembangkangan kaum miskin perkotaan bersama dengan kepentingan pribadi yang instrumental melalui penonjolan keutamaan identitas agama “mayoritas”, merangkai kebencian dan ketegangan-ketegangan kelas dalam bingkai politik konservatif. Blak-blakan di bulan pertama jabatan Mahfud MD sebagai Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam), mengatakan jika Rizieq Sihab ingin pulang, akan saya pulangkan. (iNews prime 19/11/2019). Duta besar RI untuk kerajaan Saudi Agus Maftuh Abegebriel, menegaskan sejauh ini tidak pernah ada negoisasi khusus antara Indonesia dan Arab Saudi terkait nasib Muhammad Rizieq Sihab (MRS). Meskipun demikian, bila memang pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu, ingin kembali ketanah air, sebagai diplomat dia akan membantunya dengan sepenuh hati. (tvOneNews, 12 Desember 2019). Orang Prabowo tahu, siapa yang minta Habib Rizieq tidak dipulangkan ke Indonesia dari Arab Saudi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yassona Laoly didesak menjelaskan penyebab pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Sihab (HRS) tak bisa pulang ke Indonesia atau overstate, desakan itu dilakukan oleh anggotan komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra yaitu Muhammad Syafii (medina.net, 28 Februari 2020). Penutup…. Politik Jatah Preman, Mirza Jaka Suryana/suwarnotarigan1@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles