PEPATAH latin ‘fiat justitia pereat mundus’ mengartikan sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan. Dalam penegakan hukum dan keadilan, tentunya tidak terlepas dari peranan hakim. Hal itu dikarenakan hakim yang dianggap sebagai judex set lex laguens (hukum yang berbicara).
Sebagai hukum yang berbicara, seorang harus dapat menjadikan hukum sebagai sebuah solusi (lex semper dabit remedium), bukan menambah masalah. Dimana pada saat memberikan solusi, seorang hakim harus paham dengan apa yang dikatakan oleh undang-undang, maka itulah hukumnya (spreekhuis van de wet). Hal ini dikarenakan hukum menolak hal-hal yang bertentangan dan tidak layak (lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua). Seorang hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit). Ketidaktahuan hakim akan suatu hukum, akan menjadi sebuah kerugian bagi pihak yang tidak bersalah (ignorantia judicis est calanaitax innocentis).
Mengacu kepada hal tersebut, sangat jelas terlihat bilamana ‘keadilan hukum’ tidak terlepas dari peranan hakim dalam penegakan hukum. Dimana hakim merupakan sebuah profesi yang terhormat. Profesi itu dilaksanakan dalam bentuk pemeriksaan perkara apapun, baik itu perkara pidana, perdata, TUN, dan sebagainya.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya hakim memeriksa perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, hakim obyektif untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak. Memberi hukuman atau vonis sesuai dengan ketentuan hukum, dengan aturan standar minimal dan maksimal.
Hakim Wakil Tuhan di Dunia
Slogan yang mengatakan hakim wakil Tuhan di dunia memang terkesan berlebihan. Namun walaupun demikian, beratnya tugas hakim menjadi acuan pemberian slogan tersebut. Putusan hakim bisa mematikan. Contoh, hukuman mati mengambil nyawa orang lain. Padahal, urusan mengambil nyawa manusia itu adalah hak Tuhan. Namun karena aturan hukum tersebut diatur dalam hukum positif kita, keputusan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Hakim dengan Sebutan Yang Mulia
Pada setiap sidang di manapun jenis perkara beracara dengan sopannya Jaksa Penuntut Umum (JPU), Penasehat Hukum (PH), terdakwa, saksi-saksi, penggugat/kuasa hukumnya dan tergugat/kuasa hukumnya, hingga saksi ahli wajib menyebut pada hakim Yang Mulia. Memang sungguh mulia hakim itu.
Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian jelas, jika keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda (justitiae non est neganda, non differenda).
Keadilan itu sendiri baru dapat ditegakkan apabila hakim sebagai hukum yang berbicara, mengimplentasikan ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pelaksanaan tugas dan profesinya, seorang hakim harus menaati kode etik dan prilaku hakim, sebagaimana amanat Pasal 5 ayat 3 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009, Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku yakni, adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisplin tinggi, rendah hati, dan bersikap profesional.
Berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana tersebut di atas, maka jelas terlihat apabila seorang hakim harus memiliki 2 hal dalam menjalankan tugas profesinya yaitu, kebijakan (kecuali dia orang yang bodoh) dan hati nurani (kecuali dia orang yang kejam). Dalam bahasa latinnya diistilahkan dengan sebutan judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus.
Berbicara soal kebijakan, tentunya terlihat sebagaimana adagium hukum berikut, judex debet judicare secundum allegata et probata (seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan).
Dalam perkara pidana, menentukan benar atau salah, seorang hakim haruslah berpatokan pada alat bukti yang ada sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 184 KUHP. Demikian pula halnya, dalam perkara Perdata maupun Tata Usaha Negara. Seorang hakim juga harus berpedoman pada alat bukti dan fakta-fakta dalam persidangan. Alat bukti berupa saksi-saksi, saksi ahli dan barang bukti yang ada, harus diperiksa, agar kasus tersebut terang benderang dan nyata.
Kualitas Hakim
Dalam kerangka implementasi ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kualitas hakim sangatlah diperlukan dalam proses penegakan hukum yang berkeadilan. Seorang hakim yang berkualitas dengan memiliki integritas dan pribadi yang jujur, sangat diharapkan dan dibutuhkan, dalam penanganan dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Seorang hakim harus paham akan hukum (Ius curia novit), karena hakim adalah pemegang palu keadilan.
Selama ini, hakim belum dirasakan peranannya dalam memberikan ‘keadilan hukum’. Hal ini dikarenakan banyaknya pengabaian hukum oleh hakim. Pengabaian hukum tersebut merugikan semua orang. Pengabaian dilakukan dengan mengadili perkara berdasarkan contoh, bukan berdasarkan hukum, padahal hakim tidak boleh bersikap seperti itu sesuai dengan adagium hukum yakni, judicandum est legibus non exemplis (putusan hakim harus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh).
Pengabaian terhadap hukum tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan, baik pada tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK). Berdasarkan fakta sebagaimana telah diuraikan di atas, maka jelaslah terlihat, penegakan keadilan hukum menjadi terkendala, karena hakim sebagai hukum yang berbicara belumlah memberikan rasa keadilan dalam memeriksa dan menangani perkara, sebagaimana amanat daripada Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karenanya, dalam kerangka mendorong terwujud dan terlaksannya penegakan hukum yang berkeadilan, maka masyarakat pencari keadilan sungguh berharap agar kiranya hakim dalam menjalankan tugas profesinya dapat bersikap obyektif, dimana keyakinan hakim di dalam memutus suatu perkara didasarkan pada bukti dan fakta yang benar-benar terungkap dalam persidangan.
Dasar ini menjadi kerangka untuk menjaga agar masyarakat tidak kecewa dengan putusan hakim.  Karena sebagai ‘wakil Tuhan di muka bumi’, apapun putusan hakim tersebut, tentunya harus dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tugas hakim harus dijunjung tinggi dan terhormat. ***