Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Mengenang Wafatnya Pahlawan Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara Wafat

Peristiwa sejarah hari ini, 63 tahun yang lalu, 26 April 1959, Soewardi Soerjaningrat atau yang akrab disapa Ki Hajar Dewantara meninggal dunia. Kepergiannya membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Ia jadi bumiputra yang kerap mengajak kaumnya untuk berani bermimpi. Termasuk untuk merdeka. Pun semangatnya untuk memerdekakan bangsa tiada dua. Segala cara pernah dicobanya. Dari cara radikal hingga elegan. Akhirnya, ia memilih jalan perjuangannya sendiri: pendidikan.

Sifat pemarah dan mudah terbakar adalah kedua hal yang acap kali mengiringi kehidupan Soewardi. Sejak kecil, ia telah memantapkan diri mengumandangkan perlawanan terhadap perlakuan semena-mena orang Belanda. Tiap ada teman sekolahnya yang disakiti orang Belanda, ia langsung pasang badan. Hukuman tak menjadi soal baginya. Asal anak Belandanya babak-belur, pikirnya.

Sikap itu bertahan hingga Soewardi melanjutkan studinya ke sekolah dokter bumiputra, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 1905. Alih-alih tunduk kepada kemauan Belanda, Soewardi justru aktif berpolitik. Ia ingin Hindia-Belanda segera lepas dari belenggu penjajahan. Keaktifannya di politik membuat Soewardi memilih tak melanjutkan pendidikan.

Ia lebih memilih mengembangkan bakatnya dalam dunia tulis-menulis. Pun keahlian menulis jadi alat perjuangannya. Ia pun bergabung dengan kawan-kawannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo dan membentuk Indische Partij atau Partai Hindia pada 1912. Ketiganya dijuluki Tiga Serangkai. Partai itu jadi wadahnya untuk mengumpulkan orang-orang yang tak setuju dengan kebijakan Belanda.

Soewardi kerap melakukan protes atas seluruh agenda Belanda yang merugikan kaum bumiputra. Protesnya paling terkenal adalah munculnya tulisan Als Ik eens Nederlander was (Jika Saya Seorang Belanda). Tulisan itu memancing amarah Belanda. Karenanya, Tiga Serangkai dibuang ke negeri Belanda.

“Dengan demikian, Soewardi membuka horizon baru bagi kaum bumiputra untuk membayangkan dirinya menjadi apa saja dengan ungkapan brilian: seandainya saya. Dengan ungkapan itu, seseorang dapat membayangkan dirinya berbeda dengan dirinya dalam realitas yang ada sekarang ini; dan dapat membayangkan realitas yang berbeda dari yang ada di sini dan sekarang, di hadapan diri sendiri. Tidak berlebihan untuk mengatakan orang Indonesia lahir dari artikel ini.”

“Segera setelah artikelnya terbit, Soewardi ditangkap dan dibuang ke Belanda. Dia dibuang lima tahun dan kembali ke Hindia-Belanda tahun 1919. Namun, ia sudah menjadi orang lain: Ki Hajar Dewantara dan bukan lagi Soewardi. Ia mendirikan Taman Siswa dan membangun tata baru di dalam kelas dengan basis ideologi kekeluargaan dan pembinaan,” ungkap Takashi Shiraishi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Kepergiannya ke Belanda menjadi titik balik Soewardi. Ia banyak berubah. Dari yang awalnya radikal nan impulsif menjadi sosok yang penuh perhitungan. Pendidikan lalu dipilihnya sebagai ajian baru dalam berjuang memerdekakan bangsa.

Ia pun mendirikan Taman Siswa sepulang dari Belanda. Identitasnya sebagai bangsawan ditinggalkan. Keputusan itu berbuntut pada berubahnya namanya Soewardi Soerjaningrat jadi Ki Hajar Dewantara. Pengabdiannya dalam dunia pendidikan tiada dua. Jasanya kemudian dikenang selamanya oleh segenap bangsa Indonesia. Sekalipun Ki Hajar Dewantara telah wafat pada 26 April 1959 di Yogyakarta.

“Pendidikan Taman Siswa dibuat agar tidak seperti pendidikan Belanda, tapi seperti apa yang disebut orang Jawa sebagai panggulawentah, momong, among atau ngemong. Kata-kata Belanda untuk pendidikan, opvoeding atau pedagogiek, konsep-konsepnya tidak bisa diterjamahkan ke dalam bahasa Jawa.”

“Pendidikan Jawa berdasarkan tertib dan damai (tata tentrem) bukan paksaan, disiplin, dan perintah. Tujuannya adalah mengawasi anak-anak agar berkembang secara wajar, membimbing mereka cara yang tepat sebelum membuat kesalahan-kesalahan, dan membina kepribadian yang bebas.” Tutup Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (2019). ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles