Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Mendikbud Minta Maaf: Sampoerna dan Yayasan Tanoto Harus Kembalikan Uang APBN?

Jakarta, Demokratis

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar yang membidangi kesejahteraan sosial tampak lega setelah kontroversi anggaran penggerak operasional pendidikan (POP) yang dialokasikan dalam APBN telah dapat diselesaikan.

“Mendikbud Nadiem Makarim telah minta permohonan maaf. Dan permintaan maaf ini sebaiknya harus disambut baik oleh NU dan Muhammadiyah,” kata Muhaimin Iskandar pada pers di Jakarta (29/7/2020) setelah kucuran dana POP ditolak banyak lembaga pendidikan sebelumnya.

Mendikbud, ujarnya lagi, sekaligus telah menyatakan niatnya untuk berkunjung ke NU dan Muhammadiyah agar bekerjasama secara produktif untuk kemajuan pendidikan di Tanah Air. “Saya kira ini langkah positif Menteri Mendikbud,” katanya.

Terkait dengan pembelajaran jarak jauh (PPJ) dan daring atau online yang jadi kebijakan Mendikbud di masa pandemi saat ini, mantan menteri tenaga kerja ini menilai bahwa pendidikan online atau jarak jauh tidak efektif untuk kalangan bawah karena memberatkan ekonomi orangtua.

“Saya khawatir kualitas pendidikan menurun drastis. Ibu-ibu saja sudah banyak yang marah-marah di media sosial,” ungkapnya.

Ia pun mengusulkan agar Mendikbud membuat pendidikan alternatif dengan mengajak NU dan Muhammadiyah serta gereja untuk menggerakan pendidikan formal. “Atau dengan metode lainnya dengan mengefektifkan pengajaran lewat TVRI agar lebih maksimal lagi. Selain lebih murah dan terjangkau sampai hingga desa,” katanya.

Menurutnya, berdasarkan pengalaman yang telah berbagi pulsa, handphone dan laptop. Setelah dievaluasi, hasilnya masih tidak efektif dan malah menambah berat dari sisi biaya. Sehingga banyak orangtua yang sudah angkat tangan dan perlu terobosan cepat kecuali untuk kalangan atas.

“Saya minta lembaga pendidikan Tanoto atau Sampoerna atau yang lain yang sudah maju  tidak boleh menggunakan APBN. APBN dikhususkan untuk meningkatkan mutu pendidikan masyarakat menengah bawah. Ini juga sudah jadi solusi Mendikbud kemarin,” kata Imin panggilan akrabnya.

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

“Sedangkan bagi yang sudah telah mencairkan POP, saya minta Sampoerna dan Tanoto harus mengembalikan uangnya pada negara,” tegas Muhaimin Ketua Umum PKB ini.

Sementara dari temuan Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah, pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring sejak pandemi Covid-19 meninggalkan banyak soal yang telah disampaikan oleh berbagai pihak, baik  guru, siswa, maupun orangtua murid. Menurutnya, adapun keluhan dominan yang muncul adalah terkait dengan minimnya akses terhadap internet, keterbatasan gawai, dan tingginya biaya kuota.

“Padahal telah lebih dari empat bulan PJJ berjalan. Tetap saja keluhan-keluhan tersebut muncul yang paling dominan. Sementara ketiga hal itu merupakan elemen yang sangat-sangat esensial di dalam pembelajaran,” paparnya.

“Ini berarti yang telah dilakukan negara belum berhasil memberikan solusi atas permasalahan yang muncul sejak awal PJJ ini dilaksanakan,” tambah Hetifah.

Hal lainnya, katanya lagi, secara teknis menurut paparan Kemenkominfo pada Panitia Kerja PJJ Komisi X di bulan Juli lalu, disampaikan bahwa terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet.

Ia setuju bahwa perlu waktu hingga ketersedian gawai dan internet bagi seluruh stakeholder pendidikan sampai hingga secara menyeluruh. Akan tetapi juga dalam tenggang itu waktu, cara-cara lain agar juga harus dioptimalkan untuk setidaknya mempersempit kesenjangan teknis itu tadi.

Pada saat berlangsung rapat dengar pendapat umum di Panitia Kerja Pembelajaran Jarak Jauh Komisi X DPR dengan Eselon I Kemendikbud RI dalam rangka membahas evaluasi PJJ selama masa pandemi Covid-19, konsep pembelajaran jarak jauh sebagai bagian dari peta jalan pendidikan nasional 2020-2035.

Rapat yang diadakan secara virtual dan fisik dari ruang rapat Komisi X DPR ini, M Samsuri Kepala Biro Perencanaan yang mewakili Sekjen Kemendikbud menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis teknologi digital diperkirakan akan terus digunakan oleh satuan pendidikan pasca pandemi.

“Dengan harapan pembelajaran berbasis digital akan mengurangi kesenjangan dan batas-batas layanan pendidikan formal, nonformal, dan informal di masa depan. Karena peserta didik akan bisa belajar kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan apapun juga,” ujarnya.

Sementara itu, dari perkembangan terakhir mengenai POP, akhirnya terungkap bahwa desain awal program organisasi penggerak di bidang pendidikan dibuat dalam suasana normal.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.

“Kami dari Komisi X setuju awalnya POP sebagai program dalam meningkatkan kapasitas guru, kepala sekolah dan tenaga pendidikan. Dengan anggaran sejumlah Rp 595 miliar,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda di Jakarta, Kamis (30/7/2020).

Lalu tiba-tiba saja muncul penolakan lewat berita di media. Diikuti dengan rilis dari Kemendikbud di saat ada gelombang protes yang kuat pekan lalu.

Sampai kemudian muncul dua skema tambahan baru yaitu skema pembiayaan mandiri dan skema pembiayaan pendampingan saat Covid-19.

“Apabila pada saya ditanya apa betul ada tiga skema itu, saya menjawab bahwa dalam kondisi normal skema pembiayaan 100 persen APBN. Setahu kami di Komisi X juga hanya satu skema APBN itu saja,” jelas Huda.

“Artinya dua skema yang dirilis oleh Kemendikbud terakhir mungkin saja bagian dari way-out ketika muncul protes kuat, menyangkut tercantumnya atau diloloskannya dua yayasan yaitu Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation milik konglomerat,” tambahnya.

Sebagai sebuah jalan keluar dari sebuah kesalahan, ia pun ikut mengapresiasi langkah Mendikbud Nadiem Makarim. Termasuk dalam beberapa hari terakhir Mendikbud sudah mengambil langkah untuk menyudahi kegaduhan dengan melakukan permohonan maaf dan akan bersilaturahmi.

“Saya kira ini ruang untuk kita maknai bahwa Mendikbud sudah membuka ruang dialog yang sebelumnya dianggap komunikasi publiknya kurang maksimal, kurang bagus,” katanya.

Pihaknya hanya meminta kepada Mendikbud apapun keputusan yang menyangkut soal POP agar semuanya mendapatkan persetujuan dari DPR yang membidangi pendidikan.

“Karena secara kelembagaan ini harus diputuskan bersama-sama, antara DPR dan Kemendikbud. Supaya sekali lagi keputusan ini agar bisa diterima oleh publik dan diterima secara baik oleh seluruh stakeholder pendidikan, supaya kita bisa menghilangkan kericuhan jangan sampai muncul terus-menerus,” pungkasnya. (Erwin Kurai)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles