Minggu, Desember 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menarik Mundur Demokrasi, Elit Politik Hanya Demi Perut Kekuasaan

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

 

Jauh hari sebelumnya  digulirkan wacana Pilpres (Pemilihan Presiden) dikembalikan ke MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dengan mengamandemen konstitusi-UUD’45, dengan alasan demokrasi kita terlampau mahal. Mendapat  reaksi penolakan civil society kritis-intelektual akademik. Gugurlah mimpi para elit politik tersebut.

Kini Presiden Prabowo Subianto menggulirkan usulan-wacana Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dikembalikan ke parlemen-legislatif (DPRD). Usulan Presiden Prabowo tersebut disambut riuh dan gempita oleh nyaris semua politisi-parpol (partai politik), baik yang berada di kursi parlemen maupun yang belum  duduk di kursi parlemen. Tentu, dalam gempita dan keriuhan tersebut menandai seia-sekata, meng-amini, sepakat dengan usulan-wacana tersebut.

Mengapa Pilkada harus dikembalikan pemilihannya  ke parlemen (DPRD)? Alasannya amat sangat kjlasik, yaitu Pilkada yang digelar dan atau yang dimaknai sebagai pesta demokrasi menelan ongkos politik yang besar.

Presiden Prabowo berkilah; wajah yang menang pun lesu-lusuh  juga apalagi yang kalah. Kita tidak perlu malu untuk memperbaiki sistem. Sistem (demokrasi)  kita terlalu mahal. Kita harus berani mengkoreksi. Berapa puluh triliun dua hari habis baik dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik. (Presiden Prabowo pada perayaan ulang tahun  Golkar di Sentul International Convention Center Bogort , Kamis, 12/12/2024). Oleh karena itu, Pilkada harus dikembalikan ke parlemen.

Apa  problem sesungguhnya dalam Pilkada kita yang mengatasnamakan demokrasi itu? Apa benar bahwa Pilkada Luber (Langsuing, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil) itu mahal atau menelan ongkos politik yang sangat amat mahal, sehingga yang menang dan yang kalah tetap berwajah lesu-lusuh?

Problem yang sesungguhnya  bahwa demokrasi dalam Pilkada menjadi amat sangat mahal, dikarenakan, antara lain:

  1. Adanya trasaksional (yang cukup mahal) untuk mendapatkan rekomendasi parpol untuk mengusung paslon (pasangan calon) yang akan dipertartuhkan dalam gelanggang kontestasi politik. Elit politik-parpol dengan berbagai apologi dan alibi, akhirnya menjalankan politik kartel- rente politik transaksional kepada paslon yang akan diusungnya;
  2. Melakukan money politics (politik uang) dalam banyak bentuk, model dan cara untuk bisa membeli suara pemilih, karena menjadi Kepala Daerah bukan lagi menjadi persoalan moralitas, melainkan sebagai status sosial dan bahkan dimaknai sebagai sebuah job-pekerjaan dengan  fasilitas negara yang memuaskan-wah;
  3. Elit politisi-parpol telah memanfaatkan mentalitas masyarakat pemilih yang rusak-NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Tidak mendidik untuk menjalankan demokrasi yang benar; suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populy vox dei), bukan suara rakyat adalah suara setan-iblis, karena akan dimaknai kekuasaan itu adalah nikmat;
  4. Elit politik-parpol memelihara mentalitas bobrok pemilih (masyarakat) dengan memelihara budaya money politics dalam berbgai bentuk, model dan cara untuk mengantarkannya ke kursi kekuasaan, karena ternyata kekuasaan itu nikmat;
  5. Pilkada yang mengatasnamakan demokrasi, pada praktek yang sesungguhnya, Pilkada tidak (mau) dilaksanakan dengan sistem demokrasi yang  Luber dan Jurdil;
  6. Model kampanye yang bersifat hura-hura, menimbulkan biaya politik yang besar;
  7. Masa kampanye yang cukup lama-panjang, menjadikan biaya politik menjadi besar; dan
  8. Penyelenggara pemilukada melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek kecurangan dalam pelaksanaan demokrasi, sehingga menimbulkan ongkos politik yang besar.

Problem tersebut, sesungguhnya itu yang harus kita perbaiki dalam sistem Pilkada, sehingga tidak menelan ongkos politik yang mahal. Perbaikan sistem tersebeut harus tegas, gamblang dan konkret dalam bentuk peraturan perundang-uandangan, yaitu dalam UU Pemilu dan Pilkada, dan UU Penyelenggara Pemilu itu sendiri.

Ongkos politik yang amat sangat mahal kemudian dimaknai harus balik modal setelah terpilih menjadi Kepala Daerah. Yang jika sial beresiko menjadi napi koruptor, tetapi itu Kepala Daerah yang sial-apes saja. Jika tidak, kekuasaan itu adalah nikmat. Maka, meski dengan ongkos yang amat sangat mahal, politisi tetap berlomba-lomba ingin menjadi Kepala Daerah.

Dalam UU Pemilu-Pilkada harus secara tegas, gamblang dan konkret, bahwa dalam pelaksanaan demokrasi yang menggunakan money politics dalam bentuk, model dan cara apapun yang tersamar  dalam masa kampanye harus dinyatakan gugur-didiskualifikasi dari pencalonan yang telah ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Dalam UU Pemilu-Pilkada, harus secara tegas, gamblang dan konkret, bahwa  pasal  yang bisa menimbulkan adanya conflict of interst (konflik kepentingan) harus dikonkretkan, yaitu, seperti, Presiden, menteri, pejabat negara dan seterusnya dilarang ikut serta berkampanye dan atau mendukung salah satu paslon, karena ini menimbulkan ongkos politik yang mahal, terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan politik eleketoral yang tersamarkan, jika itu terjadi harus didiskualifikasai-dinyatakan gugur.

Dalam UU Pemilu-Pilkada harus tegas, gamblang dan konkret bahwa paslon yang melibatkan dan atau membolisisasi ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI-Polri, baik langsung maupun tidak langsung, harus didiskualifikasai-dinyatakan gugur, karena itu menimbulkan ongkos politik yang mahal, disamping tidak bisa terhindarkan dari penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara.

Dalam UU Pemilu-Pilkada harus diatur sedemikian rupa untuk masa kampanye dengan waktu yang relative singkat, tidak perlu berbulan-bulan, karena dalam era digital, kampanye bisa dilakukan dengan berbagai bentuk, model dan cara  dalam menyampaikan visi dan missinya. Sehingga, tidak menimbulkan ongkos politik yang mahal.

Tidak hanya itu, demi sehatnya demokrasi yang berkualitas untuk menghasilkan para pemimpin yang berkualitas, parpol tidak menyodorkan  calon pemimpin yang dadakan dan atau karbitan. Kerana, pastilah akan menelan ongkos politik yang mahal, karena tidak membumi; popularitasnya rendah dan elektabilitasnya ambruk-rendah pula. Calon pemilih tidak mengenalnya, karena ujug-ujug datang dari kahyangan.

Jika Pilpres dikembalikan ke MPR dan Pilkada dikembalikan ke DPRD, bukankah kejahanam demokrasi akan jauh lebih besar, ketimbang digelar secara Luber dan Jurdil.

Tidakkah kecurangan, keculasan akan makin tidak bisa dikontrol-tidak bisa dikendalikan jika Pilkada di tangan parlemen, karena para legislator yang duduk di kursi parlemen tersebut nyaris semuanya berangkat dari kejahatan demokrasi; menggelar money politics, berangkat dengan naik kendaraan politik uang.

Oleh sebab itu, yang mendaliklakan bahwa demokrasi dalam Pilpres-Pilkada itu sangat amat mahal ongkosnya, sehingga yang menang apalagi yang kalah wajahnya tetap lesu-lusuh adalah postulat yang didalikkan tersebut menjadi sangat naif, tidak rasional dan atau tidak bisa diterima logika dan akal waras.

Pilkada dikembalikan pelihannya ke legislatif (DPRD), itu artinya, kita menarik munduir demokrasi, elit politik hanya demi perut kekuasaan. Bukan untuk kepentingan demokrasi apalagi untuk kepentingan kedaulatan-rakyat, meski mereka akan mendalilkan ulang bahwa MPR dan atau DPRD adalah representasi dari rakyat.

Dalam realitas empiriknya sebagai sebuah fakta, mereka yang berada di kursi parlemen adalah representasi dari parpol, bukan representasi suara rakyat yang dimaksudkan dalam vox populy vox dei.

Hal itu pun bisa kita lihat dalam setiap kebijakannya adalah pandangan dan atau sikap dari atas nama frakasi, di mana fraksi adalah potret dari kepentingan parpol, bukan rakyat yang sebagaimana dimaksudkan dalam demokrasi itu sendiri.

Tentu, masih menjadi ingatan kolektif kita bahwa gerakan gelobang reformasi yang menumbangkan rezim Orba-Soeharto pada 21 Mei 1998 yang berdarah-darah dan banyak menelan korban jiwa, di mana gelombang gerakan tersebut sesungguhnya dimulai sejak gerakan Malari 1974, dan terus sambung menyambung tiada henti dalam gerakan mahasiswa yang paling parah di penghujung 1979nan.

Pada akhirnya, gerakan tersebut mengkristal menjadi gelombang reformasi yang menumbangkan rezim Obra-Soeharto, dengan salah satu tuntutan dan buahnya adalah kemerdekaan berekspresi, berpendapat dan menyatakan pikiran, dan kesetaraan dalam berpolitik yang melahirkan babak baru yang bernama demokrasi dengan sistem Pemilu-Pilkada yang (harus)  Luber dan Jurdil dalam pemilihan Presiden, Legislatif  dan Kepala Daerah, bahkan sampai pada pemilihan Kepala Desa dan  RT-RW.

Sekali lagi, jika Pilpres di tangan MPR dan Pilkada di tangan DPRD, itu namanya, menarik mundur demokrasi, elit politik hanya demi perut kekuasaan semata. Berarti pula kita telah nyata-nyata mengkhianati dan menodai gerakan reformasi yang berdarah-darah- banyak memakan korban jiwa para  mahasiswa dan civil society kritis-intelektual akademik.

Pilkada di tangan parelemen, sesungguhnya akan lebih sangat merusak demokrasi jika kita bisa melihat, membaca dan melakukan pembacaan terhadap realitas empiric sebagai sebuah fakta konkret atas  eksistensi parpol hingga kini.

Menarik mundur demokrasi, hanya akan menghasilkan para pecundang dan bandit yang menjadi Kepala Daerah, karena jika dalam parlemen  mentalitas politisi dan parpolnya masih  seperti potret hari ini.

Menarik mundur demokrasi-Pilkada di tangan parlemen, tidak ada relasi kausaalitasnya dengan apa yang diumaksudkan dengan kedaulatan rakyat dalam demokrasi, karena elit politik-parpol hanya demi perut kekuasaan, di mana kekuasaan itu sangat amat nikmat, dan menjadi candu. *****

Singaraja, 15.12.2024.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles