Berdasarkan Qs. Al-Isra’ ayat 1, Allah SWT berfirman:
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam. Sebab, pada peristiwa ini Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam. Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Namun demikian, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj. Tapi pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa tanggal 27 Rajab tahun ke 10 ke Nabian.
Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Ihsan Faisal, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”.
Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Ada beberapa pertanyaan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj. Salah satunya, mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Paling tidak ada beberapa hal hikmahnya.
Pertama, Bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sedangkan Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya adalah, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Kalau dibiarkan saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, tapi dari ajarannya.
Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh karena itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, agar Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih. Dari ajaran langit tersebut, terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan. Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan — yang menyangkut kepemimpinan – secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin menyentuh kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ”pencari Tuhan”). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharrufu al-imam ‘ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Kelima, amanat Rasulullah SAW untuk menegakkan salat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran salat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan salat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).
Keenam, nilai-nilai yang perlu di aplikasikan dalam kehidupan dari kewajiban shalat ada beberapa hal yang perlu diaplikasikan :
- Dimensi waktu, shalat belum wajib dilaksankan kalau waktunya belum masuk dan juga shalat tidak sah dilakukan kalau waktunya sudah lewat, kecuali shalat jamak baik jamak taqdim maupun jamak takhir. Apa yang kita aplikasikan umat Islam sangat menghargai waktu kalau undangan rapat jam 9.00 harus dilaksanakan jam 9.00. Terkadang malah kita lihat dinas pun molor sampai satu jam apalagi rapat rapat sosial dan arisan jangan disebut lagi
- Dimensi Thaharah atau kesucian kita berwudhu 5 x sehari semalam itu untuk shalat wajib ditambah lagi untuk shalat sunat sebenarnya kalau wudhunya belum batal bisa dipakai untuk shalat berikutnya, bewudhu dimulai dari beristinjak dan sunat sunat wudhu membasuh dua telapak tangan sambil berdoa mohon diambuni dosa dosa tangan kemungkinan ketika muda ramah pula tangannya dari mulutnya yang tidak boleh diambil diambilnya yang tidak patut digemai digemainya, dimasukan air kemulut berkumur kalau ada yang syubhat masuk kemulut mohon ampun dan dikeluarkan lagi, begitu juga memasukan air kehidung kalau kalau ada yang tidak boleh dicium diciumnya mohon diampuni jadi Thaharah bersih luar dalam kalau Nadzafah diluar saja.
- Dimensi menutup aurat bagi wanita yang boleh dilihat hanya muka dan telapak tangan. Sedangkan aurat bapak-bapak Ma baina surah warukbah antara pusat dan Lutut kalau itu sudah tertutup shalatnya sah cuma saja dari segi etika masak menghadap Allah pakaian ketika shalat yang boleh terbuka muka dan telapak tangan seharusnya diluar shalat juga begitu, kita bersyukur semenjak otonomi daerah pakaian anak anak SD sudah sama dengan anak anak ibtidaiyah anak anak SMP sudah sama dg anak anak anak Tsanawiyah anak SMA sudah sama dengan anak anak Madrasah Aliyah. Cuma yang menjadi masaalah anak anak pulang sekolah pakaiannya sudah seenak ada yang celana pencil pakaian serba senteng ini perlu pengawasan dari orangtua, maka banyak terjadi pelecehan seksual karena pakaian wanita tidak lagi menutup aurat.
- Dimensi menghadap kiblat bagi penduduk Kota Mekah namanya ,Ainul Kakbah bagi penduduk yang diluar Kota Mekah namanya Jihatul Kakbah atau arah menghadap Kakbah walaupun arah tentu perlu mengarah Kakbah, maka sekarang banyak yang mengukur ulang arah kiblatnya, kita harus satu arah memberantas perbuatan maksiat. Baik orangtua, pemerintah toko masyarakat Ninik mamak alim ulama cerdik pandai generasi muda Bundo kandung.
- Dimensi etika cara menegur Imam ketika keliru dalam shalat dg membaca Subhanallah sebaiknya juga kita begitu diluar shalat menegur pemimpin yang dianggap keliru dg etika yang baik dan menyekukan malah sebuah hadis yang diriwatkan Attumuzi kalau menasihati teman atau pemimpin. Sampai empat mata kalau dapat tidak ada orang lain yang tahu . Seperti kesalahan Firaun tidak ada lagi yang lebih besar dari itu dia mengatakan Ana Rabbukum Akla sayalah Tuhan yang paling agung apa Firman Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun sampaikan kepada Fir’aun secara lunak lembut.
Qalan Layinan Jadi Qawlan Layinan adalah perkataan yang lemah lembut disampaikan Allah kepada Nabi Musa as saat berdialog dengan Firaun. Menyejukan bahwa sebagai anak yang diasuh Nabi Musa tidak perlu keras terhadap Fikratun dan disampaikan utk menggunakan kata-kata yang lemah lembut. Inilah nilai-nilai yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan Wallahu Aklam. Sedangkan aurat bapak-bapak Ma baina surah warukbah antara pusat dan Lutut kalau itu sudah tertutup shalatnya sah cuma saja dari segi etika masak menghadap Allah. ***
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang/Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar/ Anggot Dewan Pertimbangan MUI Pusat/A’wan PBNU