Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Mendramatisasikan “Harun Masiku” PDIP Dalam OTT KPK Wahyu S – KPU

Oleh O’ushj.dialambaqa

Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto (HK) disebut-sebut dalam kasus OTT Wahyu Setiawan (WS), Rabu (8/1/2020), maka tim KPK melakukan KPK line, karena terindikasi mengupayakan mulusnya PAW untuk Harun Masiku (HM) dari Dapil Sumatera Selatan 1 menggantikan Nazarudin Kemas (NK) yang meninggal. KPK line ditolak mentah-mentah oleh PDIP dan bahkan harus terusir keluar. HM tetap terganjal keputusan KPU untuk PAW menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.

 

Sainte Lague – Proporsional Terbuka

Sekjen DPP PDIP HK dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri (MSP) bukan tidak tahu dan atau bukan tidak paham dengan peraturan perundang-undangan mengenai Pileg (Pemilihan Legislatif). Yang menjadi amat naïf, jika Sekjen dan Ketum apalagi namanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di mana demokrasinya adalah hasil perjuangan yang berdarah-darah,  pastilah tahu dan paham bahwa dalam sistem demokrasi itu ada aturan atau ketentuan yang bersifat mengikat, yaitu UU dan atau peraturan perundang-undangan. Persoalannya, PDIP mau memahami atau tidak, dan mau mengerti atau tidak. Penafsirannya mau ditafsirkan dengan logika dan akal waras tidak? Bahwa, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pileg menggunakan sistem Proporsional Terbuka bagi calon legislatif dengan metode Sainte Lague (bilangan prima sebagai pembagi); suara terbanyak berdasarkan urutan suara terbanyak berikutnya yang berhak menjadi anggota DPR RI.

UU Nomor 7/2017 pasal 415: Penentuan perolehan kursi bagi Parpol tidak lagi mengkonversi  jumlah suara sah dengan jatah kursi keseluruhan di Dapil masing-masing, jadi tidak lagi seperti Pileg 2014. Perolehan kursi ditentukan dengan perolehan suara sah parpol dalam suatu Dapil dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan seterusnya; 3, 5, 7, 9. Kursi untuk DPR RI Parpol harus memenuhi parliamentary threshold (PT) minimal 4%, untuk DPRD tidak memakai PT. Hasil pembagian dari bilangan pembagi tersebut kemudian diurutkan berdasarkan jumlah suara terbanyak (perankingan atas dasar jumlah perolehan suara).

Yang terjadi kemudian adalah Sekjen dan Ketum PDIP tetap ngotot untuk menggantikan NK (15.950 suara, yang kemudian di-0-kan suaranya, lantas seenaknya sendiri mau diberikan suaranya kepada HM) yang meninggal dunia kepada HM yang perolehan suara hanya 5.878, padahal setelah NK masih ada Riezky Aprilia (RA) 44.402 suara, Darmadi Djufri (DDj) 26.103 suara, Diah Okta Sari (DOS) 13.310 suara, Doddy Julianto Siahaan (DJS) 19.776 suara. Setelah HM, Sri Suharti 5.699 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara (sumber: Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019, Dapil Sumatera Selatan 1). Jadi HM terpaut jauh bahkan harus melompat salto untuk melampaui RA, DDj, DOS dan DJS, sehingga baru bisa menjadi anggota DPR RI berdasarkan asas proporsional terbuka dengan metode sainte lague.

KPU bepijak pada peraturan perundang-undangan atas penolakan terhadap HM. Kemudian, PDIP pada 24/6/2019, sebelum pelaksanaan penetapan calon terpilih, mengajukan judicial review terhadap Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 kepada Mahkamah Agung (MA), terhadap ketentuan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan Pasal 55 ayat (3).

