Isu radikalisme agama sebagai musuh Pancasila, sudah lama terdengar. Dengan indikatornya intoleransi. Pada tingkatnya yang lebih serius kemudian muncul istilah teroris.
Radikalisme menjadi hal penting untuk dijauhi meski secara umum sudah bisa dipahami dan itu biasa. Dari sekian banyak orang, ada yang toleran dan ada intoleran.
Seperti disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo untuk menjauhi radikalisme dan terorisme. Hal itu disampaikan saat melepas peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat I Angkatan I, 6 Desember 2021 lalu.
“Prinsipnya ASN tidak boleh berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. Terlebih untuk calon pejabat tinggi,” kata Tjahjo Kumolo mantan Menteri Dalam Negeri itu.
Arahan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara adalah baik. Karena itu sejalan dengan sikap moderat untuk menjauhi radikal atau ekstrem. Artinya sikap moderat adalah tak bercampur dengan radikal atau ekstrem.
Hal itu didukung teori statistik. Yaitu teori kurva normal membenarkannya yakni ada moderat di tengah ekstrem. Teori curva normal itu menjelaskan kelompok ekstrem sebelah kiri, kelompok moderat di tengah dan kelompok kanan yang ekstrem juga. Kelompok tengah (moderat) yang dominan.
Posisi tengah terbanyak atau moderatlah sesungguhnya posisi umat Islam. Yang disebut sebagai ummatan wasathan (umat yang di tengah). Bukan ekstrem kiri atau ekstrem kanan.
Namun sayang ada saja yang coba meyimpulkan bahwa umat Islam identik dengan ekstrem dan intoleransi yang merupakan kekeliruan atau gagal faham menimbulkan prasangka yang fatal. Prasangka demikian mestinya diselesaikan.
Adanya isu bahwa Islam bagian dari intoleransi, dan pemerintah mau menggusur esensi agama dalam negara, jelas salah besar. Soal masa lalu. Usang. Mesti dikubur.
Sulit kalau kita membayangkan jika Ibnu Thaimiyah masih hidup, mungkin akan kesal. Sebab tokoh pemikir besar Islam yang hidup tahun 661-728 dalam bukunya Al Wasathiyah mengemukakan dasar atau prinsip dalam Islam adalah umat tengah seperti yang ada dalam Quran dan Sunnah. Bukan yang lain. Apa lagi ekstrem.
Garis tengah atau netralnya agama atau tidak ekstrem dan itu sangat jelas. Prinsip dasarnya Quran dan Sunnah.
Inilah kemudian konsep wasatiyah lalu menjadi Islam garis tengah, yang tidak lain Islam yang mengerakkan pemikiran Quran dan Sunnah tersebut. Prinsip kepada yang benar dan adil.
Alam pikiran besar Ibnu Thaimiyah itulah wasatiyah. Jalan tengah dan lurus itu, tiada terasa ada gangguan dengan persoalan prasangka. Mungkin pada waktu gagasan wasatiyah diluncurkan prasangka itu belum dalam bentuknya yang sekarang.
Al Mawardi (952-1078) misalnya menampilkan pemikiran politik sesudah masa Ibnu Thaimiyah dalam dua buku utamanya Al Ahkam Sulthaniyah tentang ketatanegaraan dan Waziratul Sulthaniyah. Ia tanpa beban sejarah memunculkan konsep tata negara Ahlul Halli Wal Aqdi tim ahli dan perumus kebijakan negara di bawah sultan. Juga didukung pemikirannya dalam bukunya Adab Ad Dunnya dalam menjelaskan intelektual manusia berkenaan pelaksanaan politik kekuasaan negara.
Inti konsep ini, Al Mawardi adalah pembentukan dewan penyelenggara negara di bawah sultan. Yang bertugas membuat ahlul halli wal aqdi konsep fatwa dan kebijakan untuk teknis pelaksana pemerintahan. Di situ diatur wewenang negara dan kepentingan umat dalam kedudukan warga negara.
Di sini ada perbedaan dengan Wasithiyah Ibnu Taimiyah yaitu prinsip. Wasithiyah prinsip murni Al Quran Sunnah, sementara Ahlul Halli Wal Aqdi berprinsip pada hasil pikir interpretasi intelektual dewan pelaksana dalam mengejawantahkan Quran dan Sunnah. Krtitik Al Mawardi Taimiyah bahwa prinsip Quran dan Sunnah semata Quran dan Sunnah belaka belum ada dewan ahlul halli wal aqdi mengikutsertakan hasil kompilasi intelektual terhadap menginterpretasikan Quran Sunnah. Yaitu persoalan yang muncul dengan wasathiyah secara konsep berprinsip utuh pada teks. Bukan pada pegangan prinsip unsur terminologi.
Bagaimana dengan prasangka pemerintah intoleransi yang diidentikkan masyarakat Islam berpasangka untuk menggusur prinsip agama? Jawabnya memang tidak identik.
Dalam dua perspektif pandangan yaitu antara Ibnu Taimiyah dan Al Mawardi, terdapat beda. Ketidaksesuaian pandangan Ibnu Taimiyah dan Al Mawardi. Ibnu Taimiyah mengacu pada legalis teks formal sementara perspektif kelompok Al Mawardi dengan ahlul akli wal aqdi sebagai interpretasi teks.
Prasangka bukanlah prasangka kalau hanya sekadar omongan biasa. Sudah pasti ada sesuatu di balik prasangka itu. Karena itu, hendaknya didudukan dalam posisi yang dapat memberi pencerahan dan edukasi transformatif. Maksudnya jalan keluar dari prasangka tersebut. Prinsipnya tiada kusut yang tak bisa selesai dan tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan.
Islam memberi wawasan seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah 143 yang terjemahanya sbb:
..Dan demikian Kami menjadikan kamu uammatan washataa (umat plihan yang adil) agar kamu menjadi saksi perbuatan manusia dan Rasul Muhammad menjadi saksi perbuatan kamu…
Ayat ini menekankan umat pilihan yang adil menegakkan ajaran Islam, yang ummatan wasathan (seimbang) baik segi syariah dan muamalah dalam hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia.
Sebagai penutup, penulis berpendapat masalah prasangka berkaitan menuduh umat Islam radikal adalah prasangka, salah faham yang dapat menjadi bola liar. Tembok prasangka harus runtuh. Prinsip tegaknya prinsip agama ummatan wasathan harus digaransi negara sesuai dengan konstitusi UUD 45. Sebab kestabilan negara jadi taruhannya.
Jakarta, 20 Desember 2021
*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta