Jakarta, Demokratis
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly mempersilakan pihak yang tidak setuju atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah menjadi UU.
“Kalau pada akhirnya tidak setuju, daripada kita harus pakai UU KUHP Belanda yang sudah ortodoks, dan dalam KUHP ini sudah banyak yang reformatif, bagus. Kalau ada perbedaan pendapat, nanti kalau sudah disahkan, gugat di MK, itu mekanisme konstitusional,” kata Yasonna di gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Alih-alih membatalkan RKUHP yang telah disusun lebih dari 60 tahun itu, menurut dia, mengajukan gugatan ke MK merupakan cara yang lebih elegan.
“Jadi, mari sebagai anak bangsa, perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti (masih ada kontra), saya mohon gugat saja di MK lebih elegan caranya,” tuturnya.
Apabila Indonesia masih terus memakai KUHP lama yang merupakan produk kolonial, kata dia, menunjukkan tidak ada kebanggaan sebagai anak bangsa.
“Tidak ada pride sebagai anak bangsa saya, guru-guru saya, guru yang saya hormati banyak bekerja keras, seperti Prof. Muladi misalnya, sangat mendambakan UU ini disahkan,” ujarnya.
Menurut dia, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam demokrasi dan tidak mungkin dapat memuaskan seluruh unsur masyarakat 100 persen dalam penyusunan RKUHP.
Menurut Laoly, pemerintah telah membahas dan menyosialisasikan draf RKUHP ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk melakukan audiensi dengan civitas academica, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), hingga Dewan Pers.
“Presiden tidak hanya menginstruksikan kepada kami, tetapi ke beberapa lembaga, Kemenkominfo, Polri, TNI, BIN, kami sosialisasi ke beberapa daerah,” katanya.
Dari sosialisasi tersebut, Menkum HAM mengatakan pihaknya telah menampung sejumlah masukan untuk perbaikan atas draf RKUHP.
“Ada perbaikan dan masukan-masukan masyarakat ada yang kami softing down, lembutkan,” kata Yasonna. (Albert S)