Sekjen dan Ketum mengedepankan argumen pokok memaknai sebagian dari keseluruhan putusan MA untuk mengambil dan memberikan kesimpulan pada bagian dari putusan MA yang dalam amarnya berbunyi: “Dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon”. (Putusan MA RI Nomor 57P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019). Berdasarkan asumsinya (tanpa logika dan akal waras), berkesimpulan, bahwa untuk menentukan keputusan PAW diberikan kepada siapa adalah otoritas absolut Parpol, bukan KPU dan atau peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar putusan MA yang berupa fatwa tersebut oleh Sekjen dan Ketum dijadikan pokok argumen untuk memaksa KPU menetapkan HM sebagai PAW NK (Surat DPP PDIP No 2576/EX/DPP/VIII/2019 tanggal 5 Agustus 2019 perihal Permohonan Pelaksanaan Putusan MA Republik Indonesia No 57P/HUM/2019), tetapi KPU tetap pada kepatuhannya melaksanakan peraturan perundang-undangan dalam kasus PAW tersebut. KPU menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku (Surat KPU No: 1177/PY.01.1-SD/06/KPU/VIII/2019 tanggal 26 Agustus 2019 perihal Tindak Lanjut Putusan MA Nomor 57P/HUM/2019).

PDIP tetap pada akal-akalannya untuk memaksa KPU tunduk dengan putusan fatwa MA. Atas nama fatwa tersebutlah PDIP tetap menerjang KPU, yang berarti, tak terbantahkan lagi, bahwa PDIP justru yang tidak tunduk pada sistem demokrasi di mana peraturan perundang-undangan Pileg 2019 menggunakan azas proporsional terbuka dengan metode sainte lague, yang mana sistem tersebut dalam prosesnya telah disetujui DPR bersama Pemerintah, di mana PDIP berada dalam Senayan dan menjadi partai berkuasa yang mengesahkannya.

 

Fatwa vs UU

Sekjen dan Ketum nampak tidak mau tahu dan tidak mau mengerti, dan bahkan tidak mau memahami bahwa fatwa yang dikeluarkan MA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tidak seperti UU yang ketentuannya bersifat mengikat. “Fatwa merupakan pendapat hukum yang diputuskan Ketua Muda atau Ketua Kamar yang dipimpin oleh Ketua MA. Produk Fatwa MA tidak mengikat seperti halnya peraturan atau putusan Pengadilan. Jelas ya, kalau produk fatwa itu sebenarnya tidak mengikat. Fatwa merujuk pasal 37 UU No 14/1985 (sebagaimana telah diubah dengan UU No 5/2004 kemudian dengan UU No 3/2009) tentang MA, disebutkan, MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga negara yang lain.” (Ketua MA M Hatta Ali, Selasa, 31/1/2017, di sela-sela Peresmian Tower dan 135 Pengadilan di gedung MA).

“Fatwa MA itu pendapat hukum yang tidak mengikat, siapa yang mau mentaati silahkan, kalau tidak mau ditaati tidak ada sanksinya, maka saya katakan tidak mengikat.”(Suhadi Juru Bicara  MA dalam Agus Sahbani: Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA, Hukum Online.com, Selasa, 14/2/2017).

Jika Sekjen dan Ketum bisa memahami kekuatan hukum atas fatwa tersebut, tentunya tidak akan mengajukan surat permohonan pelaksanaan putusan MA tersebut kepada KPU, karena aturan main dan ketentuannya sudah sangat gamblang dan jelas, bahwa dalam sistem proporsional terbuka dengan metode sainte lague hak atas PAW jatuh pada RA bukan pada HM. Kengototan tersebut kemudian bisa ditarik benang merahnya atas kasus WS yang terjaring operasi senyap – OTT KPK. Secara semiotika adalah tampak tanda dan penanda sebagai konstruksi fungsi kode (Umberto Eco, 1976) yang begitu gamblang, yaitu upaya PDIP melakukan judicial review Peraturan KPU No 3/2019 kepada MA yang melibatkan WS dalam PDIP.

“Putusannya agak rancu, tidak mempertimbangkan sama sekali soal bunyi undang-undang, tidak dibahasakan sama sekali, cuma mengatakan bahwa karena partai terlibat banyak dalam proses proporsional maka partai juga berhak untuk itu, walaupun sebanarnya ada kalimat yang dia kunci, dia kemudian mengatakan, tetap harus memperhatikan perundang-undangan dan azas umum pemerintahan. Artinya sebenarnya klir. KPU bertindak klir sebenarnya, karena peraturan perundang-undangan jelas mengatakan bahwa itu adalah bagian dari wilayah dan persis seperti yang dikutip mas Pramono (PDIP) tadi, bahwa permintaan dia untuk menetapkan HM itu jelas ditolak, itu permintaan yang keempat. Apa yang menarik dari situ? Walaupun putusan MA bunyinya begitu tapi terus diperjuangkan luar biasa, itu menurut saya menarik. HM memiliki daya tarik luar biasa untuk PDIP sehingga diperjuangkan berkali-kali, Ibu Megawati turun langsung untuk melakukan pengujian, bahkan melaju terus sampai terakhir, akhirnya, nah apakah logikanya, kenapa kemudian mau menerima 900 juta untuk satu orang dibanding tujuh yang lain.” (Zainal Arifin Mochtar Pukat UGM, ILC, 14/1/2020: #Masikah KPU Bertaji#).

Masa iya, Sekjen dan Ketum tidak paham apalagi tidak mengerti dengan frasa “kekuatan hukum” dalam peraturan perundang-undangan kita? Frasa ‘kekuatan hukum’ di sini (Yuliandri: 2010: 67-68) adalah sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam konteks peraturan yang diterbitkan MA seharusnya juga tunduk pada prinsip hirarki. {Yuliandri dalam Muhammad Yasin: Kekuatan Hukum Produk-Produk Hukum MA (Perma, Sema. Fatwa, SK KMA), Hukum Online.com, Jumat, 3/3/2013}.

Maka, fatwa MA untuk PDIP dalam hal PAW, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi PDIP tetap memanfaatkan fatwa itu sebagai senjata yang memaksa KPU. Siapa tahu bisa lolos, dan siapa tahu juga KPU lagi gelap mata; malang dapat ditolak dan mujur dapat diraih. Begitulah yang menjadi keniscayaan politik yang bisa kita lihat sebagai realitas emprik sebagai fakta.

 

Meradang Terjang

PDIP melalui Masinton Pasaribu dan Adian Napitulu di berbagai forum televisi dan di berbagai wawancara tetap mengatakan (dengan ekspresi dan intonasi yang meyakinkan) bahwa KPU tidak mematuhi putusan MA, dengan pokok argumen bahwa hak untuk menentukan siapa yang akan menggantikan anggota DPR RI atas PAW adalah hak absolut PDIP. Seperti itulah menafsirkan putusan MA yang berupa fatwa yang dikantonginya. Aneh tapi nyata, itulah keniscayaan Parpol jika punya kepentingan dan jika kepentingannya terganjal aturan main, di mana permainan aturan itu sendiri telah dibuatnya sendiri (bersama dirinya sendiri). Logika dan akal waras dikesampingkan, karena hasrat kehendak untuk berkuasa tak terkendalikan, sehingga ingin sekehandaknya.

Bagaimana bisa terbantahkan, jika dalam peraturan perundang-undangan, bahwa KPU sebagai penyelenggara Pileg adalah relasi dan arenanya adalah Parpol dalam proses politik yang diamanatkan konstitusi bukan untuk mengurusi tukang parkir dan lokasi pasar pedagang sayur mayur lemprakan di pasar kagetan yang berkeliling setiap hari dari desa ke desa. KPU bukan relasi dan arenanya adalah tukang baso dorong yang berkeliling gang dan lorong. Mendramatisir “Masiku” berarti mendramakan kejahatan yang dihadap-hadapkan antara KPU – KPK – PDIP, di mana kita kini kemudian sedang ‘Waiting for Godot’ yang Samuel Beckett katakan dalam dramanya. “KPU ngga mengurusi beras yang ada di pasar induk Cipinang. KPU ngga mengurusi soal-soal di perbatasan. KPU mengurusi soal proses politik, kontestannya adalah Parpol, kontestannya bukan ICW, kontestanya bukan Pusat Studi apa …” (Haris Azhar, ILC, op.cit).

Putusan MA yang ambigu atau rancu (pinjam istilah Zainal Afrin Mochtar) yang kemudian dimaknai multi tafsir, ruang tersebut dicoba dimanfatkan oleh Sekjen dan Ketum PDIP untuk mendikte KPU agar HM bisa duduk di Senayan sebagai PAW dari NK, menerobos jalur lintasan peraturan perundang-undangan.

Kenapa Sekjen dan Ketum tidak memakai cara pemecatan agar HM mulus jalan ke Senayannya, seperti yang terjadi dan dilakukan terhadap Alexius Akim (AA) Caleg PDIP terpilih Pileg 2019 Dapil Kalbar 1. Sebelum dilantik ke Senayan, AA dipecat terlebih dahulu oleh PDIP, padahal dalam Dapilnya mendapatkan suara terbanyak. AA dilaporkan ke Gakumdu, Bawaslu atas tuduhan melakukan kecurangan, tetapi semua putusannya tidak terbukti. Pemecatannya dari PDIP tidak jelas sampai sekarang (Aliexius Akim, CNN Indonesia, Jumat, 17/1/2020: Heboh! Pengakuan EX Caleg Terpilih PDIP Kalbar Yang Dipecat Jelang Penetapan – Kupas Tuntas: Patgulipat Pergantian Antar-Waktu). AA tidak jadi duduk di Senayan sebagai utusan Dapil Kalbar 1 dari parpol banteng bermoncong putih milik Megawati Soekarnoputri.

Untuk kasus HM, Sekjen dan Ketum nampaknya kesulitan dan atau tidak menemukan mekanisme atau cara yang bisa dipakai seperti pada AA. Untuk melakukan pemecatan jelang penetapan Caleg, Mungkin Ketum PDIP menjadi amat riskan, dan kesporadisaannya akan sangat kasat mata kekotoran permainannya terlihat jika mengambil tiundakan seperti yang dilakukan terhadap AA, karena HM untuk mendapatkan jatah kursi di Senayan harus melakukan pemecatan terhadap 4 caleg (RA, DDj, DOS dan DJS), dimana perolehan suaranya jauh di atas HM.

Lagi-lagi, yang dijadikan pokok argumennya adalah fatwa MA, sehingga hak prerogatif absolut MSP (segala ucapan, sikap dan tindakannya, pasti dianggap benar, pasti ditaati dan dipatuhi oleh semua orang PDIP. Jika tidak, ya pasti dipecat. Silakan keluar!) sebagai pengambil diskresi dan keputusan dianggap legal dan selalu menjadi legal bagi Parpolnya atas nasib semua orang yang berada di Parpolnya, dengan kata lain, mentakdirkan nasib bagi para anggota partai dan bagi para caleg dan atau bagi para anggota legislatif atau calon kepala daerah, termasuk bagi calon presiden.

Ternyata, tidak menjadi keniscayaan, tetapi justru menjadi bomerang dan bencana, yang pada akhirnya harus berhadap-hadapan antara KPK dengan PDIP, yang arena dan relasi benang merahnya adalah Komisioner KPU WS yang sial terjaring OTT. Meskipun hingga kini (sampai tulisan ini dibuat dan dimuat media massa), PDIP mengatakan, tidak terkait dengan WS yang terkena OTT KPK, dan jangan dikait-kaitkan dengan PDIP. Bantahan-bantahaan tersebut gencar dikumandangkan oleh PDIP, terutama lewat Masinton Pasaribu dan Adian Napitupulu diberbagai forum televisi yang disaksian juta publik luas. PDIP selalu meradang dan menerjang.

