Oleh Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH
Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ke-XI yang sudah berakhir 20-23 November 2025 lalu di Jakarta menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali peran ulama dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan.
Di tengah perubahan sosial yang cepat dan tantangan global yang kompleks serta perkembangan teknologi yang tak terbendung mengakibatkan bangsa ini membutuhkan bimbingan moral dan panduan nilai yang kokoh. Di sinilah ulama harus kembali tampil sebagai penuntun arah, bukan sekedar pengamat zaman.
Ulama dalam pandangan Islam bukan hanya pewaris ilmu tetapi juga waratsar al-anbiya pewaris tugas para nabi. Mereka memikul amanah besar menebarkan ilmu menjaga aqidah menuntun umat, dan memperjuangkan kemaslahatan.
Sejarah bangsa Indonesia telah mencatat dengan tinta emas bagaimana ulama berada di garda depan perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional. Maka di masa kini, ketika bangsa menghadapi tantangan baru berupa krisis moral, ketimpangan sosial dan disrupsi teknologi peran ulama kembali dituntut tampil sebagai pemandu jalan menuju kebaikan bersama. Sejatinya adalah panggilan untuk memperkuat fondasi peradaban nasional.
Kemandirian bukan sekedar istilah ekonomi tetapi juga sikap mental dan spritual bangsa yang teguh pada nilai berdikari dalam usaha dan tidak tergantung pada pihak luar dalam menentukan masa depannya. Ketahanan pangan, kedaulatan energi, dan penguatan industri halal adalah wujud konkret dari cita-cita kemandirian itu.
MUI memandang bahwa membangun bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab moral seluruh umat, terutama para ulama. Mereka harus hadir memberikan bimbingan, mendorong etos kerja, dan menanamkan kesadaran bahwa kemandirian adalah bagian dari ibadah, sebagai sebagai manifestasi dari amanah kekhalifahan manusia di bumi perkembangan kecerdasan buatan (AI) kini membawa manusia ke era baru yang penuh kemudahan sekaligus kerentanan.
Di tengah euforia kemajuan teknologi, nilai kemanusiaan sering terpinggirkan. Di sinilah peran ulama menjadi sangat penting untuk mengawal etika agar tidak menimbulkan kerusakan moral dan sosial. Ulama harus hadir bukan untuk menolak kemajuan tetapi memastikan bahwa teknologi berpihak pada kemaslahatan pemanfaatan AI dan digitalisasi ekonomi harus dituntun dengan nilai keadilan tanggung jawab dan kemanusiaan.
Ulama memiliki tugas strategis untuk memberi panduan etik dan hukum syariah yang menjaga kemajuan tetap dalam koridor maslahat Indonesia sedang bergerak menjadi pusat Industri Halal Dunia. Ini bukan sekedar peluang ekonomi melainkan juga tantangan moral. Produk halal harus dipahami bukan hanya sertifikasi tetapi juga dari sisi spritual bagaimana halal menjadi gaya hidup yang mencerminkan kejujuran, kebersihan dan keberkahan. Ulama berperan menjaga integritas sistem halal agar industri ini tumbuh sebagai pilar ekonomi nasional berkah dan berkeadilan.
Tantangan kebangsaan hari ini tidak hanya bersifat material tetapi juga sosial dan moral. Perpecahan, ujaran kebencian, polarisasi menjadi ancaman serius bagi kebutuhan umat dan bangsa. Karena itu, ulama harus menegaskan kembali pentingnya tiga pilar ukhwah islamiyah, ukhwah basyariyah dan ukhwah wathaniyah. Ketiga ukhwah ini adalah basis persaudaraan Islam yang menempatkan persaudaraan sebagai nilai tertinggi.
Ulama harus terus menerus menjadi perekat bangsa sehingga Indonesia terus berdiri kokoh sebagai bangsa yang damai dan bermartabat.
Jakarta, 24 November 2025
Penulis Guru Besar UIN IB Padang/Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar/Anggota Wantim MUI Pusat/Penasehat ICMI Sumbar/A’wan PB NU
