Oleh Dr Mas ud HMN
Gerakan meneguhkan sunnah sebagai gerakan terpadunya akal dan kalbu yang sehat kini amat diperlukan agar tidak galau dan kembali pada jalan berpikir waras. Sebab, tidak semata karena memang seharusnya, namun juga karena derasnya perubahan yang melanda masyarakat kini, tidak terbendung dan merebak ke mana-mana. Lha apa yang salah dan apa yang menjadi sebabnya?
Poin kita mestilah merespon hal ini. Sebagai orang yang berpikir, yaitu adakah yang salah dan apa sebab. Respon kita yaitu tentang biang penyebabnya pertama adalah karena terlalu banyak baca koran atau surat kabar serta Medsos ketimbang Quran dan Sunnah Rasul. Juga karena tidak suka baca tafsir jalan yang terkenal, namun amat suka baca tafsir sekuler yang lain. Bukan kitab tafsir jalan yang benar tapi kitab tafsir jalan lain yang sesaat.
Tafsir jalan lain sesat punya interes dalam menggemukkan badan, tapi melupakan pencipta langit dan bumi. Tempat asal awal dan tempat berakhir ajaran fundamental ini diabaikan dan ditempatkan di tempat yang tidak popular.
Ketinggian ajaran Islam riuh rendah yang tidak lagi di atasnya, tidak lagi bergema. Suara gema adzan dan imam tergeser. Nyanyi dan dendang organ sekuler mengantarkan dengan keramaian. Ya itulah suasana ciptaan sekuler.
Menjadikan Islam dan perangkat seruan dakwah menjadi asing. Menjadi aneh dan diabaikan. Rasullulah pernah memberi peringatan tentang hal itu.
Islamu ghahariban wasaya uudu kamaa badaa. Faruba lil grubabaab afsadahunnnas min sunnati. (Islam awalnya dianggap asing kemudiannya tiba pula masa Islam dianggap asing. Maka berbahialah mereka yang dianggap asing yang terus meperbaiki meluruskan Sunnahku). Inilah aliran akal kalbu yang sehat.
Sayangnya timbul istilah tidak betul. Ghariban, asing, kuno, ketinggalan zaman adalah istilah yang dipandang sesuai milenial, zaman now, moderm tidak hanya ramai tetapi juga mengacaukan, menjadikan kegalauan berpikir.
Coba bayangkan susahnya untuk menjelaskan Islam yang betul dalam rangka memahami kehidupan masa kini. Kalau saja menganjurkan laksanakan lah Islam secara kaffah bisa dituduh terpapar terorisme. Tuduhan yang agitatif antagonis. Tidak benar.
Masalahnya pada sisi hulu yaitu defenisi Islam. Yang semestinya adalah addin pedoman hidup berdasarkan Quran dan sunnah. Pada dasarnya itulah esensi kehadiran Islam bagi umat manusia. Yaitu merealisasikan sesuai antara defenisi atau teks dengan realitas atau konteksnya.
Kalau terjadi kekacaun berpkir dan problema masyarakat seringnya jika teks itu bertentangan dengan realita. Terjadi pertentangan esensinya teks dalam konteks atau realita. Antara hulu dan hilir, bersih di hulu tapi kacau di hilir. Itu yang terjadi.
Di sini lah kegalauan berpikir dan bahkan kekacuan berpikir terjadi. Padahal seharusnya antara hulu dan hilir haruslah dalam esensi yang sama. Kalau berbeda hanyalah covernya, atau aplikasinya yang beda.
Dari paparan di atas yang salah esensi teks karena tafsir jalan lain (sekuler). Sehingga dituduhkan teroris, tidak tolerans dan semacamnya. Inilah problema utama kita soal defenisi atau esensi di hulu. Esensi hulu identiknya dengan teks. Sedang aplikasi identik dengan tafsir atau konteks realita.
Sebagai penutup essai singkat ini kita berkesimpulan bahwa terjadi pada memahami teks, dalil, ayat yang Qurani dan Sunnah Rasul. Inilah jalan tafsiran yang sekuler. Akibatnya tergeser yang betul menjadi yang salah.
Meneguhkan jalan akal kalbu yang waras adalah kembali kepada teks. Pada Quran dan Sunnah. Kembali ke jalan yang benar.
Al haqq mirarbik (Yang haq ada pada Tuhan). Jangan ada keraguan dan apa lagi pengingkaran. Semoga!
Jakarta, 10 Maret 2020