Bagaimana mungkin, jika HM tidak boleh dikait-kaitkan dengan PDIP? Logika dan akal waras mana yang tidak harus mengatakan bahwa HM adalah erat kaitannya dengan PDIP, karena: (1) HM adalah seorang Caleg PDIP Dapil Sumatera Selatan 1 untuk DPR RI, (2) HM adalah yang diperjuangkan matia-matian oleh Sekjen dan Ketum PDIP untuk PAW menggantikan NK yang meninggal, padahal seharusnya berdasarkan urut-urutan asas proporsional terbuka dalam metode sainte lague yang berhak ke Senayan adalah RA, DDj, DOS dan DJS, terkecuali RA, DDj, DOS dan DJS mengundurkan diri atau mati atau dipecat oleh PDIP, sehingga HM lah yang berhak ke Senayan sebagai anggota DPR RI yang mewakili Dapilnya, (3) Untuk meloloskan HM dalam PAW, PDIP melalui Sekjen dan Ketumnya mengirim surat berkali-kali ke KPU untuk kepentingan HM, (4) Atas menolakan KPU, Sekjen dan Ketum melakukan upaya judicial review, (5) Fatwa MA yang menabrak hiraki peraturan perundangan-undangan tetap dipakai untuk argumen pokok, dan (6) Fatwa MA yang bersifat tidak mengikat dan berarti secara yuridis kekuatannya jauh di bawah peraturan perundang-undangan tetap dipakai untuk mendikte dan atau memaksa KPU, karena putusan MA dikatakannya tidak dijalankan atau tidak dipatuhi atau KPU tidak tunduk pada putusan MA.

“Jika tidak ada keputusan MA terkait PAW ini maka proses suap antara Harun dan Wahyu tidak akan terjadi. Kalau tidak ada keputusan MA itu, tidak akan ada harapan dalam kepala Harun Masiku. Kasus suap terjadi berawal dari keputusan MA” (Adian Napitupulu, Tribunnews.com, Senin, 20/1/2020. 13:23 WIB – Kompas TV, Minggu, 19/1/2020). Statemen Adian Napitulu tersebut adalah mengafirmasi keniscayaan itu sendiri, bahwa HM tidak bisa tidak adalah terkait dengan PDIP. Untuk itu, jika KPK sungguh-sungguh bisa membuktikan dalam pendalaman dan pengembangan kasus HM, bahwa ada terkait petinggi PDIP dengan kasus suap HM di mana WS yang terkena OTT KPK, maka akan berakhirlah mendramatisir HM-PDIP dalam OTT KPK WS-KPU.

Apakah sistem demokrasi di republik negeri ini ternyata tidak cocok lagi? Oleh sebab, realitas empirik yang menjadi fakta adalah setiap Pemilu baik Pileg, Pilkada maupun Pilpres, Parpol (politisi) ramai-ramai mengeroyok, menganiaya dan menghancurkan demokrasi dengan berbagai cara dan model, seperti money politics, black campaign, abunawasisme, sistem buzzer dan lain-lainnya. Padahal, jika sepakat dengan sistem demokrasi, seharusnya kita menjaga dan menegakkan demokrasi itu sendiri, bukan menodai, dan para politisi memberikan keteladanan berdemokrasi sebagai negarawan. Bukan sebaliknya, bajunya demokrasi, ruhnya monarki, otokrasi atau oligarki.

Akankah menjadi keniscayaan? Bagaimanapun (parpol) kini dan nanti menjawab tujuan publik, sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan, ia cenderung, akan menjadi mesin yang kuat, yang dengannya orang yang cerdik, ambisius, curang, dan tak bermoral, punya kemungkinan untuk menggerogoti kekuasaan rakyat, dan merebut kekuasaan pemerintah untuk diri mereka sendiri  (George Washington dalam Marcus E Ethridge, Howard Handelman, Politik Dalam dunia Yang Berubah, 2008). ***

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD). Tinggal di Singaraja. Email: jurnalepkspd@gmail.com.

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles